1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

UNEP: Potensi Karhutla Berlipatganda di Masa Depan

23 Februari 2022

Pemanasan global dan alih fungsi lahan akan menambah intensitas dan potensi kebakaran hutan dalam beberapa dekade ke depan. Laporan Program Lingkungan PBB itu juga memuat prediksi muram bagi hutan di Indonesia

https://p.dw.com/p/47T39
Kebakaran hutan di Palembang, Agustus 2019
Kebakaran hutan di Palembang, Agustus 2019Foto: Aditya Sutanta/ABACA/picture alliance

Kebakaran hutan tidak hanya menyusutkan kekayaan ekosistem, melainkan juga bakal memicu polusi kabut asap dan masalah lain di perkotaan. Kesimpulan itu diumumkan Program Lingkungan PBB (UNEP) dalam laporan tahunannya yang dirilis Rabu (23/2).

Wilayah barat Amerika Serikat, utara Siberia, tengah India dan timur Australia saat ini sudah mengalami peningkatan intensitas kebakaran hutan. Di akhir abad, potensi karhutla di kawasan ini ditaksir mencapai 50% lebih besar ketimbang saat ini. 

Wilayah yang dulunya dianggap aman dari kebakaran hutan juga tidak lagi kebal terhadap bencana lingkungan itu, termasuk Benua Arktika, "yang sangat mungkin akan mengalami peningkatan kebakaran,” tulis ilmuwan.

Kebakaran hutan di Indonesia
Kebakaran hutan di Indonesia

Hutan-hutan tropis di Indonesia dan selatan Amazon juga diprediksi bakal bernasib serupa. Saat ini kapasitas pemadaman bencana kebakaran di banyak negara, termasuk negara maju, dinilai masih terbatas.

"Kelak, kebakaran hutan yang mematikan dan tidak dapat dikontrol akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kalender musiman di banyak kawasan di dunia,” kata Andrew Sullivan, salah seorang penulis laporan asal Organisasi Studi Ilmiah dan Industrial Persemakmuran di Australia.

Peringatan bagi negara tropis

PBB menilai banyak negara-negara di dunia yang masih memboroskan waktu dan dana dalam menanggulangi atau memitigasi dampak kebakaran hutan. Sebagian dituduh tidak berbuat cukup untuk mencegah bencana tersebut.

Alih fungsi lahan terutama menggandakan potensi kebakaran. Aktivitas penebangan pohon misalnya, menyisakan serbuk dan sampah kayu yang mudah terbakar. Pembukaan hutan untuk pertanian dengan metode pembakaran juga diyakini berdampak besar. 

Sebuah studi oleh The Lancet beberapa waktu lalu mengungkap polusi kabut asap menyebabkan 30.000 kasus kematian di 43 negara di dunia. Akibat kebakaran semak di Australia pada 2019-2020 saja, sebanyak hampir tiga miliar ekor satwa terdampak secara langsung.

UNEP mengingatkan betapa perubahan iklim menyuburkan karhutla. Gelombang panas, kekeringan dan kenaikan suhu tanah akibat deforestasi tercatat bertanggungjawab atas kebakaran hutan di Amerika Serikat, Australia dan di pesisir Laut Tengah dalam tiga tahun terakhir.

Tahun lalu, kebakaran hutan di seluruh dunia memproduksi lebih dari 2,5 miliar ton gas Karbondioksida antara bulan Juli dan Agustus saja. Jumlah tersebut setara dengan emisi tahunan yang dikeluarkan India, lapor Layanan Pemantauan Atmosfer Copernicus (CAMS) di Uni Eropa.

Laporan UNEP ditulis oleh 50 ilmuwan iklim dan lingkungan dan dibuat sebagai peringatan bagi semua negara di dunia. "Pemerintahan negara-negara dunia saat ini cendrung merespons kebakaran hutan dengan menginvestasikan uang di tempat-tempat yang keliru, " kata Direktur UNEP, Inger Andersen.

Menurutnya kebijakan yang ada kebanyakan menitikberatkan pada penanggulangan kebakaran, ketimbang pencegahan dan pengurangan risiko api. "Kita harus meminimalisir risiko kebakaran hutan ekstrem dengan persiapan yang matang,” pungkasnya.

rzn/as (rtr,afp)