1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Pengendalian Polusi PLTU Suralaya Cegah 1.000 Kematian Dini

12 September 2023

Polusi udara dari PLTU Suralaya, Banten, diperkirakan bertanggung jawab atas 1470 kematian dini per tahun. Menurut penelitian CREA, satu-satunya solusi bagi polusi pembangkit di Indonesia adalah melalui energi terbarukan

https://p.dw.com/p/4WCNP
PLTU Suralaya di Banten
PLTU Suralaya di BantenFoto: Ronald Siagian/AFP/Getty Images

Kesimpulan itu dirilis dalam laporan penilaian dampak kesehatan oleh Center for Research on Energy and Clean Air (CREA), Selasa (12/9). Menurut lembaga asal Finlandia itu, pembangkit uap bertenaga batu bara tidak hanya menciptakan kerugian ekonomi, tapi juga mengancam kesehatan masyarakat, terutama di utara Provinsi Banten.

CREA menemukan, polusi partikel halus dari PLTU Suralaya mengandung PM 2.5, nitrogen dioksida, sulfur dioksida dan ozon. Jika terpapar, senyawa-senyawa tersebut bisa menyebabkan gangguan pernafasan akut.

Polusi udara dari PLTU Suralaya tercatat menyebabkan 1470 kasus kematian prematur per tahun dengan kerugian senilai USD 1.04 miliar atau sekitar Rp. 14,2 triliun.

Untuk mengukurnya, peneliti menghitung mutu udara dari kompleks PLTU Suralaya dan memprediksi sebaran polutan di wilayah sekitar.

Baterai Air Raksasa Swiss

CREA menemukan tingkat polusi akan banyak berkurang jika standar batasan polusi nasional diterapkan. "Apabila standar nasional ditegakkan, polusi udara akan berkurang, mencegah hingga 97 sampai 268 kasus kematian, 141–300 kunjungan ke unit gawat darurat, 17–236 kasus asma baru pada anak, 74–157 kelahiran prematur dan 59.000–125.000 ketidakhadiran kerja. Penurunan kerugian kesehatan ini akan menghemat perekonomian Indonesia sebesar Rp0,940–2,6 triliun," tulis lembaga tersebut.

Batu bara merupakan komoditas unggulan yang dicanangkan sebagai pondasi pertumbuhan oleh pemerintahan Joko Widodo. Tidak hanya diekspor, sejak 2020 tambang batu bara diwajibkan menyisihkan 25 persen kapasitas produksi untuk dijual kepada Perusahaan Listrik Negara (PLN) dengan harga maksimal USD 70 per ton.

Menurut PLN, saat ini sebanyak 61,55 persen kebutuhan listrik di Indonesia dipasok dengan pembangkit bertenaga batu bara. Namun dengan minimnya komitmen pengendalian polusi, emisi pembangkit uap di Indonesia tercatat meningkat dua kali lipat dalam satu dekade terakhir.

Pengendalian atau transisi energi hijau

Banyaknya jumlah PLTU di Indonesia, lokasinya yang dekat dengan perkotaan dan kurangnya penerapan pengendalian emisi, memberikan kontribusi signifikan terhadap salah satu "krisis polusi udara paling serius di dunia," yang berdampak negatif bagi masyarakat, tulis CREA. Selain kerugian ekonomi senilai USD 220 miliar per tahun, polusi batu bara berkontribusi terhadap menurunnya tingkat harapan hidup sebanyak lima tahun.

Selaras dengan Alam: Hidup Tanpa Aliran Listrik

"Pemerintah Indonesia harus mengambil langkah-langkah yang lebih serius untuk mengatasi emisi dari PLTU batu bara. Sangat penting untuk menegakkan kepatuhan terhadap standar, menerapkan teknologi terbaik yang tersedia (BAT), dan pada akhirnya menggantinya dengan sumber energi terbarukan sesegera mungkin," kata Jamie Kelly, analis mutu udara di CREA.

Pengendalian emisi yang lebih ketat diyakini mampu menurunkan tingkat konsentrasi partikel halus menjadi kurang dari 0,2 mikrogram per kubik meter udara, "dan dapat menyelamatkan hingga 1.527 nyawa setiap tahunnya."

Satu-satunya jalan keluar adalah dengan mempercepat pembangunan energi terbarukan melalui program Kemitraan Transisi Energi yang Adil (JETP). Menurut rencana, program JETP akan dibekali dengan dana sebesar USD 20 miliar untuk transisi ramah lingkungan di Indonesia.

"Polusi udara dari PLTU batu bara akan terus menimbulkan dampak kesehatan yang signifikan hingga Indonesia sepenuhnya beralih ke energi terbarukan yang ramah lingkungan. Pemerintah tidak boleh menunda penerapan langkah-langkah pengendalian polusi udara yang sangat mudah dilakukan untuk melindungi perekonomian dan seluruh masyarakat dari dampak PLTU batu bara." tutur Lauri Myllyvirta, analis CREA.

rzn/hp (crea, ap, antara)