1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Taliban: Haluan Garis Keras Ciptakan Perpecahan Internal

29 Maret 2022

Taliban menetapkan serangkaian aturan represif dan mengusir media asing dari Afganistan. Namun haluan garis keras itu membibit antipati pada generasi muda yang ingin membuka diri bagi dunia internasional.

https://p.dw.com/p/49AOg
Demonstrasi perempuan Afganistan menentang larang sekolah oleh Taliban
Perempuan Afganistan berdemonstrasi demi akses pendidikan di Kabul, Desember 2021Foto: ALI KHARA/REUTERS

Sejak baru-baru ini, remaja perempuan di Afganistan tidak lagi bisa bersekolah, perempuan dewasa dilarang menaiki pesawat tanpa muhrim, sementara laki-laki atau perempuan dikenakan jadwal terpisah untuk mengunjungi taman kota. 

Pembatasan dan kekangan bagi kebebasan sosial di Afganistan itu diputuskan dalam sebuah pertemuan selama tiga hari pada pekan lalu di Kandahar, kota kelahiran Taliban, lapor pejabat senior Taliban seperti dikutip Associated Press.

Pemimpin spiritual Haibatullah Akhundzada mengumpulkan petinggi Taliban di kota itu, dan menetapkan haluan baru dengan model Syariah, yang mengingatkan orang pada masa awal kekuasaannya pada awal 1990an.

Pada masa itu, Taliban memberlakukan Syariah Islam secara brutal, yang diwarnai dengan eksekusi massal di stadion olahraga atau penghancuran benda serta artefak peninggalan sejarah.

Senin (28/3), pemerintah di Kabul mencabut izin operasi bagi media-media luar negeri, antara lain BBC dan Deutsche Welle. Nantinya, media lokal seperti ToloNews tidak lagi dapat menyiarkan atau memancar ulangkan konten-konten dari media internasional.

"Fakta bahwa Taliban mengkriminalkan distribusi program-program DW oleh media mitra kami justru menghalangi pembangunan berkesinambungan di Afganistan,” kata Direktur DW, Peter Limbourg.

Gesekan internal

Langkah Taliban membatasi pendidikan menengah dan tinggi bagi perempuan melanggar komitmennya kepada dunia internasional. Sejumlah negara, termasuk Indonesia, sebelumnya sepakat akan mengirimkan bantuan pembangunan, antara lain dengan jaminan terbukanya akses pendidikan bagi perempuan.

Tidak heran, perubahan haluan yang diputuskan Akhundzada memicu keraguan di kalangan sendiri. "Terutama kaum muda Taliban tidak setuju dengan beberapa aturan baru ini, tapi mereka tidak merasa nyaman untuk membantah para senior,” kata Torek Fargadi, analis keamanan Afganistan.

Sejak kembali menguasai Afganistan, setelah hengkangnya Amerika Serikat secara terburu-buru, Taliban berada dalam masa transisi dari kelompok pemberontak menuju pemerintahan. Selama itu pula, perbedaan antara kaum garis keras dan pragmatis di tubuh Taliban mulai terlihat.

Generasi muda pemimpin Taliban meyakini, hak perempuan untuk mendapat pendidikan atau bekerja dijamin di dalam Islam. Kebanyakan mendukung pembukaan sekolah perempuan, sebelum keputusan itu akhirnya diveto oleh Akhunzada.

Haibatullah Akhundzada diyakini ingin membangun Afganistan sesuai visi pendiri Taliban, Mullah Omar. Mereka yang mengenal sang pemimpin spiritual mengatakan, dia tidak terpengaruh oleh tekanan dunia internasional.

Sebab itu Farhadi berharap agar generasi muda berani menyuarakan pandangannya dan mengubah Taliban dari dalam. "Gerakan Taliban membutuhkan reformasi,” kata dia. "Prosesnya memang sangat lambat dan membuat semua yang terlibat merasa frustasi. Tapi kita tidak boleh menyerah,” pungkas analis keamanan Afganistan itu.

rzn/as (ap,dpa,dw)