1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hutan Berkurang, Bencana Hidrometeorologi Ancam Indonesia

Betty Herlina
23 Maret 2022

Menurut BMKG peluang terjadinya hujan ekstrem di kondisi iklim zaman sekarang meningkat sekitar 2,4 kali lebih sering dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun lalu.

https://p.dw.com/p/48qFd
Ilustrasi banjir akibat tingginya intensitas curah hujan
Ilustrasi banjir akibat tingginya intensitas curah hujanFoto: AP Photo/picture alliance

Jumlah kejadian bencana di Indonesia terus meningkat dalam 5 tahun terakhir. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia menunjukkan ada 954 kejadian bencana di Indonesia sejak 1 Januari 2022 hingga pertengahan Maret 2022. Jumlah tersebut didominasi banjir yakni 379 kejadian, dan cuaca ekstrem 375 kejadian.

Tahun 2021 total bencana di Indonesia ada 5.402 kejadian, dan di dominasi banjir dan cuaca ekstrem. Menyusul tahun 2020 tercatat 4.650 bencana didominasi banjir 1.518 kejadian dan puting beliung 1.386 kejadian.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB Dr. Abdul Muhari mengatakan meningkatnya tren bencana hidrometeorologi basah di Indonesia dipicu oleh daya dukung dan daya tampung lingkungan yang berubah. Faktor utama penyebabnya berkurangnya tutupan lahan hutan dan hilangnya vegetasi.

Intensitas banjir, cuaca ekstrem, angin puting beliung, hujan es dan longsor jumlahnya berkisar 90-99% karena hutan-hutan yang biasanya berada di sekitar sungai kini tidak ada lagi. Sebagai akibatnya, sungai pun menjadi dangkal dan daerah resapan air berkurang, ujar Abdul Muhari.

Menurutnya, di Indonesia ada 8 provinsi yang menjadi hot spot bencana hidrometeorologi yaitu Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan. Tiga provinsi di Pulau Jawa, yakni Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, adalah daerah berpenduduk terpadat.

"Bila tiga provinsi tersebut bisa mengurangi 50% bencana hidrometeorologinya, itu setara dengan mengurangi 30% kejadian bencana hidrometeorologi di Indonesia. Sedangkan bila lima provinsi lainnya bisa mengurangi 50% kejadian bencana hidrometeorologi, sama dengan mengurangi 20% bencana di Indonesia," imbuhnya. 

Sementara Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, mengatakan sejumlah penelitian telah mengindikasikan meningkatnya kejadian ekstrem dan bencana hidrometeorologi di dunia pada dekade terakhir dapat diatribusikan sebagai pengaruh perubahan iklim akibat pemanasan global.

Lebih dari dua pertiga dari data cuaca global menunjukkan sinyal bahwa peningkatan kejadian ekstrem berkaitan dengan peningkatan suhu udara permukaan. Penelitian menunjukkan bahwa curah hujan ekstrem pada waktu sore, malam atau pagi hari lebih sensitif terhadap perubahan suhu atmosfer lokal.

"Seperti di Jakarta, hasil analisis BMKG menunjukkan bahwa frekuensi dan intensitas hujan ekstrem di Jakarta mengalami peningkatan, sebagai contoh nilai curah hujan harian maksimum tahunan. Ini sangat mungkin juga terjadi di daerah-daerah lain. Peningkatan ini membawa konskuensi berupa meningkatnya potensi bencana," Ardhasena Sopaheluwakan mengatakan kepada DW Indonesia.

Di Jakarta, tren hujan dengan curah tertinggi yang biasanya menjadi pemicu banjir besar cenderung meningkat. "Hujan-hujan ekstrem ini pada kondisi iklim zaman sekarang peluang kemunculannya meningkat menjadi sekitar 2,4 kali lebih sering dibandingkan dengan kondisi iklim 100 tahun yang lalu," ujar Ardhasena.

Rekor tahun terpanas pada 2016

Lebih lanjut Ardhasena mengatakan Indonesia sudah masuk kategori krisis iklim. Suhu udara di Indonesia cenderung meningkat dan ini berlangsung terus-menerus. Sepanjang periode pengamatan tahun 1981 hingga 2020, rekor tahun terpanas di Indonesia terjadi pada 2016 dengan nilai anomali sebesar 0,8 derajat Celsius.

"Suhu udara rata-rata tahunan 2021 ialah 27 derajat Celsius dan menempati urutan ke-8 tahun terpanas dengan nilai anomali sebesar 0,4 derajat Celsius. Tahun 2020 dan 2019 menempati urutan kedua dan ketiga tahun terpanas dengan nilai anomali masing-masing sebesar 0,7 derajat Celsius dan 0,6 derajat Celsius. Kondisi tren ini nilainya masih di bawah tren kenaikan suhu global," paparnya.

Saat ini peta proyeksi perubahan iklim BMKG menggunakan dua skenario yakni RCP 4.5 dan RCP 8.5. Hasilnya menunjukkan sesuai dengan proyeksi Intergovernmental Panel Climate Change (IPCC). Kecenderungan suhu udara diproyeksikan meningkat 0,5 derajat Celsius pada 10 tahun mendatang.

"Dua skenario tersebut adalah indikasi upaya mitigasi perubahan iklim agar kenaikan suhu udara dapat dicegah tidak melebihi level yang berbahaya. Demikian pula dari proyeksi curah hujan, unsur iklim yang sangat dominan di Indonesia, mengindikasikan di masa mendatang hujan dengan intensitas tinggi dalam durasi pendek akan semakin tinggi…. Perubahan curah hujan seperti digambarkan tersebut akan memberikan dampak ke sektor sensitif iklim termasuk pertanian, kesehatan dan sumber daya air," paparnya.

Potensi bencana di hampir seluruh wilayah

Bencana hidrometeorologi berpotensi terjadi hampir di seluruh wilayah karena Indonesia secara geografis membentang dari dataran rendah hingga dataran tinggi.

"Tidak ada satu pun daerah yang terbebas dari bencana banjir, banjir bandang, banjir rob, tanah longsor dan kejadian cuaca ekstrem lainnya seperti angin kencang, puting beliung. Oleh karenanya untuk menjamin rasa aman dari potensi ancaman bencana, BMKG selalu menyampaikan informasi peringatan rutin dan peringatan dini, agar semua wilayah dan lapisan masyarakat berada dalam kondisi siap menghadapi bencana," ujar Ardhasena Sopaheluwakan dari BMKG.

BMKG melihat potensi bencana dari perubahan iklim sangat merugikan. Secara ekonomi, peningkatan bencana hidrometeorologi telah merugikan Indonesia hingga sekitar Rp544 triliun, menurut data BNPB.

"Untuk meminimalisir dampaknya, saat ini BMKG memiliki sistem pengolahan data dan proyeksi iklim untuk memproyeksikan iklim di Indonesia hingga 100 tahun ke depan dengan menggunakan berbagai skenario proyeksi iklim (SRES, RCP, SSP)," kata Ardhasena.

Luas tutupan hutan terus berkurang

Abdul Muhari mengatakan bahwa bencana hidrometeorologi yang terjadi umumnya memiliki siklus berulang. Ia mencontohkan bila kejadian banjir di suatu daerah biasanya terjadi setiap 50 tahun sekali, ketika membangun satu bangunan harus memikirkan antisipasi bencana berulang sebagai solusi jangka pendek.

Sedangkan solusi jangka panjang bisa dilakukan dengan cara memperbaiki tata guna lahan, mencegah berkurangnya tutupan hutan termasuk mencegah aktivitas pembukaan hutan baik secara legal maupun ilegal.

Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Walhi, Uli Artha Siagian, mengatakan luas kawasan hutan daratan Indonesia adalah 120 ribu hektare atau setara dengan 63% luas daratan Indonesia. Dari luasan total kawasan tersebut hutan alam yang tersisa kurang dari 45 juta hektare, lebih rendah dari total luas hutan konservasi dan hutan lindung yang luas totalnya sekitar 52 juta hektare. 

Deforestasi yang terjadi secara legal maupun ilegal adalah penyebab berkurangnya luasan hutan alam tersisa. Hilangnya tutupan hutan Indonesia paling banyak disebabkan oleh keluarnya perizinan di sektor kehutanan, pertambangan dan perkebunan.

Data dari Global Forest Watch yang diakses Kamis (17/03), jumlah tutupan hutan primer di Indonesia tahun 2018 Indonesia berkurang 339,8 ribu hektare, tahun 2019 Indonesia kehilangan 323,6 ribu hektare dan tahun 2020 hilang 270 ribu hektare tutupan hutan.

"Hutan-hutan kita tetap hilang, beralih fungsi dan peruntukan menjadi perkebunan monokultur, pertambangan, dan izin-izin lainnya," ujar Uli. Tutupan hutan-hutan di Kalimantan dan Sumatera berkurang drastis seiring ekspansi izin industri ekstraktif. Proyeksi ke depan, tutupan hutan-hutan di wilayah timur, Papua misalnya, juga akan berkurang karena ekspansi modal sedang bergerak ke wilayah timur, kata Uli.

Terpisah, Tim Leader Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Rio Rompas, mengatakan sangat jelas perubahan iklim yang dipicu deforestasi akibat berkurangnya tutupan hutan primer, memunculkan banyak reaksi yang berdampak pada bencana hidrometeorologi. "Ini akibat daya dukung lingkungan semakin tidak seimbang. Akibatnya banyak bencana hidrometeorologi. Krisis iklim yang sudah di depan mata," katanya.

Mengembalikan kondisi Indonesia ke masa lalu sudah tidak mungkin, kata Rio Rompas. Upaya yang dapat dilakukan pemerintah saat ini adalah memastikan tidak ada lagi deforestasi serta melakukan rehabilitasi dan pemulihan lahan serta hutan yang rusak. (ae)