1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kesehatan

Vaksin Buatan Rusia Efikasinya Lebih dari 90 Persen

4 Februari 2021

Kajian ilmiah perdana uji klinis fase III vaksin Sputnik V buatan Rusia menegaskan keampuhan di atas 90%. Juga tidak tercatat efek samping parah pada pemberian vaksin bersangkutan.

https://p.dw.com/p/3op9P
Vaksin Sputnik V buatan Rusia terbukti ampuh lawan corona
Vaksin Covid-19 Sputnik V buatan Rusia terbukti ampuhFoto: Sergei Bobylev/TASS/dpa/picture alliance

Analisis sementara uji klinis fase III vaksin Sputnik V dengan 19.866 responden, menunjukkan keampuhan vaksin Gam-COVID-Vac buatan pusat riset untuk epidemiologi dan mikrobiologi Institut Gamaleya di Rusia, mencapai keampuhan lebih dari 91,6 % setelah pemberian dosis kedua. Hasil analisis ini dipublikasikan dalam jurnal ilmiah The Lancet pada 2 Februari 2021.

Tingkat perlindungan lebih dari 90% merupakan nilai yang sangat bagus, setara dengan efikasi yang dicapai vaksin BioNTech/Pfizer dan Moderna yang sudah mendapat izin edar global. 

"Pengembangan vaksin Sputnik V sejauh ini dikritik terlalu tergesa-gesa, tidak mendasar dan tidak transparan. Demikian tulis pakar medis Ian Jones, profesor di Universitas Reading dan Polly Roy, profesor di London School of Hygiene & Tropical Medicine.

"Hasil analisis yang kami publikasikan di sini sangat jelas dan prinsip ilmiah vaksinnya kami ungkap. Artinya, ada vaksin berikutnya yang kini bisa diluncurkan dalam perang melawan Covid-19, untuk menurunkan angka penularan", kata kedua ilmuwan.

Kombinasi vaksin vektor berbeda

Vaksin Sputnik V terdiri dari kombinasi dua dosis vaksin yang berbasis vektor virus berbeda, yang harus diberikan dalam dua kali vaksinasi dengan jeda yang sudah ditentukan.

Vaksin menggunakan basis Adenovirus tipe 5 (rAd5-S) dan tipe 26 (rAd26-S) yang sudah direkayasa secara genetis, untuk membentuk protein permukaan virus SARS-CoV-2 pemicu Covid-19. Dalam uji klinis, responden mula-mula mendapat dosis pertama vaksin berbasis rAd5-S dan menyusul 21 hari kemudian, diberikan dosis kedua yaitu vaksin yang berbasis rAd26-S.

Secara mendasar vaksin dosis pertama Sputnik V memiliki kemiripan dengan vaksin Ad5-nCoV buatan CanSino Biologics dari Cina yang menggunakan Adenovirus tipe 5. Juga punya kemiripan dengan vaksin AZD1222 buatan AstraZeneca/Oxford dari Inggris. Vaksin AstraZeneca yang sudah mendapat izin edar di Uni Eropa menggunakan Adenovirus Simpanse untuk transport protein.

Reaksi imunitas stabil

Vaksin Sputnik V buatan Rusia diuji klinis pada orang berusia di atas 18 tahun. Juga dalam riset dimonitor keampuhan vaksin pada lebih dari 2000 responden berusia di atas 60 tahun, yang tetap menunjukkan nilai perlindungan di atas 91%. Data ini sekaligus mematahkan asumsi, bahwa efikasi vaksin menurun pada orang lanjut usia di atas 60 tahun.

Pengamatan pada ratusan responden yang dipilih secara acak menunjukan terbentuknya antibodi dan jawaban imunitas sel T setelah divaksinasi. Diakui ada enam responden tidak membentuk imunitas mencukupi. Diduga kasus ini terkait kelainan genetika individual.

Data ini berbeda dengan vaksin AstraZeneca di Jerman yang direkomendasikan hanya untuk yang berusia di bawah 65 tahun, karena diduga keampuhan perindungannya menurun atau tidak memadai. Sejauh ini belum ada riset lanjutan yang bisa menegaskan bahwa vaksin buatan Inggris itu juga ampuh buat manula, seampuh untuk orang berusia lebih muda.

Efek samping normal

Secara umum, hasil uji klinis fase III menunjukkan efek samping vaksin corona itu ada dalam batasan normal. Kebanyakan keluhan adalah reaksi lazim yang ringan sampai menengah, dari gejala seperti flu, sakit di lokasi suntikan hingga perasaan lelah dan lesu untuk sementara waktu.

Efek samping berat dilaporkan muncul pada sekitar 0,2 persen responden, namun tidak terlacak adanya kaitan langsung dengan pemberian vaksin Sputnik V. Juga dilaporkan ada 4 orang meninggal, tapi juga tidak ada kaitannya dengan vaksin buatan Rusia itu. Satu orang dilaporkan meninggal karena luka fisik fatal, satu akibat stroke dan dua lainnya meninggal karena komorbid dan sudah terinfeksi Covid-19 lima hari sebelum vaksinasi.

Fabian Schmidt (as/ gtp)

 

Fabian Schmidt
Fabian Schmidt Editor redaksi sains yang berfokus pada teknologi dan inovasi.