1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Serahkan Tahanan WNI Eks ISIS ke Guantanamo?

Monique Rijkers
Monique Rijkers
8 Februari 2020

Beban berat kini berada di pundak pemerintah yang ketiban tanggung jawab atas nasib 600 WNI eks ISIS yang saat ini masih berada di Suriah. Presiden Joko Widodo menolak kepulangan mereka. Simak opini Monique Rijkers.

https://p.dw.com/p/3XJBs
Syrien Kämpfer Islam Armee Jaish al-Islam Schatten Silhouette
Foto: Getty Images/A.Almohibany

Hingga April mendatang, pemerintah akan mengkaji perlakuan terhadap veteran perang pendukung negara Islam ini beserta keluarga mereka. Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah?

Amerika Serikat telah membunuh pemimpin ISIS Abu Bakar al-Baghdadi pada November 2019 lalu dan merebut wilayah kekuasaan ISIS. Namun semangat mendirikan khilafah dan ajaran untuk berperang demi agama (jihad) sejauh ini masih ada. Hal ini dibuktikan dengan hadirnya pemimpin baru ISIS, Amir Mohammed Abdul Rahman Al-Mawli Al-Salbi, sarjana hukum syariah dari Universitas Mosul, Irak. Kegagalan ISIS di Suriah dan Irak dikuatirkan malah berpindah ke negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia guna membuktikan eksistensi ISIS.

Pemerintah jangan kompromi pada teroris

Karena itu amat riskan bagi masyarakat Indonesia jika pemerintah memutuskan mengizinkan veteran perang pendukung Negara Islam, ISIS kembali ke Indonesia.

Pemerintah ibarat membuka pintu selebar-lebarnya, bukan lagi membuka celah, bagi penyebaran paham jihad ala ISIS masuk ke Indonesia. Mereka yang kembali ini justru mudah merekrut pengikut karena dikultuskan. 600-an orang Indonesia ini sudah memutuskan untuk pergi dari Indonesia secara sukarela, atas kemauan sendiri untuk berjuang secara militer demi negara lain dan setelah kalah perang - bukan karena kapok dan menolak ideologi ISIS - ratusan WNI, beberapa membakar paspor mereka itu ingin pulang. Alih-alih menghukum perbuatan melanggar hukum yang mereka lakukan, pemerintah justru bersikap lunak dan kompromi, menggelar karpet merah pada radikalisme dan terorisme jika menerima mereka kembali tanpa proses hukum apapun. Dari 600-an WNI itu terdapat 47 orang berstatus tahanan yang sedang dihukum di Suriah dan sebaiknya tetap dipenjara di sana.

Bloger Monique Rijkers
Penulis: Monique Rijkers Foto: Monique Rijkers

Pemerintah sebaiknya tidak memulangkan seluruh bekas milisi ISIS, termasuk keluarga mereka yang terdiri dari perempuan (istri) dan anak-anak. Meski Amerika Serikat menghendaki 41 ribu lebih anggota ISIS, termasuk dari 80 negara kembali ke negara masing-masing, pengikut ISIS asal Indonesia lebih baik tetap berada di Suriah atau Irak. Pemerintah Indonesia melalui KBRI dapat bekerja sama dengan pemerintah Suriah dan Irak guna menangani para pendukung ISIS ini agar dapat menetap di Suriah dan Irak.

Jika mereka bersalah atas kejahatan saat bergabung dengan ISIS, pemerintah berhak memberi pendamping hukum guna menjalani proses pengadilan di Suriah atau Irak. Pemerintah Indonesia tetap mengakui kewarganegaraan mereka tetapi menangkal mereka kembali ke Indonesia, paling tidak selama lima tahun guna memastikan niat baik mereka kembali bersama NKRI dan Pancasila.

Tindakan ini bukan sebagai balas dendam namun atas dasar kemanusiaan, kemanusiaan bagi warga negara Indonesia yang terbukti setia pada NKRI dan Pancasila. Pemerintah sangat tidak manusiawi jika membiarkan masyarakat Indonesia berada dalam bahaya terorisme yang sangat potensial dilakukan oleh para pengagum khilafah. Kita perlu mengingat kejadian pemboman di Surabaya yang menimpa tiga gereja pada Mei 2018 silam. Pelaku merupakan satu keluarga yang terdiri dari suami, istri dan empat anak.

Polisi menyatakan aksi teror dilakukan karena terinspirasi "guru agama” yang pulang dari Suriah. Dalam hal ini, proses indoktrinasi melibatkan keluarga dan menjadi sangat berbahaya karena konsep penundukkan diri seorang istri terhadap suami dan ketaatan anak-anak terhadap ayah yang sangat mutlak dalam agama Islam. Pemerintah tidak akan mampu melawan indoktrinasi yang diberikan oleh figur suami atau ayah dalam institusi keluarga. Begitu pula transfer ideologi dari figur tokoh agama atau guru agama terhadap murid atau pengikutnya.

Selain kasus "Bom Gereja di Surabaya” yang ada hubungannya dengan ISIS, kasus terorisme global yang terinspirasi ISIS memakan korban terakhir di gereja dan hotel di Srilanka pada April 2019 silam. Satu orang pelaku diketahui pergi ke Suriah. Umat minoritas menjadi sasaran terorisme bukan hal baru. Namun mengingat Indonesia tengah menghadapi intoleransi yang memburuk maka kedatangan 600-an eks ISIS dapat menambah potensi konflik.

Memerangi Ekstremisme Lewat Media Digital dan Bantuan Returnee

Penjarakan WNI pria dewasa veteran Suriah di Guantanamo?

Jika pemerintah merasa perlu memboyong para istri dan anak-anak yang dianggap hanya sebagai korban keputusan jihad suami atau ayah mereka untuk pulang ke tanah air, maka pemerintah perlu membangun sebuah "Rumah Susun Penampungan Suriah” di sebuah kawasan yang dapat dipantau. Ini bukan penjara tetapi dibatasi untuk keluar-masuk rumah penampungan seperti yang ditempati para pengungsi, imigran gelap dan pencari suaka yang masuk ke Indonesia. Para istri dan anak-anak eks Suriah wajib mengikuti program deradikalisasi, pelatihan kerja dan ketrampilan serta pemulihan konsep bernegara dan berbangsa, bukan dicekoki ceramah agama semata.

Sampai kapan? Paling tidak selama setahun dengan masa pemantauan hingga tiga tahun diikuti proses evaluasi rutin setiap bulan.

Jika selama ini mantan napi terorisme tidak dikenal masyarakat karena identitas mereka dirahasiakan maka mantan milisi ISIS patut diketahui masyarakat. Pemerintah setempat perlu terbuka memberitahukan keberadaan veteran Suriah ini kepada publik. Masyarakat perlu waspada dan mengetahui profil setiap orang yang pulang dari Suriah.

Menerima kepulangan radikalis tidak bisa dilakukan secara diam-diam dan tertutup karena publik berhak mengantisipasi perilaku yang mengarah pada bentuk-bentuk teror.

Menerima kembali eks militan bukan perkara mudah dan murah. Pemerintah perlu memikirkan dana yang dibutuhkan guna memastikan kepulangan mantan teroris ini tidak membahayakan nyawa orang lain. Sejauh ini alokasi dana untuk BNPT hanya sebesar 700 milyar rupiah dari APBN 2019. Ongkosnya terlalu besar jika pemerintah hanya berpikir sebatas biaya tiket pesawat dari Suriah menuju ke Indonesia saja.

Itu penanganan bagi perempuan dan anak-anak, sedangkan bagi para pria dewasa, termasuk 47 orang yang berstatus tahanan tetap tidak perlu dipulangkan kembali ke Indonesia. Inilah konsekuensi dari pilihan mereka yang meninggalkan Indonesia untuk hidup di negeri khilafah idaman. Publik Indonesia perlu mengetahui pemerintah Amerika Serikat sesungguhnya menawarkan opsi "menampung” para foreign terrorist fighters (FTF) yang tidak dipulangkan kembali ke negara asal untuk ditahan di penjara militer di Guantanamo, Kuba yang berada di bawah otoritas Amerika Serikat. Pemerintah Amerika Serikat menyediakan opsi ini karena ISIS secara hukum di Amerika Serikat dimasukkan sebagai kelompok teroris. Presiden Amerika Serikat Donald Trump sudah menandatangani perintah eksekutif pada Januari 2018 untuk membuka Gitmo, sebutan untuk Guantanamo bagi eks ISIS dan Al Qaida dari negara di luar Amerika. Memasukkan para veteran ISIS ke Guantanamo sangat masuk akal untuk diambil Indonesia mengingat lemahnya proses deradikalisasi teroris di Indonesia.

Deradikalisasi Melempem

Saya mengajak Anda semua kembali ke Januari 2019, tepat setahun lalu, mantan napi kasus terorisme Harry Kuncoro tertangkap di Bandara Soekarno-Hatta saat hendak terbang ke Suriah lewat Iran. Harry Kuncoro ingin bergabung dengan ISIS meski ia sudah pernah dihukum penjara enam tahun pada tahun 2012 karena menyembunyikan Dulmatin, teroris kasus Bom Bali dan terlibat peredaran senjata gelap. Sejak bebas tahun 2016, Harry Kuncoro ternyata tidak berubah. Jalan kekerasan dan terorisme masih menjadi pilihan hidupnya. Kasus Harry Kuncoro ini membuktikan hukuman penjara tidak mampu mengubah seseorang yang kepincut jihad. Alih-alih tobat, Harry Kuncoro justru kesengsem pada ide khilafah.

Bahkan di dalam penjara pun, ISIS berhasil menyusup. Tahun 2014 silam, publik dikejutkan dengan beredarnya foto Ustadz Abu Bakar Baasyir dan sejumlah orang yang berpose dengan bendera ISIS. Saat itu Abu Bakar Baasyir mendekam di dalam penjara di Nusa Kambangan karena kasus terorisme namun ia masih bisa menunjukkan simpatinya pada ISIS yang saat itu baru naik daun.

Mantan napi terorisme di Indonesia mengacu data Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) per November 2019 mencapai 632 orang. Jumlah yang sangat besar karena satu mantan pelaku bom bunuh diripun sudah sangat berbahaya, apalagi ada 632 orang yang pernah terlibat terorisme. Itupun masih ditambah kewajiban deradikalisasi terhadap 600-an orang yang memiliki pengalaman hidup langsung di ladang jihad bersama ISIS.  Tentu beban BNPT akan jauh lebih sulit menghadapi alumni Suriah dibandingkan teroris lokal yang dicuci otak di Indonesia. Saat saya bertanya kepada Rakyan Adi Brata, peneliti International Association For Counter Terrorism and Security Professionals Centre For Security Studies (IACSP) terkait wacana memulangkan kombatan ISIS, ia menilai, "Jika infrastruktur dan sumber daya manusia untuk program deradikalisasi Indonesia kuat, silakan bawa pulang. Namun jika lokasi penampungan, keamanan bangunan fisik dan standar dan operasional deradikalisasi serta program intensif deradikalisasi one on one belum siap, maka nekad memulangkan mereka.”

Mengubah pola pikir kekerasan dan penolakan terhadap terorisme membutuhkan napas panjang. Mantan simpatisan ISIS, Febri Ramdani yang pernah 11 bulan tinggal di Suriah mengakui sejumlah mantan ISIS yang sudah kembali ke Indonesia masih punya pemikiran seperti ini: "Beberapa mantan sih baik, dari cara omongan mereka masih punya pemikiran yang keras juga.”

Saya bertemu dengan Febri Ramdani saat ia menghadiri Tolerance Film Festival pada November 2018 silam. Untungnya Febri Ramdani, penulis buku "300 Hari di Bumi Syam” ini bisa berubah dan menggunakan pengalaman buruknya itu untuk mengedukasi orang lain. Dari mantan seorang saksi mata seperti Febri Ramdani, pemerintah bisa mencegah perekrutan jihadis dan memperkuat deradikalisasi guna menyudahi terorisme di Indonesia. Pemerintah tidak perlu menyusahkan diri dengan menambah beban mengawasi 600-an eks jihadis. Fokuslah pada pemberantasan terorisme yang masih tambal-sulam selama ini.

@monique_rijkers adalah wartawan independen, IVLP Alumni, pendiri Hadassah of Indonesia, inisiator Tolerance Film Festival dan inisiator #IAMBRAVEINDONESIA.

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis

*Bagi komentar Anda dalam kolom di bawah ini.