1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

PBB Didesak Berlakukan Embargo Senjata Terhadap Myanmar

6 Mei 2021

Lebih dari 200 organisasi global mendesak Dewan Keamanan PBB memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar. Mereka menyebut waktu untuk memberikan pernyataan `telah habis` dan saatnya melakukan tindakan substantif.

https://p.dw.com/p/3t1PO
Ujuk rasa menentang kudeta militer Myanmar di negara bagian Shan, Minggu (02/05)
Ujuk rasa menentang kudeta militer Myanmar di negara bagian Shan, Minggu (02/05)Foto: Handout/SHWE PHEE MYAY NEWS AGENCY/AFP

Lebih dari 200 organisasi global termasuk organisasi HAM Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International mendesak Dewan Keamanan PBB pada Rabu (05/05) untuk memberlakukan embargo senjata terhadap Myanmar. Tindakan ini dinilai diperlukan untuk membantu melindungi pengunjuk rasa dari tindakan keras pihak militer.

Sejak militer mengambil alih paksa pemerintahan di Myanmar pada 1 Februari lalu, dilaporkan sedikitnya 769 orang termasuk 51 anak-anak tewas sementara ribuan aktivis, wartawan, pegawai negeri, dan politikus ditangkap.

"Tidak ada pemerintah yang boleh menjual satu peluru pun kepada junta Myanmar dalam keadaan ini,'' demikian bunyi pernyataan bersama organisasi non-pemerintah dan kelompok masyarakat sipil dari seluruh dunia dilansir kantor berita Associated Press.

"Memberlakukan embargo senjata global terhadap Myanmar adalah langkah minimum yang perlu diambil Dewan Keamanan PBB sebagai respons terhadap kekerasan militer yang meningkat," lanjut pernyataan tersebut.

Sanksi embargo tidak mungkin terwujud?

Organisasi-organisasi tersebut juga mendesak Inggris, konseptor resolusi Myanmar, "untuk memulai negosiasi tentang resolusi yang mengesahkan embargo senjata secepat mungkin.''

Namun, tampaknya langkah embargo itu urung terjadi. Hal ini dikarenakan Cina dan Rusia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB yang juga mempunyai hak veto bersama dengan Amerika Serikat, Prancis, dan Inggris, menolak untuk menjatuhkan sanksi terhadap Myanmar.

"Kami tidak mendukung pemberian sanksi dan kami melakukannya sebagai upaya terakhir dalam mengatasi konflik," kata Duta Besar Cina untuk PBB Zhang Jun pada Senin (03/05) ketika ditanya apakah Beijing akan mendukung tindakan Dewan Keamanan PBB yang lebih tegas terhadap Myanmar.

Waktu telah habis

Sejak kudeta pada 1 Februari silam, Dewan Keamanan PBB telah beberapa kali mengadakan pembicaraan tertutup tentang situasi Myanmar dan kerap mengeluarkan pernyataan keprihatinan serta mengutuk kekerasan yang terjadi terhadap pengunjuk rasa. Namun, kelompok organisasi dan LSM mengatakan bahwa waktu untuk mengeluarkan pernyataan telah habis.

"Waktu untuk pernyataan telah berlalu. Dewan Keamanan harus membawa konsensusnya tentang Myanmar ke tingkat yang baru dan segera menyetujui tindakan segera dan substantif. Rakyat Myanmar tidak bisa menunggu Dewan Keamanan lebih lama lagi untuk mengambil tindakan."

Oposisi membentuk `pasukan` sendiri

Sementara itu, pemerintah bayangan besutan para politisi pro Aung San Suu Kyi, Persatuan Nasional Myanmar (NUG), pada hari Rabu (05/05) dilaporkan membentuk tentara sendiri untuk melindungi para pegunjuk rasa dari serangan militer dan kekerasan yang dipicu oleh junta.

NUG mengatakan pembentukan pasukan yang bernama "pasukan pertahanan rakyat" adalah sebagai pendahuluan untuk membentuk Tentara Persatuan Federal.

NUG pun mendapat dukungan dari sejumlah milisi etnis di Myanmar, salah satunya dari Serikat Nasional Karen (KNU), pasukan pemberontak tertua di negara itu. Hingga berita ini diturunkan, pihak junta belum memberikan tanggapannya soal pembentukan pasukan ini.

rap/as (AP, Reuters)