1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Peneliti Budaya Dipolisikan, Apa Artinya?

Indonesien Geger Riyanto Autor, Essayist und Aktivist
Geger Riyanto
2 April 2022

Saat mata kita terpaku dengan pelaporan aktivis ke polisi, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, Iriani, dilaporkan ke institusi yang sama oleh kelompok masyarakat Rongkong.

https://p.dw.com/p/492Wg
Gambar simbol keadilan
Gambar ilustrasi hukum dan keadilanFoto: Damien Meyer/AFP/Getty Images

Saat mata kita terpaku dengan pelaporan aktivis ke polisi, peneliti Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan, Iriani, dilaporkan ke institusi yang sama oleh kelompok masyarakat Rongkong. Bila pelaporan aktivis berbahaya bagi demokrasi, pemolisian peneliti budaya merupakan preseden buruk bagi aktivitas-aktivitas keilmuan.

Iriani dilaporkan oleh masyarakat Rongkong karena tulisannya yang dimuat oleh jurnal Walasuji volume 7 nomor 1 dianggap menghina suku Rongkong. Iriani menulis tentang Mangaru, seni tradisi tarian masyarakat Rongkong dari masa lalu berdasarkan penelitian. Ia menggambarkan bagaimana tarian tersebut dipentaskan serta bagaimana maknanya, yang tak terlepas dari sejarah hubungan masyarakat Rongkong dengan kerajaan Luwu.

Apa yang dipersoalkan oleh masyarakat Rongkong adalah bagian di mana Iriani menggambarkan posisi masyarakat Luwu sebagai kaunang. Kaunang adalah lapisan kelas paling bawah di Luwu dan banyak ditafsirkan sebagai pesuruh. Gambaran tersebut meski bukan berasal dari Iriani sendiri melainkan dari studi pustaka dan wawancara diperkarakan oleh masyarakat Luwu.

Kasus ini mencuat pada awal Februari 2022. Pada pertengahan Maret 2022, pihak-pihak bersepakat damai. Kendati demikian, ada yang sangat mengganjal dari kesepakatan damai tersebut. Iriani tetap menjalankan sanksi secara adat, ia harus meminta maaf, serta menyembelih tiga ekor kerbau untuk upacara adat.

@gegerriy Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 
Penulis: Geger Riyanto Foto: Privat

Intimidasi Adat?

Saya bukan ahli kebudayaan Luwu. Saya tak tahu apakah pernyataan yang dipermasalahkan oleh masyarakat Rongkong muncul dari kekeliruan penafsiran Iriani atau sumber yang digunakannya. Namun, apa pun yang terjadi, Iriani jelas tak berangkat dari niat buruk ketika menuliskan makalahnya. Ia dapat dikoreksi dan dikritik, tapi hal ini tidak seyogianya dilakukan lewat intimidasi adat.

Dan permasalahan selanjutnya adalah efeknya bagi penelitian humaniora ke depannya. Sebagai peneliti humaniora, kasus tersebut berhasil mengintimidasi saya. Kasus ini juga menakutkan bagi peneliti-peneliti lain yang saya kenal. Bagaimana kalau hal ini menginspirasi masyarakat adat lain untuk mengkriminalisasi peneliti yang gambarannya tidak dikehendaki mereka?

Pada kenyataannya, kasus Iriani bukanlah kasus pertama. Pada tahun 2011, sosiolog Thamrin Amal Tomagola mengemukakan penelitian bahwa masyarakat Dayak dapat berhubungan intim tanpa diikat pernikahan. Ia menyampaikannya kepada wartawan setelah hadir sebagai saksi untuk membela Ariel Noah yang saat itu didakwa lantaran penyebaran video pornonya. Pernyataan Thamrin mengundang kemarahan Dewan Adat Dayak. Ia disidang secara adat dan hasil penelitiannya diminta dimusnahkan.

Sekali lagi, saya tak tahu apakah Iriani maupun Thamrin melakukan kekeliruan penafsiran kebudayaan atau tidak. Namun, saya acap menjumpai kekeliruan-kekeliruan penafsiran kebudayaan, bahkan di antara peneliti veteran sekalipun. Dan bila ada kekeliruan, hal yang sepantasnya dilakukan adalah ia dikritik atau dimintai pertanggungjawaban dalam koridor yang sama—lewat tanggapan yang sistematis dan akademik. Dengan cara ini, pertukaran ide justru menjadi subur, pun perhatian terhadap satu kebudayaan menjadi berkembang.

Intimidasi lewat ancaman hukum dan mobilisasi massa hanya akan menyebabkan peneliti berpikir dua kali sebelum meneliti sebuah masyarakat atau kebudayaan.

Belum lagi, kebudayaan merupakan anasir yang tak mungkin diam. Bisa jadi, suatu gambaran yang dianggap wajar beberapa tahun silam kini dianggap menghina, atau sesuatu yang menghina kini dipandang memuliakan. Alifuru yang sebelumnya merupakan label peyoratif di Maluku, misalkan, kini di tengah era kebangkitan identitas lokal menjadi sesuatu yang dibangga-banggakan.

Tak Ada Jalan Keluar Instan

Kita nampaknya tidak bisa berharap akan ada jalan keluar cepat terhadap permasalahan ini. Pasalnya, yang kita hadapi bukan cuma bersumber dari keawaman terhadap penelitian akademik.

Kita berada dalam kurun di mana identitas adat mengental. Dua dekade selepas desentralisasi diperkenalkan, identitas adat kini menjadi identitas yang baku baik itu karena ia rutin digunakan untuk mobilisasi politik, sebagai jaringan yang membantu menavigasi ruang sosial, maupun sebagai sandaran kebanggaan serta martabat. Dengan kenyataan ini, identitas adat akan menjadi hal yang senantiasa rawan ketika dibicarakan secara kritis.

Di luar wacana akademik sendiri, kita bisa melihat betapa reaktifnya orang-orang yang disatukan oleh identitas adat terhadap provokasi dari orang luar. Pernyataan yang dianggap menghina satu etnis bisa secara instan viral dan berujung pada intimidasi massal. Bahkan, ketidaksengajaan melibatkan kelompok etnis lain dalam satu bentrokan bisa berujung meluasnya spiral kekerasan. Artinya, kita seperti tengah melangkah di atas ladang ranjau ketika berbicara tentang identitas adat.

Namun, langkah yang bisa dicoba untuk membantu peneliti adalah menghadirkan institusi yang berfungsi menjadi mediator dalam kasus-kasus semacam. Institusi mediator ini tak ayalnya Dewan Pers dalam ekosistem media massa. Keberatan-keberatan kepada karya tulis peneliti diajukan kepada institusi yang menaungi ekosistem akademik ini, dan institusi ini akan memberikan hak jawab kepada peneliti yang menghasilkan karya tulis tersebut. Opsi ini lebih dimungkinkan dalam konteks di mana kultur akademik dan kritik masih terbatas.

Sebelum itu terjadi, saya, tentu saja, tetap akan melakukan penelitian-penelitian budaya. Namun, tampaknya itu hal yang kini perlu saya susun dengan hati-hati—sama hati-hatinya dengan ketika melakukan kritik terhadap kekuasaan. Sayang sekali.

@gegerriy 
Esais dan peneliti yang tengah menyelesaikan Ph.D. di Institut Etnologi, Universitas Heidelberg. 


*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.