1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Bagaimana Membuktikan Kejahatan Perang di Ukraina?

Rob Mudge
6 April 2022

Rusia dihujani tuduhan kejahatan kemanusiaan selama Perang Suriah dan kini, dalam invasi di Ukraina. Tapi seberapa sulit menyeret tersangka pelaku kejahatan perang ke Mahkamah Pidana Internasional?

https://p.dw.com/p/49UWK
Jenazah warga sipil Ukraina dengan tangan terikat di Bucha, Kyiv
Jenazah warga sipil Ukraina dengan tangan terikat di Bucha, KyivFoto: Vadim Ghirda/AP/picture alliance

Definisi kejahatan perang terhadap warga sipil tercatat di pasal 8 dalam Statuta Roma untuk Mahkamah Pidana Internasional, yang disusun berdasarkan Konvensi Jenewa 1949.

Kejahatan perang "baru sebatas dugaan sampai semua bukti-bukti dipenuhi, dicek lagi dan dikonfirmasikan,” kata Maria Varaki, Guru Besar Hukum Internasional di King's College London, Inggris.

Mahkamah Pidana Internasional (ICC) melihat kejahatan perang sebagai pelanggaran berat Konvensi Jenewa. "Kita bicara soal pembunuhan berencana terhadap warga sipil, penyiksaan dan pengusiran paksa, atau serangan membabi buta,” imbuh Varaki.

"Karena salah satu prinsip paling fundamental dalam hukum perang adalah bahwa warga sipil tidak boleh dijadikan sasaran.”

Tuduhan kejahatan perang kembali meruak seiring beredarnya bukti pembantaian warga sipil oleh militer Rusia di Bucha, Ukraina. Menurut Varaki, fakta "bahwa sebagian warga sipil dieksekusi dengan satu peluru di belakang kepala adalah kekejian di bawah hukum kemanusiaan internasional.”

Area abu-abu

Perang menyisakan banyak wilayah abu-abu dalam mendefinisikan tindak kejahatan kemanusiaan. Dalam hal ini, mahkamah di Den Haag menganut prinsip yang berdasarkan kejelasan, proporsionalitas dan kehati-hatian. 

Meski demikian, ketiga prinsip tersebut mengambang ketika obyek sipil dideklarasikan sebagai target militer berdasarkan fungsi dan penggunaannya. Hal ini misalnya terjadi di Ukraina.

"Contohnya gedung pusat perbelanjaan yang dibombardir. Ukraina mengatakan gedung itu jelas merupakan infrastruktur sipil. Tapi Rusia mengklaim punya informasi intelijen bahwa Ukraina menggunakan mall tersebut untuk menyimpan perlengkapan perang,” kata Varaki.

Hukum internasional secara gamblang mengharamkan serangan militer terhadap obyek sipil. Tapi pada akhirnya, "semua bergantung pada penafsiran dan pada kebijaksanaan kita: Siapa atau siapa yang bisa Anda serang, dan sejauh apa,” imbuhnya. 

Genosida dan kejahatan seksual

Tindak kekerasan seksual dalam situasi perang tergolong kejahatan kemanusiaan menurut pasal 27 Konvensi Jenewa 1949. Tuduhan ini juga diarahkan kepada tentara Rusia. Kejaksaan Agung Ukraina misalnya berjanji akan membuka penyelidikan terhadap dugaan tersebut.

Namun, berkaca dari pengalaman tuduhan pelanggaran HAM dalam Perang Suriah, upaya mengungkap kejahatan seksual di Ukraina bukan tanpa tantangannya sendiri, kata Varaki.

"Isunya adalah seberapa mudah untuk mendokumentasikan bukti kejahatannya. Kita berbicara soal korban yang sangat rentan. Sepemahaman saya, tentara Rusia berusaha menutupi kejahatan seksual dengan membakar jenazah korban,” ujarnya.

Hal serupa juga berlaku untuk tuduhan genosida yang dilayangkan Presiden Volodomyr Zelenskyy terhadap Rusia. 

"Secara teknis, akan sangat sulit untuk membuktikan kejahatan genosida,” tutur Varaki. "Anda harus membuktikan adanya niatan genosida untuk memusnahkan sekelompok masyarakat.” 

Menurutnya tuduhan Zelenskyy lebih mudah diucapkan ketimbang dibuktikan. "Politisi memang suka menggunakan istilah genosida untuk tujuan berbeda. Tapi dalam kacamata hukum, kejahatan genosida sangat sulit untuk dibuktikan.”

rzn/pkp