1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Kisah Finalis Puteri Indonesia Hadapi Rasisme

Devianti Faridz
15 September 2021

Diskriminasi dan rasisme sering mewujud tersamar. Olvah Alhamid model asal Papua Barat mengatakan perlu ada edukasi dasar di sekolah bahwa Tuhan menciptakan manusia memang berbeda-beda.

https://p.dw.com/p/40JsJ
Olvah Alhamid
Olvah AlhamidFoto: Privat

Saat SMA, Olvah Alhamid perempuan asal Timika, Papua Barat, pindah ke Surabaya, Jawa Timur untuk menempuh pendidikan di salah satu SMA terbaik di Indonesia. Namun ada peristiwa yang menimpanya saat berusia 16 tahun yang begitu mengguncang jiwanya.

Banyak orang tidak tahu bahwa Olvah Alhamid, finalis Puteri Indonesia, model dan motivational speaker ini pernah menjadi korban perundungan atau bullying. Olvah, siswi satu-satunya asal Papua di SMA saat itu, diolok-olok murid perempuan lain karena penampilan fisik dan warna kulitnya.

Akibatnya, prestasi akademis dan kepercayaan dirinya sempat anjlok. Di tempat baru ini, Olvah remaja menghadapi lingkungan yang tidak kondusif. Di sisi lain ia juga perlu menyesuaikan diri dengan perbedaan kurikulum, bahasa, dan budaya di Jawa Timur.

"Mereka tidak tahu bahwa becandaan mereka adalah rasisme. Itu suatu bentuk micro-aggression. Akibatnya, saya jadi malas sekolah dan pura-pura sakit karena bully itu sekelas sama saya." ujar Olvah kepada DW Indonesia.

Namun uluran tangan dari sekelompok senior kelas di sekolahnya berhasil menyemangati Olvah untuk kembali meraih prestasi. Perlahan, Olvah menjadi salah satu dari lima murid sekolah dengan nilai akademis tertinggi.

Pertanyakan "wajah-wajah tipikal" di media massa

Pada saat yang sama Olvah menyadari bahwa walau Indonesia memiliki semboyan yang menyatakan bahwa negara ini terdiri dari keanekaragaman, tapi menurutnya, kenyataan di lapangan tidak mencerminkan itu.

"Kenapa sih wajah-wajah di media massa tipikal begitu-begitu saja? Kenapa sih tidak ada yang dari Papua di televisi dan majalah? Sejak itu saya bilang bahwa saya harus membuat perbedaan," demikian Olvah bertekad. 

Olvah Alhamid
Olvah Alhamid saat SMA pernah jadi korban berundungan karena penampilan fisik dan warna kulitnya yang berbeda dari kebanyakan orang di sekitarnya.Foto: Privat

Olvah menjelaskan bahwa media massa dan tokoh publik memiliki peran sangat penting dalam memengaruhi opini masyarakat. Cerita-cerita negatif dan stereotip terkait suku dan etnis tertentu perlu diimbangi dengan cerita-cerita yang positif tentang mereka. Jika tidak, benih-benih intoleransi dapat cepat menyebar, ujarnya.

Tidak hanya pada pemberitaan, iklan-iklan dan perfilman di Indonesia juga dinilainya perlu lebih menghargai keanekaragaman suku, agama, dan ras yang ada di negara ini. Perlu ada lebih banyak perwujudan orang-orang Timur Indonesia di TV, film dan sinetron, kata dia.

Rasisme mewujud dalam berbagai bentuk

Olvah menjelaskan bahwa dia pernah menerima apa yang disebutnya backhanded compliments atau komentar yang awalnya terdengar seperti pujian tapi justru sebenarnya adalah hinaan.

Tahun 2019, dia menjelaskan bahwa beberapa televisi nasional pernah menawarkannya menjadi pembawa berita tanpa harus ikut seleksi. Tawaran ini bertepatan dengan viralnya sebuah video di internet tentang orang Papua. Tawarannya pun dia tolak karena Olvah merasa bahwa ini hanya bersifat formalitas. 

Hal yang mirip terjadi saat dia ikut casting sebuah film. "Saat saya ikut casting, malah saya dibilang terlalu cantik untuk diterima (memainkan peran sebagai orang Papua). Saya ini punya potensi untuk akting dan bahkan ikut kursus 3 bulan di Amerika belajar akting tapi mereka bilang bahwa sedang mencari orang Papua yang 'biasa' saja," tuturnya geram.

"Saya itu sampai sekarang jadi sasaran rasisme atau diskriminasi. Saya pikir negara kita ini sudah 76 tahun merdeka, masa sih masih ada rasisme? Kenyataannya, saya menghadapi rasisme di mana pun saya pergi."

Pentingnya pendidikan antirasisme sejak dini

Dia bercerita bahwa diskriminasi bisa terjadi di mana saja dan tidak pandang status ekonomi. Ketika berbincang dengan DW Indonesia, nada suaranya semakin meninggi saat mengingat kejadian dua tahun lalu di salah satu mal mewah di Jakarta.

Saat itu seorang anak berumur 9 tahun mengacu pada Olvah dan berkata kepada ibunya bahwa dia melihat "seekor monyet". Sang ibu hanya ketawa kecil tanpa menyalahkan anaknya maupun memberi pelajaran. Olvah tidak sungkan untuk langsung menegur ibu tersebut.

"Kita kurang adanya edukasi di sekolah bahwa Tuhan ini menciptakan kita ini berbeda-beda (dengan sengaja). Ini penting sekali sekali untuk pendidikan dasar anak-anak."

Setelah mengalami diskriminasi berulang kali, Olvah bercita-cita menjadi seorang menteri agar dapat menyebarluaskan pesan pentingnya pemberantasan diskriminasi dan rasisme di kehidupan masyarakat termasuk di dalam pemerintahan sendiri.

Ia berharap adanya program pertukaran budaya antarmurid sekolah sehingga bisa terbuka wawasan dan pikiran mereka terhadap keanekaragaman budaya dan ras di Indonesia.

(ae)