1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialEropa

Rasa Keadilan di Balik Sikap Fransiskus Soal Homoseksualitas

23 Oktober 2020

Dukungan Paus Fransiskus bagi ikatan sipil homoseksual diyakini didorong rasa keadilan. Tapi meski sikapnya soal hak kaum LGBTQ+ diwarnai kontradiksi, ucapannya itu mengakhiri haluan milik pendahulunya, Joseph Ratzinger

https://p.dw.com/p/3kLHl
Paus Fransiskus memimpin upacara Jalan Salib atau Via Curcis di Koloseum Roma, Italia, 19 April 2019.
Paus Fransiskus memimpin upacara Jalan Salib atau Via Curcis di Koloseum Roma, Italia, 19 April 2019.Foto: Reuters/Y. Nardi

Paus Fransiskus kembali membuat geger usai menyatakan dukungan atas ikatan sipil sebagai kerangka hukum bagi pasangan homoseksual. Hal itu diungkapkannya dalam sebuah film dokumenter tentang seksualitas dan gereja Katolik yang tayang perdana hari Rabu (22/10) 

Sontak ucapannya itu membuat kaum konservatif di Gereja Katolik meradang, terutama di negara-negara yang masih menyuburkan persekusi dan diskriminasi terhadap kaum LGBTQ+.  

Di Filipina misalnya, pensiunan uskup Arturo Bastes mengatakan dirinya “punya keraguan besar atas kebenaran moral,” dari posisi Paus tersebut. Menurutnya paguyuban homoseksual akan “mengarah pada tindakan amoral.” 

Pemerintah Filipina sebaliknya menyambut baik perubahan paradigma di Gereja Katolik Roma. “Dengan dukungan Paus, saya kira bahkan pemeluk Katolik paling konservatif di Kongres pun tidak akan punya alasan untuk membantah,” kata Jurubicara Kepresidenan, Harry Roque, merujuk pada kewenangan parlemen menyetujui pernikahan sesama jenis. 

Gereja Katolik dan homoseksualitas sebenarnya bukan lagi hal asing, kata Dr. Michael Bringschröder, Teolog Jerman yang sendirinya homoseksual. Contoh terbanyak bisa didapati di Jerman, di mana keuskupan mulai membuka pintu bagi kaum LGBTQ+.

Dalam wawancara ekslusif dengan DW, pria yang belakangan aktif di lembaga Oikumene untuk Homoseksualitas dan Gereja itu menyambut pernyataan Fransiskus, meski tidak memperkirakan akan adanya perubahan dramatis pada laku gereja. Dia meyakini sikap Sri Paus lebih digerakkan oleh rasa keadilan, ketimbang interpretasi teologi. Berikut kutipannya:

+++

DW: Gereja Katolik dan Homoseksualitas, bagaimana keduanya bisa berpadu? 

Dr. Michael Bringschröder: Keduanya cocok karena ada banyak negara bermayoritaskan Katolik, di mana lkatan sipil atau pernikahan sesama jenis sudah diperbolehkan. Paus Fransiskus juga mendukung ini, bahkan sudah sejak menjabat Uskup Buenos Aires di Argentina. 

Sebesar apa pengaruh pernyataan Paus Fransiskus terhadap gereja-gereja Katolik di dunia, terutama di negara-negara yang masih mengharamkan homoseksualitas? 

Upacara pernikahan pasangan gay di Gereja Santa Maria di Berlin, Jerman, 2016.
Layanan pernikahan untuk pasangan sesama jenis sudah ditawarkan di sejumlah gereja Katolik dan Protestan di Jerman. (Gambar: Upacara pernikahan pasangan gay di Gereja Santa Maria di Berlin, Jerman, 2016.)Foto: picture-alliance/dpa/W. Kastl

Ini adalah pertanyaan besarnya, yakni bagaimana gereja dan para uskup di negara-negara ini akan menyikapi sebuah pernyataan Paus yang diungkapkan di sebuah film dokumenter. Ucapannya itu kan bukan posisi resmi gereja, melainkan pernyataan seorang Paus. Artinya pernyataannya itu membuka ruang bagi ragam penerimaan. Saya kira, di banyak negara Afrika atau Eropa Timur, pernyataannya tidak akan diterima dengan terbuka, terutama jika konferensi keuskupan sudah menetapkan penolakan terhadap ikatan homoseksual dan diskriminasi, sementara di negara-negara barat pernyataan itu bisa sangat mungkin berpengaruh dan ditanggapi positif. 

Baru-baru ini Sri Paus menerbitkan Ensiklik terbarunya, di mana isu ini sama sekali tidak dibahas. Apakah dari sudut pandang teologis tidak ada dalil yang bisa mendukung posisinya itu? 

Tentu saja. Gereja Katolik sebenarnya sejak lama sudah memperjuangkan hak asasi manusia. Tepatnya sejak Yohannes XXIII, gereja semakin memperjelas posisinya, dan itu juga menjadi haluan bagi para Paus hingga saat ini. Pada haluan ini juga Paus Fransiskus mengambil langkah maju, saat mengatakan bahwa gay dan lesbian juga punya hak untuk membangun keluarga. Pernyataan ini berarti lebih dari sekedar hak untuk ikatan sesama jenis, melainkan juga bahwa keluarga homoseksual harus dibantu dan mendapat bantuan negara. 

Bukankah sikap itu lebih menitikberatkan pada asas legalitas pasangan sesama jenis, bukan sesuatu yang lahir dari interpretasi teologi? 

Anggaplah begini, teologi terbagi ke dalam beberapa bagian. Isu homoseksualitas terdapat pada bagian Teologi Moral. Dan apa yang dilakukan Fransiskus, pertama dengan kata “siapa saya untuk menghakimi Anda?” (terkait homoseksualitas), dia menyerahkan isu ini ke ranah pastoral, dan dengan ucapannya yang terbaru dia menggeser isu ini ke bagian Etika Sosial, model masyarakat seperti apa yang dibayangkan gereja dan untuk siapa mereka bekerja di bidang sosial politiknya. Dan saya melihat langkahnya itu sudah sangat konsisten dengan ajaran gereja dalam kaitannya dengan hak asasi manusia. 

Tapi dua tahun lalu dia mengatakan bahwa homoseksualitas hanyalah sebuah tren. Sebenarnya seberapa terpercaya posisi Paus dalam hal ini? 

Sulit untuk dijawab. Jika dia ditanya dari sudut pandang teori gender, atau posisi gereja terkait masalah gender, maka yang keluar selalu jawaban negatif, dan jika dia melihatnya dari sudut pandang pelayanan umat, maka jawabannya selalu positif. Jadi posisinya bergantung pada ruang teologi yang digunakan Fransiskus. Jadi memang tidak seragam dan tidak konsisten. Sebab itu kita harus melihat konsekuensi apa yang akan terjadi pada ajaran gereja. Salah satu konsekuensi yang bisa kita harapkan adalah bahwa Katekismus (doktrin pengajaran gereja) juga diubah, dan setidaknya hak atas keluarga dan hak atas ikatan sejenis ditulis di sana. 

Menurut Dr. Brinkschröder, sikap Paus Fransiskus mengakhiri kebijakan politik gereja terhadap kaum homoseksual seperti yang digariskan pendahulunya, Paus Benediktus XVI.
Menurut Dr. Brinkschröder, sikap Paus Fransiskus mengakhiri kebijakan politik gereja terhadap kaum homoseksual seperti yang digariskan pendahulunya, Paus Benediktus XVI.Foto: picture-alliance/dpa/EPA/G. Bordia

Apa yang harus dilakukan Paus untuk membetoni posisinya itu di dalam lingkup gereja? Mungkin kah dia mengulas hal ini dalam sebuah Ensiklik misalnya? 

Hal semacam itu tentu sangat diharapkan. Tapi apa yang saya lihat sebagai langkah terbaik adalah jika dia atas inisatif sendiri mengubah Katekismus. Hal itu tidak perlu terjadi dalam kerangka Ensiklik, tetapi juga bisa pernyataan dukungan dalam level yang lebih rendah. Tapi saya tidak yakin ini akan terjadi, karena gereja-gereja di dunia sangat terbelah dalam isu seksualitas sesama jenis. Dan jika dia ingin mengambil langkah formal, maka dia sudah menggeruduk konfrensi keuskupan Polandia yang menekankan bahwa larangan terhadap homoseksualitas merupakan ajaran inti gereja

Menurut Anda bagaimana reaksi para kardinal di Vatikan terhadap pernyataan Paus? 

Ada banyak kardinal yang mendukung posisi Fransiskus. Sangat sulit memperkirakan apakah akan ada seseorang yang berani menentang Paus secara langsung. Satu hal yang harus ditekankan di sini, adalah bahwa Paus Fransiskus secara gamblang menentang kongregasi gereja seperti yang ditetapkan Paus Benediktus XVI alias Joseph Ratzinger. 

Dan dengan itu dia mengakhiri sikap politik gereja terkait ikatan sesama jenis. 

Apakah kita sudah bisa berbicara tentang modernisasi gereja, terutama di bawah Paus Fransiskus? 

Jika yang dimaksud modernisasi dalam konteks liberalisasi seperti yang ramai dipahami di Jerman, maka kita sudah keliru memahami ucapan Sri Paus. Karena dia digerakkan oleh situasi sosial, rasa keadilan dan pengampunan, bukan oleh kebebasan.  

+++

Dr. Michael Bringschröder adalah seorang teolog Katolik yang aktif di kelompok kerja untuk homoseksualitas dan gereja (HuK) di Jerman, yang mengkampanyekan hak kaum LGBTQ+ untuk diterima di lingkungan gereja Katolik dan Protestan. 

(as)