1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Uni Eropa Akan Gelar KTT Darurat Bahas Krisis Belarusia

Bernd Riegert
18 Agustus 2020

Di tengah unjuk rasa anti-pemerintah yang terus terjadi, Uni Eropa akan menyelenggarakan KTT darurat membahas krisis Belarusia, termasuk menyiapkan sanksi.

https://p.dw.com/p/3h6ub
Unjuk rasa di Belarusia
Foto: picture-alliance/dpa/V. Drachev

Uni Eropa biasanya tidak menyelenggarakan KTT darurat untuk membahas kebijakan luar negeri. Tetapi pada Senin (17/08), Presiden Dewan Eropa Charles Michel memutuskan akan mengadakan konferensi luar biasa virtual pada Rabu (19/08), di tengah protes rakyat Belarusia yang sedang berlangsung terhadap Presiden Alexander Lukashenko dan pemerintahnya.

"Rakyat Belarusia memiliki hak untuk memutuskan masa depan mereka dan dengan bebas memilih pemimpin mereka," cuit Michel di Twitter. "Kekerasan terhadap pengunjuk rasa tidak bisa diterima dan tidak bisa dibiarkan."

Keputusan ini diambil setelah adanya tekanan dari Polandia dan Republik Ceko. Kedua negara anggota UE tersebut meminta diadakannya KTT darurat ketika para menteri luar negeri Uni Eropa membahas situasi Belarusia pekan lalu.

‘Jangan menggunakan kekerasan‘

Senin (17/08), Presiden Jerman Frank-Walter Steinmeier dan Presiden Prancis Emmanuel Macron sama-sama mengkritik respons keras pemerintah Belarusia terhadap protes yang dimulai setelah hasil perhitungan suara pada 9 Agustus silam memutuskan Lukashenko memenangkan masa jabatan keenam kali berturut-turut. Steinmeier berkata bahwa dia mengagumi keberanian orang-orang yang turun ke jalan untuk melangsungkan aksi protes secara damai. "Saya mengimbau Presiden Lukashenko untuk mengikuti jalan dialog - tidak menggunakan kekerasan," katanya di Berlin.

Sementara itu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mencuit bahwa UE harus membela "ratusan ribu rakyat Belarusia yang berunjuk rasa secara damai untuk menghormati hak, kebebasan, dan kedaulatan mereka."

Kecurangan pilpres

Uni Eropa belum mengakui hasil resmi pemilihan, yang mengklaim bahwa Lukashenko memenangkan 80% suara. Kubu oposisi dan pengunjuk rasa berpendapat bahwa pemilihan tersebut sarat kecurangan. Rival utama Lukashenko, Sviatlana Tsikhanouskaya, yang lari ke Lituania setelah pemungutan suara, mengatakan bahwa dia siap "untuk mengambil tanggung jawab dan bertindak sebagai pemimpin nasional."

Beberapa negara anggota UE telah menyerukan diadakannya pemilihan baru. Juru bicara Kanselir Jerman, Steffen Seibert, mengatakan bahwa Organisasi Kerjasama Keamanan Eropa (OSCE) dapat berperan dalam meninjau jalannya pemungutan suara. Belarusia adalah anggota OSCE, organisasi yang telah mengirim pemantau pemilu ke negara itu sejak 2001, tetapi OSCE mengatakan Minsk tidak mengundang perwakilannya untuk memantau pemungutan suara pada 9 Agustus lalu.

Mencari kesepakatan

Jerman, yang saat ini memegang jabatan presiden bergilir Dewan Uni Eropa, memainkan peran mediator dalam krisis saat ini. Seibert mengatakan bahwa Kanselir Angela Merkel telah berbicara dengan mitra Eropa tentang situasi tersebut sepanjang akhir pekan lalu.

Namun, UE sejauh ini belum secara eksplisit meminta Lukashenko untuk mundur. Apakah ini akan terjadi pada hari Rabu (19/08) besok? Tergantung pada konsensus yang dicapai di KTT darurat. Pemerintah Hungaria, yang menjaga hubungan baik dengan Lukashenko, dapat berperan penting dalam upaya ini. Pekan lalu, Menteri Luar Negeri Hungaria Peter Szijjarto menyerukan dialog yang lebih baik dengan Minsk. Para diplomat Uni Eropa di Brussel mengatakan bahwa mereka berharap KTT itu akan mengirimkan sinyal solidaritas yang kuat kepada oposisi di Belarusia.

Sanksi Uni Eropa

Para menteri luar negeri Uni Eropa setuju untuk menyiapkan sanksi terhadap individu Belarusia setelah pertemuan pada hari Jumat (14/08). Rencana sanksi tersebut diharapkan akan dipresentasikan pada akhir minggu depan, tetapi pertama-tama harus ditentukan siapa sebenarnya yang bertanggung jawab atas kecurangan pemilu dan yang memerintahkan kekerasan terhadap pengunjuk rasa dan tahanan politik. Belum jelas apakah Lukashenko sendiri akan dikenakan sanksi tersebut. "Tentu saja kami sedang mencari opsi untuk memperluas sanksi kepada tokoh-tokoh terkemuka lainnya," kata Seibert.

Sebelumnya, UE memutuskan untuk mencabut sebagian besar sanksi yang menargetkan Minsk setelah pilpres Belarusia tahun 2016, termasuk pembekuan aset dan larangan perjalanan terhadap 170 individu dan tiga perusahaan. Sebuah pemulihan hubungan kecil terjadi antara UE dan Belarusia, sama kecilnya dengan hubungan Minsk dan sekutu utamanya Moskow yang tampaknya memburuk. Belarusia berpartisipasi dalam berbagai program Kebijakan Lingkungan Eropa, termasuk pertukaran pelajar Erasmus dan dialog tentang supremasi hukum. Sementara, meskipun memiliki hubungan militer yang erat dengan Rusia, Minsk tetap bekerja sama secara terbatas dengan NATO.

Menghindari jadi ‘Ukraina kedua‘

Lukashenko menuduh unjuk rasa dikarenakan adanya campur tangan asing, antara lain oleh Lituania, Belanda, dan Polandia.

"Kami harus menghindari apa pun yang mungkin memberi Presiden Rusia Vladimir Putin alasan untuk campur tangan dalam konflik tersebut secara militer," kata seorang diplomat Uni Eropa yang tidak ingin disebutkan namanya. "Kami tidak membutuhkan Ukraina kedua."

Senin (17/08), Belarusia memulai manuver militer di perbatasan baratnya. Lukashenko menuduh NATO membangun basis militer di Polandia, Lituania, dan Latvia untuk mengancam Belarusia. Sementara NATO telah membantah tuduhan ini.

rap/gtp