1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Suriah: Rehabilitasi Diplomatik bagi Dinasti Assad?

11 Januari 2023

Presiden Suriah Bashar al-Assad kembali disambut di panggung internasional lewat mediasi Rusia. Turki menjadi yang pertama berunding dengan Damaskus. Namun kedua negara terpaut dua jenis kepentingan yang berbeda.

https://p.dw.com/p/4M0gI
Recep Tayyip Erdogan dan Bashar Assad
Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan (ki.) bersama Presiden Suriah, Bashar Assad, (ka.) di Istanbul, 2009Foto: BULENT KILIC/AFP/Getty Images

Setelah lama berseteru, kini Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Suriah Bashar al-Assad kembali mendekat. Isyarat tersebut diungkapkan Erdogan pada pekan lalu.

Dia mengatakan tidak lagi menutup kemungkinan bertemu dengan Assad. Erdogan mendukung perundingan damai di Suriah lewat mediasi Turki dan Rusia.

Pemulihan hubungan diplomasi antara Turki dan Suriah berawal belum lama ini di Moskow, ketika Rusia menerima kepala dinas rahasia dan menteri pertahanan dari kedua negara. Selanjutnya, Erdogan mengatakan akan menggelar pertemuan para menteri luar negeri. Menurut laporan media, pertemuan tersebut akan digelar pada Rabu (11/10).

Menurut Christopher Phillips, pakar politik Queen Mary University di London, Inggris, adalah kebuntuan militer di Suriah yang memaksa Ankara mengubah sikapnya terhadap Damaskus. 

"Assad memenangkan perang di dalam negeri dengan menguasai sebagian besar wilayah Suriah, meski tidak semua,” kata dia. Meski kehancuran yang merajalela, "dalam sudut pandang militer, kelompok oposisi tidak lagi mampu mengancam kekuasaan dinasti Assad.”

Dengan menggandeng Turki, Bashar Assad perlahan meniti jalannya kembali ke panggung internasional. "Melalui perkembangan teranyar dia berharap bisa mendapat kredibilitas dan dukungan diplomatik,” kata pakar Timur Tengah di Yayasan Heinrich-Böll, Jerman, Bente Scheller.

Kepentingan Turki

Turki awalnya menyokong kelompok oposisi Suriah dalam perang melawan pasukan pemerintah. Sejak perang berkobar pada 2011 silam, Erdogan juga menutup kanal diplomasi di Suriah dan mengaku tidak bersedia berbicara dengan Assad.

Namun di sisi lain, Ankara juga memerangi pemberontak Kurdi yang banyak bercokol di utara Suriah. Sebabnya Turki kini diduga ingin meminta dukungan Damaskus. 

Bagi pemerintahan Assad, kelompok Kurdi adalah satu-satunya mitra penghubung dengan wilayah utara. "Sebabnya saya tidak yakin apakah Assad dan Erdogan akan bisa bersepakat soal pemberontakan Kurdi,” kata Bente Scheller.

Selain itu, Erdogan juga diduga ingin mendorong kepulangan empat juta pengungsi Suriah di Turki. Krisis ekonomi yang kian membebani kas negara dan biaya pengungsi dikhawatirkan bisa berimbas pada pemilihan umum tahun depan.

Namun kepulangan pengungsi Suriah tidak termasuk daftar prioritas pemerintah di Damaskus, kata Scheller. "Dalam isu ini tidak akan ada kata sepakat antara Assad dan Erdogan.”

Diplomasi dari Teluk

Selain Turki, Uni Emirat Arab (UEA) pun mulai mencairkan relasinya dengan Suriah. Pertengahan pekan lalu, Menteri Luar Negeri Abdullah bin Zayed al-Nahyan, melawat ke Damaskus dan bertemu Presiden Bashar Assad.

UEA dan Arab Saudi, yang berseteru melawan Iran, diduga ingin menggusur pengaruh Teheran di Suriah. Tapi diragukan apakah Damaskus mau diajak bekerja sama mengusir milisi dukungan Iran dari wilayahnya.

Dalam hal ini, Assad banyak diuntungkan oleh keberadaan milisi-milisi radikal tersebut. "Memang kekuasaan Assad terkesan solid,” ujar Christopher Phillips. 

"Tapi banyak kawasan di Suriah yang saat ini dikuasai oleh milisi-milisi serupa mafia. Dan mereka tentunya akan bebas merdeka, jika Iran atau Rusia tidak mengintervensi secara berkala,” pungkasnya.

rzn/hp