1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

ASEAN-UE soal Aturan “Cokelat” hingga Identitas Negara

2 Oktober 2020

Di era modern, seberapa inklusifkah negara-negara ASEAN dan Eropa saat ini? Apa yang bisa dipelajari satu sama lain? Para pembicara ternama berdebat soal membangun identitas ASEAN-UE dan saling pelajari satu sama lain.

https://p.dw.com/p/3jJZM
Peter Schoof
Peter Schoof, Duta Besar Jerman untuk Indonesia

Negara-negara di Eropa dan ASEAN tengah mengedepankan identitas kolektif dengan konsep inklusivitas. Di kehidupan masyarakat yang beragam dengan latar belakang berbeda-beda bagaimana caranya negara-negara Eropa dan ASEAN memastikan bahwa konsep ini bukan hanya bagi sebagian kelompok orang?

Dalam debat virtual yang diselenggarakan oleh Kedutaan Besar Jerman di Indonesia, pada Kamis (01/10), para pembicara ternama perwakilan ASEAN dan Eropa membicarakan soal pembangunan identitas negara dan aturan-aturan perlindungan masyarakat.

Wakil Presiden Parlemen Eropa sekaligus anggota Partai Sosial Demokrat Katarina Barley mengatakan, sebenarnya sulit membandingkan Eropa dan ASEAN.

“Saya rasa sulit membandingkan keduanya (ASEAN dan Eropa). Kita memiliki tingkat integrasi yang sangat berbeda, dan juga tentang “ukuran”. Maksud saya, negara Indonesia sendiri saja sudah jauh lebih besar dari setengah Uni Eropa, jika berbicara tentang jumlah penduduk. Jadi ada banyak perbedaan,” ujar Barley.

Menanggapi hal itu, mantan Menteri Luar Negeri RI Marty Natalegawa menyatakan setuju bahwa ASEAN dan Eropa berbeda, namun keduanya tetap relevan.

“ASEAN dan Eropa memang berbeda, tapi tidak ada satu ukuran yang cocok untuk semua. Kita harus mengedepankan toleransi dan belajar satu sama lain. Keduanya tetap relevan karena kita belajar tentang apa yang berhasil di eropa dan apa yang mungkin tidak berhasil di ASEAN,” ujarnya.

Benarkah Eropa berlebihan mengatur warganya?

Mantan Duta Besar Singapura untuk PBB sekaligus profesor di University of Singapore, Tommy Koh mengkritik soal mengapa Eropa begitu ketat mengatur kehidupan warga Eropa.

“Eropa harus memperhatikan bahwa hanya 70% orang eropa yang mengidentifikasi dirinya dengan Uni Eropa. Ini adalah persentase yang sangat rendah dibandingkan dengan 94% orang Asean,” ujar Koh. 

Saat dirinya menjabat Direktur Eksekutif Yayasan Asia-Eropa, Koh mengatakan bingung dengan Eropa yang memperdebatkan masalah “cokelat”. Ia mengatakan, “Saya melihat orang-orang sangat sibuk dan saya bertanya kesibukan apa yang Anda lakukan minggu ini?”

Ia menambahkan, “Beberapa anggota parlemen Eropa menjawab, oh kami sangat sibuk memperdebatkan apa itu cokelat.”

Menurutnya, Eropa sebaiknya membiarkan konsumen memilih sendiri apa itu definisi cokelat buat mereka. Koh menekankan tentang “integrasi berlebihan” yang ia sebut melanggar otonomi warga dalam aturan perlindungan konsumen.

“Ketahui kapan harus berhenti mengatur secara berlebihan,” sebut Koh, yang ia tujukan secara spesifik kepada Barley. “Regulasi adalah hal yang baik, tetapi mengatur secara berlebihan adalah hal yang buruk,” tambahnya.

Menanggapi hal itu, Barley yang pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Perlindungan Konsumen Federal mengatakan bahwa debat terkait cokelat itu bukan hal yang kecil. Pejabat Eropa berdebat panjang soal “cokelat” karena negara-negara Eropa Timur menyebut bahwa “Nutella adalah bahan yang lebih berharga di negara Eropa barat daripada di Eropa timur”, dan mereka geram karenanya. 

Wakil Presiden Parlemen Eropa Katarina Barley
Wakil Presiden Parlemen Eropa Katarina Barley sebut aturan soal cokelat dikedepankan demi perlindungan konsumen

Komentar-komentar pun bermunculan dari para penonton, yang sepakat dengan aturan Eropa. Beberapa di antaranya menyebut, “Barley sepenuhnya benar dalam debat cokelat – di Eropa kami perlu dan ingin tahu tentang apa yang kami makan! Untunglah kualitas produk makanan dipantau dan diatur!”

Komentar lainnya seperti, “Nutella mencoba mempromosikan dirinya sebagai "selai coklat", namun nyatanya hanya ada 8% cokelat di dalamnya. Ini sangat menyesatkan konsumen Eropa. Kita seharusnya tahu apa yang kita makan.” 

“Tidak harus seperti Eropa”

Duta Besar Jerman untuk Indonesia, Peter Schoof, mengatakan ada banyak hal yang bisa dipelajari tentang bagaimana Eropa dan ASEAN menjalani pemerintahan.

“Eropa sebagai proyek supranasional, sementara ASEAN menjadi organisasi antar pemerintah,” ujar Schoof.

Ia menarik kesimpulan lewat tiga hal, pertama bahwa satu kesamaan yang masing-masing ASEAN dan Eropa miliki adalah kesatuan dalam kebhinekaan. Kedua, Schoof sepakat dengan pernyataan Barley bahwa UE berusaha membuat kehidupa orang-orang Eropa lebih baik dan mudah lewat aturan-aturan tersebut. ''Ini adalah apa yang kami percayai dengan teguh,'' katanya.

Terakhir, Schoof menyampaikan, “Kami tidak mengganggap bahwa semua orang harus seperti yang kami lakukan di Eropa, saya rasa semua orang harus menemukan jalannya sendiri untuk bekerja bersama dan kami ada untuk membantu jika diperlukan. Ini misi kedutaan besar jerman untuk ASEAN dan para delegasi dari Uni Eropa di sini,” pungkasnya.