1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
MediaJerman

Disinformasi di Tahun Pemilu Lemahkan Demokrasi

Marcel Fürstenau
21 Maret 2024

Ketika Rusia semakin giat menggunakan propaganda sebagai senjata dalam perang narasi, Eropa kian kewalahan menghalau gelombang disinformasi di internet. Estonia bisa menjadi contoh sukses penanggulangan disinformasi.

https://p.dw.com/p/4dwT7
Fake news
Ilustrasi kabar palsuFoto: S. Ziese/blickwinkel/picture alliance

Hari-hari ini, Eropa sibuk bergeliat melindungi demokrasi, ketika tekanan kelompok ekstrem kanan semakin menyudutkan suara-suara moderat.

Di Jerman, salah satu tolak ukurnya adalah banyaknya jumpa pers bersama Thomas Haldenwang, presiden Badan Perlindungan Konstitusi, BfV, lembaga intelijen negara yang mengawasi ideologi ekstremis di Jerman.

Dua tahun setelah dimulainya invasi Rusia di Ukraina, penampilan publik Haldenwang adalah salah satu peringatan paling mendesak tentang maraknya disinformasi, berita palsu dan spionase.

Dalam sebuah acara yang digelar Partai Liberal Demokrat, FDP, di parlemen belum lama ini, dia kembali menegaskan betapa ancaman disinformasi pada tahun 2024 akan sangat besar.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Disinformasi di tahun pemilu

Haldenwang mewanti-wanti terhadap banjir disinformasi selama pemilihan legislatif di Parlemen Eropa, pemilu kepresidenan AS dan juga pemilu di tiga negara bagian di Jerman. Tahun 2024 diakui sebagai "tahun pemilu," sebabnya menuntut kewaspadaan tinggi. "Disinformasi sengaja disebar untuk mendiskreditkan musuh politik dan membibit perpecahan, dengan tujuan melemahkan demokrasi dan semua institusinya," kata dia.

Jerman termasuk sasaran spionase dan propaganda Rusia. Hal ini terbukti ketika dinas intelijen Rusia menyebar rekaman digital percakapan perwira tinggi militer Jerman terkait pengiriman rudal Taurus ke Ukraina yang disebut TaurusLeak belum lama ini. Insiden tersebut sempat memunculkan gejolak politik di Berlin seputar keamanan rahasia negara.

Juga investigasi dinas rahasia terhadap organisasi berideologi ekstrem di Jerman memicu perdebatan tentang batas kebebasan berekspresi. Pakar keamanan FDP, Konstantin Kuhle, menilai masyarakat harus mempercayai Badan Perlindungan Konstitusi.

"Perbedaan tipis antara melindungi kebebasan berekspresi di satu sisi dan melawan disinformasi di sisi lain adalah sesuatu yang dihadapi pemerintah kita setiap hari," kata dia.

Perang Siber Sudah Berjalan

Aliansi pro-demokrasi mencontoh Estonia

Dalam acara FDP di Bundestag, Direktur Jendral Deutsche Welle, Peter Limbourg, mengabarkan peran media membatasi disinformasi, antara lain dengan memberdayakan audiens pro-demokrasi, "entah itu di Rusia, Cina, Belarus, di Venezuela, atau di manapun," kata dia. Namun begitu, dia juga mengakui ketatnya rejim sensor di negara-negara autokrasi yang membatasi atau bahkan melarang konten DW.

Saat ini, program DW dalam 32 bahasa disimak 320 juta audiens di seluruh dunia setiap pekannya. Limbourg mengkhawatirkan akses media yang kian terbatas di negara-negara autokrasi. "Kalau  program kami tidak ditonton, akan lebih mudah bagi diktator dan autokrat," katanya.

Contoh keberhasilan dalam menghadang disinformasi dan propaganda Rusia adalah Estonia. Negeri di ujung utara Laut Baltik ini berbatasan langsung dengan Rusia dan pernah diduduki Uni Sovyet selama Perang Dunia II. Estonia baru meraih kemerdekaan pada tahun 1991. Duta Besar Estonia untuk Jerman, Marika Linntam, berbicara pada acara di Bundestag Jerman tentang "perang bayangan” melawan demokrasi.

"Serangannya bukan dirancang untuk medan perang, tapi untuk menjajah pikiran dan hati masyarakat,” ujarnya. Tujuan Rusia adalah untuk menggoyahkan stabilitas, menciptakan ketidakpastian dan memanipulasi ruang diskusi. Untuk memperkuat kewaspadaan, Estonia banyak meningkatkan literasi media untuk semua warga.

Jaring anti-disinformasi yang dibangun Estonia mengandalkan kemitraan antara pemerintah, media, masyarakat sipil dan organisasi internasional. Perhatian khusus terutama diberikan kepada kaum muda, yang sejak 2010 diwajibkan mengambil mata pelajaran "Media dan Manipulasi” mulai dari sekolah menengah.

rzn/as