1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Makna Reunifikasi di Mata Dubes Jerman untuk Indonesia

Prihardani Ganda Tuah Purba
3 Oktober 2020

Duta Besar Jerman untuk RI, Peter Schoof berbagi pengalaman terkait masa suram sebelum reunifikasi Jerman terwujud. Di Indonesia, salah satu peringatannya dirayakan dengan pameran foto bertema “Penyatuan Keanekaragaman”.

https://p.dw.com/p/3jJXj
Dubes Jerman untuk RI - Dr. Peter Schoof
Duta Besar Jerman untuk Indonesia. Dr. Peter Schoof.Foto: Deustche Botschaft Indonesien

Tanggal 3 Oktober merupakan hari yang bersejarah untuk Jerman. 30 tahun lalu, tepatnya pada tanggal 3 Oktober 1990, negara yang sebelumnya terbagi menjadi Timur dan Barat setelah Perang Dunia II itu akhirnya kembali bersatu. 

Apa sebenarnya makna reunifikasi Jerman yang bisa diterapkan di masa sekarang, dan bagaimana peringatannya dirayakan di Indonesia? DW Indonesia mewawancarai Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Dr. Peter Schoof. Ia juga berbagi pengalaman masa kecil jauh sebelum runtuhnya Tembok Berlin dan reunifikasi Jerman terwujud.

DW Indonesia: Apa makna reunifikasi ini sebenarnya? Bolehkah Anda jelaskan singkat bagaimana itu bisa terjadi?

Duta Besar Peter Schoof: Tentu saja terpecahnya Jerman adalah hasil dari Perang Dunia II, hasil dari kekejaman Nazi Jerman dan semua hal mengerikan yang dibawanya ke seluruh dunia, membunuh puluhan juta tetangga kita, yang disebut sebagai The Shoah (Holocaust -Red) – secara sederhana bisa dibilang sebagai upaya untuk memusnahkan populasi Yahudi di negara kita. 

Jadi setelah jatuhnya Nazi, Jerman kemudian dibagi menjadi beberapa zona dengan bagian timur Jerman diduduki oleh Uni Soviet. Pada awalnya, ada beberapa zona yang diduduki oleh Amerika, Inggris, Prancis, dan Uni Soviet. Dan ini membuat semakin banyak perpecahan antara Jerman Timur dan Jerman Barat. Sampai pada tahun 1949, Republik Federal Jerman (FDR, atau umum dikenal dengan Jerman Barat) dan Republik Demokratik Jerman (GDR, umum dikenal dengan Jerman Timur) terbentuk. Pemisahan ini kemudian berlangsung sampai 41 tahun, waktu yang sangat panjang. Hal itu tentu membuat banyak keluarga dan sahabat terpisah, banyak masalah dan kesedihan terjadi. Pengalaman yang sangat traumatik.

Reunifikasinya tentu saja dimulai dari runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989, sebuah kejadian yang banyak orang sebenarnya tidak menyangka akan terjadi pada waktu itu.

Apakah Anda punya pengalaman sendiri terkait hari spesial ini? Saya rasa Anda masih sangat muda waktu hal itu terjadi?

Saya lahir tahun 1955, jadi ketika tembok (Berlin) runtuh, saya masih muda meski tidak semuda itu.

Dari masa kecil saya, saya harus katakan saya tidak pernah mengunjungi GDR (Jerman Timur). Tapi keluarga dari ayah saya berasal dari Halle, sebuah kota yang terletak di bagian timur Jerman - dan mereka datang ke Jerman Barat di awal tahun 50-an. Tapi sewaktu saya kecil, saya sering berkunjung ke Berlin barat dengan menggunakan kereta api, dan untuk sampai ke sana, Anda harus melewati GDR (Jerman Timur).

Dan saya ingat sekali pada waktu itu, gambaran-gambarannya masih terpatri jelas di memori saya, yaitu tentang titik-titik pemeriksaan ketika Anda harus melintasi Jerman Barat menuju Jerman Timur, karena Anda harus berkendara 2 jam ke wilayah GDR untuk sampai ke Berlin barat.

Saya tahu betapa menakutkannya pemeriksaan waktu itu, semua kereta api akan diberhentikan, sangat banyak pasukan militer dengan senjata memeriksa orang-orang yang akan masuk ke dalam kereta api, terutama mereka yang akan kembali dari Berlin barat ke Jerman barat. Ini adalah memori suram kalau bisa saya bilang.

Kemudian ketika Tembok Berlin runtuh, saya ingat tahun 1989 ketika kami masih di Bonn, banyak yang tidak menyangka kejadian itu akan terjadi. Banyak orang yang tidak percaya bahwa dalam 1 tahun (setelah runtuhnya Tembok Berlin), penyatuan Jerman dapat terwujud. Jadi ada semacam keraguan bahwa hal itu bisa terwujud. 

Tapi ternyata Tembok Berlin jatuh, dan ini tentu saja jadi ‘game changer’ besar. Bahwa kurang dari 1 tahun kita dapat mewujudkan Perjanjian Penyatuan Jerman. Tanggal 3 Oktober 1990 tepatnya dan itu menurut saya jadi hari yang spesial bagi kita semua.

Tahun ini sudah memasuki 30 tahun peringatan reunifikasi Jerman, bagaimana perayaannya di Indonesia?

Tahun ini tentu semuanya berbeda. Kalau biasanya ada resepsi besar setiap tahun, tahun ini kami tidak bisa melakukannya. Jadi banyak kegiatan yang kami ubah menjadi virtual, dan kita hanya bisa berharap situasi corona ini bisa secepatnya kita atasi agar kita bisa merayakannya seperti dulu lagi, saya sangat merindukannya.

Apa saja kegiatan yang diselenggarakan?

Ada beberapa kegiatan. Salah satunya adalah kita menggelar pameran foto oleh fotografer asal Jerman yang menampilkan foto portrait dari orang-orang Indonesia. Foto-fotonya dipamerkan di sekitar kedutaan, semua orang bisa melihatnya.

Pameran ini bertema “Penyatuan Keanekaragaman” yang saya rasa sangat penting untuk Indonesia, karena Indonesia adalah negara dengan keanekaragaman, begitu juga Jerman. Jadi, kalau Anda melihat wajah-wajah di foto ini, Anda akan menemukan refleksi keragaman yang ada di negara ini, dan juga sebuah pemahaman bahwa kesepakatan di tengah perbedaan sangat mungkin terwujud, bahwa persatuan juga sangat mungkin terwujud.

Pameran foto bertema "Penyatuan Keanekaragaman" (Deutsche Botschaft Indonesien)
Pameran foto dengan tema "Penyatuan Keanekaragaman" digelar di Kedutaan Jerman di Jakarta dalam rangka peringatan 30 tahun reunifikasi JermanFoto: Deustche Botschaft Indonesien

Kami juga menampilkan dua film dokumenter yang dibintangi Tilda Swinton, aktris Inggris terkenal. Film-nya dibuat tahun 1988, satu tahun sebelum runtuhnya Tembok Berlin, di mana ia bersepeda di sepanjang tembok di Berlin. Impresi yang disampaikan dari situasi di sana adalah, ada kontras yang ditampilkan bahwa di satu sisi tembok ada semacam normalitas, tapi di sisi lain ada bekas luka yang konstan dari penulisannya. Sangat menarik.

Dan hal yang sama ia lakukan di tahun 2009, 21 tahun kemudian, di jalan yang sama, ketika temboknya sudah tiada. Jadi film pertama berjudul ‘Cycling the Frame’ dan film kedua adalah ‘The Invisible Frame’.

Terakhir, apa makna dari reunifikasi yang bisa diimplementasikan di masa sekarang?

Hari penyatuan Jerman dan fakta bahwa kami dapat bersatu sejatinya menunjukkan bahwa dalam sejarah segalanya menjadi mungkin. Kami adalah negara yang banyak dianggap berbuat buruk bagi dunia kalau kita lihat ke masa lalu, tapi kami juga negara yang diberkahi dengan keberuntungan dan rejeki bahwa kita mampu mengatasi perpecahan setelah sekain dekade dengan cara yang positif. 

Saya rasa ini (reunifikasi) jadi pesan bagi masyarakat untuk percaya pada kebebasan. Ini juga jadi pesan bagi orang-orang untuk percaya bahwa perubahan itu sangat mungkin terwujud dengan jalan damai, karena elemen penting dari penyatuan Jerman adalah bahwa rekan-rekan kami di Jerman Timur, mereka mewujudkan revolusi damai tanpa pertumpahan darah, dan itu sangat mungkin terjadi. Itu yang menurut saya jadi pesan yang dapat kita bawa setiap tahun untuk dunia sebagai sebuah mercusuar harapan. (gtp/vlz)

Wawancara untuk DW Indonesa dilakukan oleh Prihardani Ganda Tuah Purba dan telah diedit sesuai konteks.