1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Pasangan Gay Ingin Adopsi Anak

26 Juni 2021

Tahap demi tahap dijalani influencer asal Medan, Ragil Mahardika, dan suaminya asal Jerman, Frederik Vollert, dalam proses adopsi anak di Jerman. Bagaimana rencana pasangan gay ini dalam pola pengasuhan anak?

https://p.dw.com/p/3vW7p
Ragil Mahadika, Tiktoker
Pasangan gay, Ragil dan Fred, yang ingin adopsi anakFoto: Ragil Mahardika

Tahap wawancara pertama sebagai calon orang tua yang ingin mengadopsi anak di Jerman, sudah dilalui Ragil Mahardika dan suaminya Frederik Vollert. Seperti pasangan heteroseksual, tahapan ketat untuk mengadopsi anak juga dirasakan pasangan gay ini. Pada sesi wawancara tahap satu, mereka menghabiskan waktu berjam-jam dalam menjawab ‘seabrek' pertanyaan.

"Belum lagi saat mempersiapkan semua dokumen yang diperlukan, mulai dari akta lahir, domisili, tidak terhitung banyaknya," tambah Ragil, "Untung akhirnya lengkap semua," katanya lega.

"Kami juga lewati tes kesehatan, kita harus pergi ke dokter dan cek segala macam urusan kesehatan. Mulai dari penyakit dalam sampai penyakit psikis juga," ujarnya semringah, setelah pasangan yang tinggal di Kota Bamberg, Jerman, itu lolos dalam tes-tes tersebut.

"Kami sekarang sedang menunggu tahap di mana pihak adopsi itu datang ke rumah untuk mengecek rumah. Jadi hanya tinggal tahap wawancara akhir dan seminar dua hari untuk jadi calon orang tua asuh," demikian ungkap Ragil Mahardika dengan mata berbinar-binar.

"Lalu setelah itu, akan ada tim yang datang ke rumah untuk mengecek situasi dan kondisi di rumah. Akan dilihat bagaimana kemungkinan anak itu akan tinggal di rumah kita," papar influencer media sosial asal Medan ini. Bahkan jumlah gaji mereka pun diperiksa untuk memastikan keduanya mampu membiayai calon anak yang ingin mereka adopsi.

Kesiapan menjadi orang tua 

Setelah semua tahapan itu selesai, barulah mereka masuk dalam daftar resmi calon orang tua untuk mengadopsi anak. Nanti jika ada anak yang bisa mereka adopsi, pihak yang berwenang akan menghubungi mereka.

Keseluruhan proses ini sudah mereka mulai sejak setahun silam. Pandemi COVID-19 menghambat kelancaran proses adminsitrasi tersebut, di antaranya karena adanya pembatasan untuk mengunjungi dan memeriksa rumah mereka di masa lockdown.

"Kalau tidak salah katanya enam sampai tujuh jam mereka akan mengecek segala macam yang ada di rumah. Misalnya kita sedang masak juga akan dilihat, sedang berkomunikasi satu sama lain juga akan dilihat. Jadi dipantau, apakah kita bisa menjadi orang tua yang baik, begitu," ujar Ragil yang merasa sudap siap lahir batin membesarkan seorang anak.

Bekerja di bidang sosial memudahkan Ragil di proses interview

Salah satu hal yang memberi nilai plus bagi Ragil sebagai calon orang tua adalah pengalaman Ragil sendiri yang bekerja di bidang sosial. "Waktu diwawancara itu banyak pertanyaan-pertanyaan yang memang sudah biasa aku lakukan di pekerjaan. Jadi bedanya, untuk Frederik, pasanganku, malahan dia kesusahan menjawab pertanyaan karena dia sama sekali tidak bekerja di bidang sosial. Jadi dia kebingungan, mau jawab apa nih," ujar Ragil sambil tertawa.

"Kalau saya pribadi, karena memang bergerak di bidang sosial jadi mudah. Itu pertanyaan-pertanyaan yang biasanya malah aku yang bertanya kalau sedang melakukan pekerjaan. Cara berkomunikasi dengan anak yang baik, misalnya. Jadi pekerjaanku benar-benar membantu saat proses interview, saya jadi gampang menjawabnya, sedangkan pasanganku harus pikir-pikir dahulu "Aku harus jawab apa?" Jadi cukup sangat membantu. Karena kalau memang kita latar belakangnya sudah bekerja di bidang sosial, tentu boleh dibilang, cukup membantu dalam proses adopsi," tandas Ragil.

Perjalanan masih panjang

Jika nantinya pasangan gay multikultur ini berhasil mengadopsi anak, pola pengasuhan mereka juga masih akan berada di bawah pantauan.”Selama satu tahun adopsi dilihat bagaimana kita bisa menjadi orang tua yang baik dan benar. Jadi setelah satu tahun itu prosesnya, baru kita akan dilepas (dipercaya) oleh pihak adopsi."

Di lain pihak, pengamat masalah anak, Hamid Patilima tidak setuju jika pasangan gay mendapatkan hak untuk adopsi anak. Menurutnya, anak memiliki hak untuk mengenal siapa orang tua yang melahirkan; yang membesarkan; dan yang menjamin pemenuhan hak-hak dan perlindungan khususnya, "Selain itu, anak memiliki hak terhindar dari gangguan orang lain yang mengaitkan kehidupan dirinya dengan stigma yang dilekatkan pada diri orang tua yang membesarkannya. Anak juga membutuhkan sosok seorang ibu dan ayah sebagai panutannya dalam proses pembentukan diri," papar Hamid.

Namun baik Ragil dan pasangan sudah berkali-kali mendiskusikan bagaimana mereka akan mengasuh calon anak adopsi mereka nantinya. Termasuk bersikap jujur dan transparan pada calon anak tersebut. ”Kami dari awal memang akan menyesuaikan dengan usia anak untuk bilang bahwa kami adalah orang tua adopsi. Jadi kami tidak akan menutupi latar belakang si anak, tapi memang harus disesuaikan dengan umur si anak, kapan yang tepat untuk menjelaskan padanya nanti soal itu."

Tiktoker ini juga ingin agar nantinya anak mereka bisa tumbuh dan berkembang dengan baik di keluarga kecil yang mereka bina. ”Walaupun misalnya, di keluarga kami nanti ada dua ayah tanpa ibu, kami  bisa memberikan kasih sayang yang untuk si anak ini. Juga ada norma-norma yang ingin saya tanamkan, misalnya norma-norma kebaikan, termasuk menghargai sesama manusia," ujar Ragil lirih mengingat begitu banyak hujatan di media sosial yang kerap ia terima karena orientasi seksualnya.

Sementara dikutip dari jurnal Science Daily,  sebuah studi dari Universitas Colorado, Denver, menemukan bahwa para ilmuwan setuju bahwa anak-anak dari orang tua sesama jenis mengalami "tidak ada perbedaan" sosial dan perilaku dibandingkan dengan anak-anak dari orang tua heteroseksual atau orang tua tunggal. Riset tersebut dipimpin oleh peneliti Jimi Adams dan telah dipublikasikan di Social Science Research.

Kebebasan dan kebahagiaan

Selain mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan kemanusiaan, baik Ragil dan pasangan ingin memberi kebebasan pada calon anak mereka atas agama, cita-cita, kewarganegaraan yang ingin anak itu pilih.

"Dan banyak juga pertanyaan yang bilang nanti kalau anaknya ‘cowok' atau memilih jadi gay juga atau memang dirinya gay, bagaimana? Ya jika itu memang adalah pilihan dia, katakanlah kalaupun nanti memang dia sudah besar, sudah 18, 19 tahun dan bilang: "Ayah, aku mencintai seorang lelaki juga, semua itu balik lagi pada dirinya sendiri, apakah memang itu kebahagiaan dia, kalau dia bahagia dengan jalannya, aku akan tetap ada di sampingnya dan mendampingi kehidupannya sampai dia bilang: Oke, aku bahagia," pungkas Ragil. (ae)