1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
PolitikTunisia

Militer di Tunisia: Kudeta Senyap atau Pahlawan Konstitusi?

Cathrin Schaer | Tarak Guizani
21 September 2021

Militer Tunisia yang selama ini dikenal netral, semakin terseret ke dalam langgam otoritarianisme yang digencarkan Presiden Kais Saied. Tentara perlahan mengambilalih fungsi sipil, termasuk untuk mengadili tokoh oposisi

https://p.dw.com/p/40bH0
Tentara Tunisia berjaga-jaga di sebuah lokasi di ibu kota Tunis, 18 Mei 2011.
Tentara Tunisia berjaga-jaga di sebuah lokasi di ibu kota Tunis, 18 Mei 2011.Foto: dpa/picture alliance

Malam beranjak larut ketika sekelompok pria berjas rapih menghampiri gerbang besi di depan gedung parlemen Tunisia yang dijaga sekelompok serdadu. Para anggota legislatif itu meminta akses masuk, namun ditolak atas alasan "perintah dari militer.”

Di dalamnya berkumpul tokoh-tokoh politik paling senior, termasuk Rachid Ghannouchi, juru bicara parlemen dan ketua umum Partai Ennahda yang menguasai kursi mayoritas. 

Pertemuan di tengah musim panas itu mengawali krisis politik berkepanjangan di Tunisia. Pada 25 Juli, Presiden Kais Saied membekukan parlemen, memecat Perdana Menteri Hichem Mechichi dan mendeklarasikan situasi darurat nasional. 

Adegan pada malam hari di depan gedung parlemen itu adalah bagian dari upaya parlemen untuk menggugurkan dekrit presiden. 

Peran baru militer?

Sudah dua bulan Tunisia dibekap krisis kepemimpinan. Pendukung Saied berdalih tindakannya diperlukan untuk mengakhiri kebuntuan politik. Oposisi sebaliknya menuduh sang presiden telah melanggar konstitusi, dan menjelma menjadi diktatur yang mengancam demokrasi di Tunisia

Sepanjang akhir pekan kemarin, kedua kelompok berusaha unjuk gigi dengan berdemonstrasi di ibu kota Tunis.

Salah satu yang membedakan langgam autoritarianisme di Tunisia dengan di negara Arab lain adalah peran militer.

Selama berpuluh tahun, militer Tunisia menjaga sikap netral dan menjauhi politik. Namun, gerak-gerik tentara sejak Juli silam mengundang kekhawatiran.

Dalam sejarah modern Tunisia, "militer belum pernah mengontrol pintu keluar-masuk gedung parlemen seperti sekarang,” tulis seorang wartawan foto lokal, Hammadi Lassoued, di media independen, Nawaat, Agustus lalu. 

"Hal ini mencetuskan pertanyaan tentang kedekatan antara militer dan politisi di Tunisia.”

Insiden di gerbang parlemen "adalah untuk pertama kali dalam sejarah modern Tunisia, bahwa militer terlibat langsung dalam urusan politik, yang jelas bertentangan dengan konstitusi,” kata Radwan Masmoudi, Kepala Pusat Studi Islam dan Demokrasi di Washington, serta anggota Partai Ennahda.

Imparsialitas buahkan popularitas

Militer Tunisia tergolong yang paling kecil di Afrika Utara dan kawasan Arab. Sejak dekade 1950an, para serdadu berada langsung di bawah kendali diktatur-diktatur Tunisia yang mengkhawatirkan kudeta. 

Pendukung Partai Ennahda yang menguasai mayoritas parlemen, berdemonstrasi di Tunis, Februari 2021.
Pendukung Partai Ennahda yang menguasai mayoritas parlemen, berdemonstrasi di Tunis, Februari 2021.Foto: Nacer Talel/AA/picture alliance

Untuk mengecilkan peran militer, pemerintah membatasi anggaran belanja dan memastikan kepemimpinan militer dirotasi silih berganti di antara klan, demi mencegah akumulasi kekuasaan oleh salah satu kelompok.

Netralitas tersebut dianggap sebagai salah satu alasan kuat kenapa Musim Semi Arab berlangsung sukses di Tunisia, ketika negara Arab lain terjerembab dalam perang saudara. Di tengah revolusi 2011 silam, para serdadu memilih menjaga gedung pemerintah, ketimbang membubarkan demonstran.

"Minim anggaran, minim perlengkapan dan minim pengaruh politik, sebagian besar perwira militer membenci bekas diktatur Zainal Abidin bin Ali,” tulis para analis di Carnegie Endowment for International Peace, dalam laporannya 2016 silam. "Ketika bin Ali dilengserkan, hampir tidak ada perwira tinggi yang menyesali.”

Pengemban kepercayaan rakyat

Sikap netral militer selama masa pergolakan bersambut dengan lonjakan popularitas. Dalam sebuah survey oleh Afrobarometer, sebanyak 85% responden menganggap militer lebih bisa dipercaya ketimbang polisi, pemuka agama, lembaga peradilan atau politisi.

"Mungkin sentimen publik itu yang menggerakkan pemerintahan Saied untuk mencengkram angkatan bersenjata,” kata Olfa Hamdi dari Pusat Stud Stragegis Tunisia di Washington, AS. 

Hamdi yang termasuk ke dalam barisan oposisi Tunisia mengritik upaya Presiden Saied membaurkan politik dan militer. Dia rajin berpidato di pangkalan militer atau bersanding dengan para jendral dalam acara-acara publik. Saied juga melibatkan tentara mengerjakan proyek publik seperti penanggulangan pandemi atau untuk memegang lembaga sipil.

Presiden pada Agustus silam, menunjuk Jendral Ali Mrabet yang bertanggungjawab atas program vaksinasi, untuk mengemban jabatan menteri kesehatan. 

Preseden Berbahaya

Salah satu perkembangan yang paling mengkhawatirkan adalah praktik menggunakan pengadilan militer untuk mempresekusi musuh politik. Saat ini tiga pengadilan militer Tunisia mengadili sejumlah warga sipil, termasuk anggota oposisi dan blogger, lapor Brookings Institution pada tahun 2019.

Kendati demikian, analis tetap kesulitan memprediksi peran militer Tunisia di masa depan. Sama sulitnya menerka apakah Kais Saied akan menjadi diktatur Tunisia yang baru, atau dia hanya melakukan apa yang diperlukan untuk mengakhiri kebuntuan politik dan krisis ekonomi.

Timothy Hazen, Guru Besar Politik di Elmhurst University, AS, menilai "dari perspektif Saied, jika institusi politik dianggap tidak lagi bisa dibenahi, maka masuk akal menggunakan ‘pengadian militer' ketimbang ‘pengadilan sipil yang korup.”

Meski begitu Hazen tetap meyakini kebijakan pemerintah menggandeng militer, terutama dalam penanganan pandemi, sebagai "preseden berbahaya.”

Hal ini dibantah Abdel-Majid Bettajeb, seorang pensiunan perwira militer Tunisia. Menurutnya peran militer dalam penyelenggaraan negara "adalah perlu dan dibutuhkan,” terlebih jika mengingat "kegagalan sistem politik dan parlemen yang serupa mafia, Kais Saied wajib meminta bantuan militer untuk menyelamatkan negara,” pungkasnya.

rzn/as