1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
EkonomiCina

Cina-AS Tegang, Siapa Meraup Untung?

3 Oktober 2023

Ketegangan CIna Amerika Serikat memberikan dampak sangat signifikan bagi pasar global, lantaran kedua belah pihak berusaha untuk mengurangi ketergantungannya satu sama lain.

https://p.dw.com/p/4X3AC
Gambar Ilustrasi Cina-AS
Gambar Ilustrasi Hubungan Cina-ASFoto: Dwi Anoraganingrum/Geisler-Fotopress/picture alliance

Persaingan kedua negara adidaya itu dapat memicu inflasi dan suku bunga tetap tinggi. Keduanya berupaya mengurangi ketergantungan satu sama lain, yang sudah terjalin dalam rantai pasokan yang ‘mapan’. ini. 

Dikutip dari Reuters, hal ini menjadi salah satu pemicu faktor inflasi dan tingkat suku bunga tetap tinggi. Namun, negara-negara berkembang dan raksasa teknologi juga mereguk keuntungan dalam pertarungan 

Presiden AS Joe Biden bertekad untuk memindahkan sektor manufaktur strategis seperti kendaraan listrik dan semikonduktor ke dalam negeri.

Penelitian Goldman Sachs menemukan,memindahkan produksi mungkin berdampak inflasi, terutama jika produksi manufaktur di negara-negara Barat tidak meningkat cukup cepat untuk mengimbangi penurunan impor.

Kemudian, penguatan dolar AS dapat mengekspor inflasi ke negara-negara pengimpor sumber daya di Eropa, dengan memaksa mereka untuk membayar lebih banyak untuk komoditas yang dihargai dalam dolar.

Cari sobat baru

Washington mendorong "friendshoring” – gagasan untuk menggantikan peran Cina dalam rantai pasokan dengan negara sahabat.

Penelitian yang dipimpin oleh Laura Alfaro dari Harvard Business School mengidentifikasi Vietnam dan Meksiko sebagai penerima manfaat terbesar dari AS dalam pergeseran rantai pasokan sejauh ini.

Mongolia mencari AS untuk investasi dalam penambangan mineral logam tanah jarang, bahan yang digunakan dalam produk teknologi tinggi seperti ponsel pintar. Filipina mendekati AS untuk investasi infrastruktur.

Anna Rosenberg, kepala geopolitik di Amundi Investment Institute, mengatakan Sin-AS. Ketegangan kedua negara besar itu memberikan "lensa baru" untuk menganalisis prospek pertumbuhan pasar negara berkembang.

India terus mengejar

India dipandang sebagai negara yang paling mampu bersaing dengan Cina dalam manufaktur berbiaya rendah dan berskala besar. Populasi kaum muda yang besar dan kelas menengah yang terus berkembang juga menciptakan peluang bagi perusahaan multinasional yang mengalami penurunan bisnis di Cina.

Saham India telah menguat 8% tahun ini dan prospek arus investor ke pasar obligasi mendapat dorongan dari rencana JPMorgan untuk memasukkan India dalam indeks obligasi utama tahun depan.

"India adalah peluang yang sangat besar,” kata Kepala Investasi J. Stern, Christopher Rossbach,. "Perusahaan global tempat kami berinvestasi sedang mengerjakannya.”

Bank sentral India memperkirakan perekonomian akan tumbuh sebesar 6,5% pada tahun fiskal ini, sementara Cina diperkirakan tumbuh sekitar 5% pada tahun ini.

Barclays juga menuturkan, jika India meningkatkan pertumbuhan ekonomi tahunan mendekati 8 persen selama lima tahun kedepan, maka India bisa berada dalam posisi menjadi kontributor terbesar terhadap pertumbuhan global. 

Cegah Ketergantungan, Ilmuwan Cari Logam Tanah Jarang di Eropa

Persengketaan Cina-Barat ciptakan pemenang dan pecundang

Uni Eropa (UE) sedang menyelidiki apakah akan mengenakan tarif sanksi terhadap imporkendaraan listrik Cina yang dianggap mendapat manfaat dari subsidi negara yang berlebihan.

Subsidi AS untuk manufaktur semikonduktor dalam negeri telah meningkatkan saham Intel. Namun kinerja saham-saham teknologi besar AS dan indeks saham global rentan terhadap tanda-tanda pembalasan dari Cina.

Saham Apple turun lebih dari 6% selama dua hari di awal September di tengah laporan bahwa Beijing akan melarang pegawai pemerintah menggunakaniPhone.

Dengan Cina sebagai pembeli barang mewah terbesar di dunia, rumah mode Barat juga terjerat dalam sengkarut politik. Badan pengawas antikorupsi utama Cina telah berjanji untuk mengurangi apa yang mereka sebut sebagai hedonisme elite Barat. Bank-bank Cina telah mengatakan kepada stafnya untuk tidak memakai barang-barang mewah Eropa di tempat kerja.

"Tingkat pengawasan pemerintah yang lebih tinggi mulai membebani pengeluaran konsumen  yang lebih kaya,” kata analis Barclays, Carole Madjo dan Wendy Liu.

Saham-saham sektor mewah melonjak ketika Baijing melonggarkan pembatasan COVID-19 pada awal tahun 2023. Ketika perekonomian Cina mulai lesu dan ketegangan dengan negara-negara Barat meningkat, sektor-sektor tersebut telah merosot tajam. Saham barang mewah Eropa turun 16% di kuartal ketiga.

Jerman berpaling incar logam tanah jarang Indonesia

Dalam pameran industri terbesar Hannover Messe di Jerman, April lalu, Kanselir Jerman Olaf Scholz dalam pidatonya juga menyebutkan ingin memperluas sumber impor bahan baku dari negara-negara seperti Indonesia, guna mengurangi ketergantungan pada Cina. "Saat ini kita banyak mengimpor (bahan baku) dari Cina. Dan terlepas dari kenyataan bahwa tanah jarang, tembaga atau nikel sering tidak diekstraksi dari sumbernya," kata Scholz.

Kemudian, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor politik, perekonomian yang lesu dan gejolak di pasar properti membawa pandangan negatif terhadap investasi di Cina. Selain itu, ada kemungkinan perang tarif yang berlanjut dan kesulitan dalam menghadapi aturan AS mengenai pembatasan investasi pada teknologi Cina.  Akibat performa Negara Tirai Bambu di pasar saham global tidak baik, maka para investor kemudian terbagi dalam menghadapi pasar ini. 

Hasil survei JPMorgan terhadap investor kredit menemukan, 40 persen di antaranya memiliki pandangan negatif terhadap Cina, namun proporsinya hampir sama dengan keinginan meningkatkan alokasi investasi di sana. "Saya sebenarnya menyambut baik Cina karena semua orang sangat membenci (pasar ini),” jelas Wakil Ketua Ekuitas RW Baird, Patrick Spencer. Ia juga mengatakan bahwa harapan pasar sangat buruk, namun kenyataannya kini sedikit lebih baik.

 

ap/as (Reuters)