1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Transfer Teknologi dan Integrasi Sosial di Luwu

Ayu Purwaningsih5 November 2007

Dengan sedikit modal yang didukung oleh Yayasan Swiss Jerman, Schmitz Foundation, warga di beberapa desa di Sulawesi Selatan mengembangkan sebuah proyek energi terbarukan.

https://p.dw.com/p/CT9X
Foto: AP

Matahari mulai tenggelam di ufuk barat. Sejumlah rumah di Desa Topandang, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, mulai menyalakan lampu. Anak-anak belajar, orangtua menikmati malam dengan berbagai aktivitasnya. Dulu, di malam hari, warga desa transmigrasi itu cuma ditemani lilin dan obor sebagai alat penerang. Baru akhir tahun 2005 lalu desa itu terjangkau oleh listrik. Tadinya mereka terpaksa pasrah hidup tanpa listrik.

Impian warga untuk dapat menikmati energi listrik bermula dari inspirasi seorang pemuda bernama Nasrudin, yang kebetulan berjalan-jalan ke desa itu. Mahasiswa Universitas Makasar, jurusan teknik elektro itu tersentuh hatinya melihat warga desa yang hidup tanpa listrik. Berbekal pengetahuan yang dimilikinya, bersama mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kuliah di Jerman, yang tergabung dalam Yayasan Nase Mulia, Nasrudin kemudian mengajak warga desa untuk membangun pembangkit listrik tenaga mikro hidro. Yayasan yang dibinanya kebetulan memang menaruh perhatian pada pengembangan energi terbarukan. “Masyarakat sini sangat membutuhkan penerangan. Apalagi BBM akan selalu.naik. Bahkan dalam setahun beberapa kali naik.”

Dengan biaya seadanya, warga berswadaya, bergotong-royong membangun pembangkit listrik tenaga mikro hidro PLTMH atau sarana yang menghasilkan energi listrik dengan memanfaatkan sumber tenaga air. PLTMH mampu menghasilkan listrik dalam skala kecil mulai dari lima kilowatt hingga dua ratus kilowatt. Ini cocok digunakan di daerah pedesaan yang belum dialiri listrik dari perusahaan listrik negara. Tidak seperti pembangkit listrik tenaga air PLTA yang harus membangun bendungan. PLTMH biasanya dibuat di dekat sungai atau saluran irigasi.

Proses yang dilakukan oleh masyarakat dalam membangun PLTMH ini pertama-tama mereka membendung aliran sungai di dusun mereka. Air kemudian dialirkan lewat saluran pembawa, lalu masuk ke bak penenang. Air dari bak penenang dialirkan melalui pipa penyuplai ke gardu listrik atau powerhouse untuk menggerakkan turbin. Turbin inilah yang kemudian dihubungkan dengan generator untuk membangkitkan listrik yang disebar ke rumah-rumah penduduk. Masing-masing rumah mendapat pasokan listrik 450 watt.

Kini warga desa sudah dapat menikmati pasokan listrik dan merasa puas. Simak penuturan seorang warga yang diwawancarai oleh TV Makasar: “Ya kami sangat berterimakasih sekali atas bantuan pembangunan energi lisitrik ini. Sekarang tak usah repot mencari kayu bakar. Menyeterika juga sudah bisa.”

Proyek PLTMH cukup menarik, karena tidak menggunakan bahan bakar minyak, sehingga tidak menghasilkan gas rumah kaca yang mengakibatkan pemanasan global. Biaya operasionalnya juga sangat rendah. Adam, mahasiswa Indonesia di Jerman yang tergabung dengan yayasan mengatakan: “Kami melibatkan masyarakat jadi biaya bisa ditekan, karena yang menikmati mereka juga. Misalnya untuk satu dusun biayanya 280 juta rupiah. Kecuali untuk instalasi dalam rumah, mereka harus usahakan biaya sendiri.”

Apa saja kendala yang dihadapi dalam pembangunan proyek ini? Kembali Adam: “Masyarakat memahami ini sebagai bantuan, padahal bukan bantuan. Mereka harus bekerja sendiri untuk kepentingan mereka sendiri. Belum lagi saat berurusan dengan birokrasi. Mereka ingin aambil bagian juga.”

Dari praktik di lapangan, pengembangan PLTMH tidak sekadar membangun pembangkit listrik, tetapi berpeluang menjadi salah satu upaya membangun kemandirian desa. Pengembangan PLTMH yang berbasis masyarakat ditujukan untuk menciptakan pusat pertumbuhan perekonomian desa. Selain di Dusun Topandang, Kabupaten Luwu, Yayasaan Nase Mulia bersama warga juga membangun PLTMH di Kampung Leon, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan. Dalam waktu dekat juga akan dibangun satu lagi PLTMH dengan kapasitas yang mampu mensuplai lebih dari 200 kepala keluarga di Kampung Karre Limbong, Tana Toraja dan Soppeng.

Dalam membangun energi terbarukan ini, Yayasan Nase Mulia didukung oleh Schmitz Foundation, sebuah Yayasan Swiss Jerman yang berkantor di Düsseldorf, Jerman. Bukan hanya di Indonesia, yayasan ini juga aktif membantu di negara-negara dunia ketiga lainnya. Konsep yang ditawarkan cukup menarik yaitu pengentasan kemiskinan lewat transfer teknologi dan sekaligus membangun toleransi keragaman dalam masyarakat.

Mereka mendanai puluhan proyek serupa di Indonesia. Simak penuturan Ralf Kresal dari Schmitz Foundation: “Target Schmitz Foundation adalah warga yang sangat miskin, misalnya komunitas di pedesaan. Kami bekerjasama dengan mitra LSM lokal di wilayah proyek. Kami berdiskusi mencari cara yang pas di lokasi itu untuk mengatasi kemiskinan. Kami ajak mereka membangun kerjasama untuk mengentaskan kemiskinan. Di Sulawesi dan Sumatera banyak etnis minoritas saja, nah kita tak bisa bantu satu etnis saja, kita harus bisa mengajak semuanya untuk kerjasama. Misalnya Kristen dan Muslim. Bila anda membantu satu pihak kamu juga harus bantu lainnya, Bila tidak anda akan mengalami kesulitan dalam mewujudkan proyek semacam ini di wilayah itu.”

Proyek di Luwu, Sulawesi Selatan, menjadi proyek yang pas untuk transfer teknologi sekaligus integrasi sosial. Wilayah itu pernah dilanda kerusuhan antar warga. Namun dengan adanya program kerja yang dilakukan untuk kepentingan bersama, potensi konflik diharapkan pudar.