1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan Hak

Perlindungan Perempuan di Iran Terganjal Kaum Konservatif 

Shabnam von Hein
3 Juni 2020

Pembunuhan seorang remaja putri karena berpacaran baru-baru ini, mengungkap ketimpangan dalam sistem pengadilan Iran. Namun otoritas agama menolak reformasi hukum, karena naskah RUU memuat pasal anti kekerasan domestik. 

https://p.dw.com/p/3dBnJ
Iran Parlamentsabgeordnete
Foto: khabaronline

Akhir Mei silam sebuah desa di utara Iran diguncang kasus mengerikan ketika Reza Ashrafi memotong leher anak perempuannya sendiri demi menjaga kehormatan keluarga. Korban yang berusia 14 tahun sebelumnya melarikan diri dengan seorang pria 29 tahun. 

Keduanya saling mencintai, klaim sang pacar. Meski Romina masih di bawah umur, Iran mengizinkan perempuan menikah sejak usia 13 tahun. Hanya saja ayahnya tidak memberi restu.  

Ironisnya kepolisian sendiri yang melacak Romina dan membawanya pulang ke rumah sang ayah. Menurut laporan media lokal, ibunya mendengar suaminya memaksa Romina agar bunuh diri atau dia yang akan melakukannya sendiri. Mendengar itu si ibu bergeming. Keluarga bahkan mengorganisir pemakaman untuk Romina atas nama ayah “yang terhormat.” 

Kutukan kehormatan bagi perempuan 

“Dalam masyarakat tradisional, kehormatan adalah aset paling berharga seorang perempuan,“ kata wartawan Iran, Mahrokh Gholamhosseinpour. “Seorang pria yang isteri atau anak perempuannya telah kehilangan kehormatan akan ditolak, dipermalukan dan dikucilkan dari masyarakat.“ 

Selama bertahun-tahun Gholamhosseinpour mendalami isu pembunuhan demi kehormatan di Iran. Dia mengisahkan cerita Ala, perempuan muda xang hidup di Khuzestan di selatan Iran. Menurut ibunya, dia diperkosa oleh sekelompok pria ketika menggembala domba. Ketika dipulangkan ke desa dalam kondisi sekarat, keluarga memutuskan dia harus dibunuh. 

Dalam banyak kasus, ayah atau kakek akan memerintahkan saudara laki-laki atau sepupu korban untuk melakukan eksekusi mati. Setelah tindak biadab itu, orangtua biasanya akan mengambil tanggungjawab atau memaafkan si pembunuh. 

“Di dalam banyak kasus pembunuhan demi kehormatan, tidak ada aduan hukum dari keluarga. Dan pembunuh biasanya cepat dibebaskan dalam kesepakatan antara kedua pihak,“ kata sang jurnalis.  

Romina mungkin tidak akan dibunuh seandainya dia hidup di kota besar, kata Gholamhosseinpour. 

Alergi reformasi di kalangan konservatif 

Nasib Romina dibahas di seantero negeri. Surat kabar dan stasiun televisi melengkapi derasnya arus informasi di media sosial seputar pembunuhan keji tersebut. Presiden Hassan Rouhani memerintahkan kabinetnya menyiapkan paket reformasi untuk menggandakan hukuman bagi pelaku pembunuhan kehormatan. 

Namun reformasi hukum yang diminta Rouhani terganjal sistem pengadilan yang konservatif. Karena legislasi buat mengakhiri pembunuhan demi kehormatan harus memuat pasal yang melindungi perempuan dari tindak kekerasan domestik. Dan butir tersebut, menurut kelompok garis keras, merupakan imitasi nilai-nilai barat yang bertentangan dengan Islam. 

Kobra Chasali, anggota Dewan Sosial dan Budaya Perempuan (WSCC), sebuah lembaga sipil berpengaruh di Iran, mengklaim agama tidak bisa disalahkan atas kematian Romina. Menurutnya yang bersalah adalah justru para pendukung Agenda 2030 PBB yang antara lain ingin mewujudkan kesetaraan hak antargender. 

WSCC berada langsung di bawah Ayatollah Ali Khamenei. Selama 35 tahun, lembaga ini bertugas menanamkan nilai-nilai keislaman pada kebudayaan Iran. WSCC antara lain aktif menolak Sasaran Pembangunan Berkelanjutan karena mengkampanyekan pendidikan seks dan kesetaraan gender. 

Bagi kaum konservatif Iran, solusi pembunuhan demi kehormatan cukup sederhana, yakni mengizinkan anak perempuan menikah sedini mungkin. 

Kasus Romina sendiri mengungkap kejanggalan sistem pengadilan di Iran. Menurut laporan media-media lokal, ayah Romina sempat bertanya kepada kuasa hukumnya tentang berat vonis yang akan dia terima. 

Jawabannya adalah antara tiga sampai maksimal sepuluh tahun penjara. 

rzn/hp