Protes Pecah Pasca Pemungutan Suara Pilpres Belarusia
10 Agustus 2020Protes pecah di kota-kota besar di seluruh Belarusia pada Minggu (09/08) malam setelah pihak berwenang mengatakan Presiden Alexander Lekashenko hampir pasti memenangkan masa jabatannya keenam kali secara berturut-turut. Pihak oposisi mengatakan pemungutan suara pemilihan presiden (Pilpres) sarat kecurangan.
Para saksi mata menggambarkan situasi kacau di ibu kota, Minsk, dengan dipenuhi teriakan pengunjuk rasa, klakson mobil, dan bunyi sirene. Ribuan pengunjuk rasa berkumpul di dekat alun-alun kota Minsk, di mana mereka berhadapan dengan ratusan polisi anti huru-hara yang membawa tameng.
Beberapa pengunjuk rasa membangun barikade dengan tong sampah, begitu bunyi laporan kantor berita RIA. Polisi pun menyemprotkan air, menembakkan gas air mata dan granat kejut untuk memukul mundur para pengunjuk rasa.
Juru Bicara Kementerian Dalam Negeri, Olga Chemodanova, mengatakan bahwa upaya polisi untuk memulihkan ketertiban terus berlanjut, tetapi ia tidak memberikan informasi terkait berapa banyak orang yang diamankan.
Ales Bilyatsky dari kelompok hak asasi manusia Viasna mengatakan kepada The Associated Press bahwa ratusan orang ditahan dan ratusan lainnya luka-luka karena tindakan polisi. Bilyatsky juga menuduh polisi menggunakan kekerasan berlebihan terhadap para pengunjuk rasa.
Kecurangan pilpres
Protes dimulai setelah hasil jajak pendapat resmi menunjukkan bahwa Lukashenko memenangkan pemilihan presiden hari Minggu (09/08) dengan 79,7% suara, mengamankan masa jabatannya untuk kali keenam.
Penantang Lukashenko, Svetlana Tikhanovskaya, berada di urutan kedua dengan 6,8%, menurut jajak pendapat. Tikhanovskaya dengan cepat mengatakan dia tidak mempercayai perhitungan tersebut.
Tikhanovskaya, mantan guru bahasa Inggris, mengikuti kontestasi Pilpres Belarusia setelah suaminya, seorang blogger anti-pemerintah yang berniat untuk mencalonkan diri, dipenjara. Kampanyenya telah menarik kerumunan terbesar sejak jatuhnya Uni Soviet pada tahun 1991.
“Saya berharap aparat penegak hukum sadar dan beralih ke sisi masyarakat, lalu malam di Minsk akan berakhir tanpa pertumpahan darah,” kata Veronika Tsepkalo, pendukung Tikhanovskaya.
Namun, anggota parlemen senior Rusia Leonid Slutsky, ketua Komite Urusan Internasional Duma, memperingatkan terhadap revolusi "berdarah" yang mirip dengan kerusuhan Maidan 2014 di Ukraina yang menggulingkan presiden pro-Rusia Viktor Yanukovich.
Ia mengatakan bahwa "Belarusia cukup mampu memutuskan siapa presiden mereka, kekuatan asing tidak boleh dibiarkan mencampuri dan mempengaruhi situasi di negara itu."
Gaya pemerintahan tangan besi
Lukashenko, dijuluki oleh para kritikus sebagai "diktator terakhir Eropa." Ia telah memerintah Belarusia dengan tangan besinya sejak tahun 1994. Lukashenko menampilkan dirinya sebagai penjamin stabilitas, tetapi beberapa waktu terakhir ini ia tengah berjuang melawan amarah rakyatnya atas ketidakpuasan penanganan pemerintah terhadap pandemi COVID-19, kondisi perekonomian, dan catatan pelanggaran hak asasi manusianya.
Kelompok hak asasi manusia mengatakan lebih dari 1.300 orang ditahan menjelang pemilihan, termasuk independent observers pilpres dan anggota tim kampanye Tikhanovskaya.
Pemilihan tidak diselenggarakan oleh Organisasi Kerjasama Keamanan Eropa (OSCE) dikarenakan OSCE tidak menerima undangan tepat waktu.
Tanggapan keras terhadap aksi protes ini dapat mengganggu upaya Lukashenko untuk memperbaiki hubungan dengan Barat di tengah memburuknya hubungan Belarusia dengan sekutu Rusia, dimana Rusia diklaim mencoba menganggu jalannya pemilihan presiden Belarusia.
rap/pkp (Reuters, AFP, AP, dpa)