1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

COVID-19 dan Saatnya Sains Didengarkan

Rahadian Rundjan, indonesischer Schriftsteller
Rahadian Rundjan
14 Maret 2020

Saat kini COVID-19 resmi terdeteksi di Indonesia, pemerintah dan masyarakat terlihat kelabakan. Ikuti opini Rahadian Rundjan.

https://p.dw.com/p/3ZMpL
Coronavirus in Indonesien Jakarta Desinfektion Moschee
Foto: picture-alliance/AP/D. Alangkara

Sebenarnya apa yang Wakil Presiden Ma'ruf Amin serukan beberapa saat lalu, yakni menghimbau warganya untuk rajin berzikir dan membaca doa qunut untuk mencegah penyebaran COVID-19 (coronavirus), ada sedikit benarnya. Sebagai seorang pejabat publik, ia memang harus mampu menyediakan rasa aman dan nyaman ketika menghadapi masa-masa musibah, terlebih ketokohannya sebagai figur Islam terkemuka di Indonesia yang negaranya mayoritas muslim. Namun, keliru jika orang-orang justru melihat kata-kata bersifat menenangkan tersebut sebagai solusi terampuh dalam menghadapi ancaman penyakit.

Hal terbaik yang semestinya dilakukan oleh pemerintah setelah menenangkan masyarakat seharusnya adalah melakukan penanganan yang serius untuk mencegah ancaman penyebaran COVID-19 ini di Indonesia, bukan malah justru memprioritaskan COVID-19 sebagai bahan retorika-retorika politik-ekonomi seperti bagaimana virus tersebut akan mempengaruhi masuknya investasi, penurunan jumlah turis, dan sebagainya.

Dibandingkan banyak negara lain yang terdampak, Indonesia sebenarnya memiliki lebih waktu lebih untuk mengamati tren COVID-19 di dunia dan mempersiapkan strategi mitigasi yang tepat. Sayangnya itu lalai dilakukan. Daripada menggelontorkan dana Rp 72 miliar kepada influencer untuk mengatasi dampak COVID-19, bukankah dana itu sebaiknya diarahkan untuk memperkuat pertahanan medis di negara ini? Indonesia jelas harus belajar dari Italia yang awalnya memperlakukan COVID-19 sebagai flu biasa namun kini akhirnya harus mengunci total negaranya untuk mencegah penyebarannya.

Karenanya, saat kini COVID-19 resmi terdeteksi di Indonesia, pemerintah dan masyarakat terlihat kelabakan. Pembawaan Menteri Kesehatan, Terawan Agus Putranto, dalam menginformasikan perkembangan COVID-19 di Indonesia layak dikritik karena meskipun banyak seru-seruannya yang tepat (seperti himbauan mencuci tangan dan menjaga imun tubuh), agaknya ia, dan banyak pejabat publik lainnya, tidak memiliki jejaring koordinasi penanganan yang baik satu sama lain. Belum terlihat adanya kerja sama yang meyakinkan antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, rumah sakit dan dinas kesehatan, bahkan lembaga-lembaga penelitian.

Hal ini menunjukkan bahwa kegegabahan pemerintah dalam kasus ini memang benar adanya. COVID-19 agaknya amat telat dipersiapkan, atau bahkan tidak dipersiapkan sama sekali, untuk dihadapi secara saintifik.

Sains Seharusnya Alat Kebenaran

Sebenarnya, gagapnya Indonesia dalam merespon isu-isu sains secara saintifik layak disayangkan dan terlebih sudah cukup berakar dalam mentalitas masyarakat. Sebelum isu COVID-19, kita dihebohkan oleh pernyataan-pernyataan serampangan dari pejabat-pejabat publik seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) yang membuat kontroversi dengan menyatakan bahwa perempuan bisa hamil jika berenang dengan laki-laki di kolam renang. Kelompok masyarakat berpendidikan tentu bisa melihat hal tersebut sebagai sebuah kebodohan, namun akan berbahaya jika isu tersebut ditelan mentah-mentah oleh mereka yang tidak memiliki akses pendidikan mapan.

Sains dan pilar-pilar pemikiran yang kritis serta terbuka memang cukup terhambat perkembangannya di Indonesia karena berbagai macam faktor, mulai dari politik, sosial, ekonomi, agama, dan lain-lain. Masyarakat Indonesia tampaknya terlanjur terlalu nyaman berada dalam situasi karakter komunitas masyarakat yang rileks dan minim kecemasan sehingga kerap terbutakan oleh ancaman-ancaman tersembunyi yang mematikan. Dan bahkan ketika ancaman itu sudah tampak, alih-alih menanganinya secara proporsional bersama-sama, justru sebagian malah menjadikannya bahan kontroversi secara tidak etis.

Kalimat terakhir itu ditujukan kepada sebagian media massa di Indonesia yang mendramatisir awal kemunculan COVID-19 di Indonesia, tepatnya di kota Depok, tanpa menghargai privasi si orang yang diduga terjangkit. Kita bisa melihat bagaimana media-media tersebut menginvasi lingkungan tempat tinggal si pasien dan meliputnya dengan tidak etis, seperti memakai masker respirator untuk menampilkan efek kejut bagi penonton dan akhirnya malah meningkatkan kepanikan pemirsanya.

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.
Penulis: Rahadian Rundjan Foto: Rahadian Rundjan

Saat tulisan ini dibuat, ada 27 kasus COVID-19 yang terdeteksi di Indonesia dan satu diantaranya, pasien kasus ke-25, meninggal dunia. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah apabila tidak ada tindakan lebih jauh dan gencar untuk mencegah penyebarannya. Perangkat dan logistik yang disediakan pemerintah juga tampaknya masih jauh dari ideal. Di Tasikmalaya, petugas kesehatan terpaksa memakai jas hujan ketika mengantar seorang yang diduga terjangkit COVID-19 karena rumah sakitnya tidak memiliki pakaian pelindung diri dari virus.

Lenyapnya stok masker di pasaran dan harganya yang melambung tinggi, serta kian gencarnya tren memborong makanan di toko-toko swalayan adalah fenomena yang memang sulit dihindarkan di masa-masa krisis ini. Padahal hal tersebut bisa terhindarkan jika orang-orang tidak panik dan mendengarkan, serta memahami, apa yang sains katakan terkait COVID-19. Kepanikan justru akan menimbulkan hal-hal yang lebih buruk dari virus itu sendiri: ketegangan sosial. Bahkan rasanya untuk batuk atau bersin secara beretika saja di tempat umum kini sudah menjadi hal yang tabu.

Belum lagi menyoal rasisme. Mereka yang berparas Asia di banyak negara sudah harus membiasakan diri untuk menjadi kambing hitam dan disalahkan membabi buta karena dianggap sebagai pembawa virus. Padahal, hanya karena virus tersebut berasal dari Wuhan, Cina, tidak semua yang berparas Asia layak diperlakukan semena-mena.

Wabah COVID-19 telah menunjukkan bahwa terkadang yang mematikan bukanlah penyakit, tetapi perilaku manusianya sendiri. Melihat sejarah ketegangan sosialnya, jika COVID-19 gagal ditangani maka rasanya kedudukan sosial kelompok minoritas Cina di Indonesia akan semakin tidak menguntungkan.

Sains adalah alat kebenaran, karena itulah bagaimanapun tendensi dan nuansa penyampaiannya,masalah-masalah sains harus berdasarkan pada kebenaran yang dikandungnya. Jika memang negara ini dan orang-orangnya ingin menyelesaikan masalah COVID-19 secara logis, maka kita harus meminimalisir aspek-aspek dramatisir dan kelalaian sembari memberikan perhatian penuh dalam persiapan logistik dan koordinasi yang tepat guna. Untuk itu, keterbukaan informasi dari pemerintah dan kepekaan masyarakat untuk menyerapnya kini menjadi hal yang krusial.

Sudah Saatnya Merujuk Ahlinya

COVID-19 adalah malapetaka besar namun juga ujian kita semua bersama-sama: apakah kita akan mulai mendengarkan apa kata sains? Apakah Indonesia yang begitu luas dan kompleks ini masalah-masalahnya akan terselesaikan hanya dengan kata-kata buaian tanpa tindakan logis dan nyata untuk menanggulanginya?

Kunci dari pertempuran ini tidak terletak di tangan para politisi dan influencer bayaran, namun orang-orang berprinsip saintifik di garis depan seperti dokter, ilmuwan, dan petugas-petugas kesehatan lainnya. Merekalah yang seharusnya menjadi acuan dan rujukan utama. Berikan mereka panggung agar masyarakat luas tahu bagaimana sesungguhnya situasi yang tengah terjadi dan solusi apa saja yang terbaik bagi semua, tanpa perlu agenda-agenda terselubung di baliknya.

Isu kesehatan publik adalah isu berkepanjangan dan kerap multi-dimensi, karena itu semua pihak harus bekerja sama. Koreksi memang sudah dilakukan di sana-sini, salah satunya kini pemerintah sudah menunjuk juru bicara khusus untuk isu COVID-19. Namun, kita semua tidak boleh terjebak oleh blunder-blunder lain di masa depan. Ajakan berdoa memang bisa menenangkan saat kita terpuruk, namun mengandalkan akal dan logika masih merupakan solusi paling ampuh untuk menyembuhkan diri kita dari musibah-musibah yang bisa dijelaskan secara saintifik.

@RahadianRundjan adalah esais, kolumnis, penulis dan peneliti sejarah
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWnesia menjadi tanggung jawab penulis
*Silakan berbagi komentar pada kolom di bawah ini. Terima kasih.