1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KesehatanIndonesia

Menkes Beberkan Tiga Zat Berbahaya yang Cemari Obat Sirup

Detik News
20 Oktober 2022

Kementerian Kesehatan RI mengonfirmasi secara resmi obat yang dikonsumsi sejumlah balita dengan kondisi gagal ginjal akut tercemar etilen glikol dan dietilen glikol.

https://p.dw.com/p/4IRLB
Foto ilustrasi obat batuk sirup
Foto: mrp/imageBROKER/picture alliance

Kementerian Kesehatan RI mengonfirmasi temuan pasien balita yang mengalami acute kidney Injury (AKI) atau gagal ginjal akut. Menurut pemeriksaan, terdeteksi adanya tiga zat kimia berbahaya dari obat bentukan cair atau sirup.

"Kemenkes sudah meneliti bahwa pasien balita yang terkena AKI (acute kidney Injury) terdeteksi memiliki 3 zat kimia berbahaya (ethylene glycol-EG, diethylene glycol-DEG, ethylene glycol butyl ether-EGBE)," jelas Menteri Kesehatan RI Budi Gunadi Sadikin melalui keterangan tertulis yang diterima detikcom, Kamis (20/10).

"Ketiga zat kimia ini merupakan impurities dari zat kimia 'tidak berbahaya', polyethylene glycol, yang sering dipakai sebagai solubility enhancer di banyak obat-obatan jenis syrup," lanjutnya.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes dr. Siti Nadia Tarmizi menjelaskan telah meneliti obat sirup yang dikonsumsi dan tersedia di rumah pasien balita yang mengalami gagal ginjal akut. Obat itu terbukti mengandung EF, DEG, EGBE, yang seharusnya tidak atau sangat sedikit kadarnya di dalam obat-obatan sirup tersebut.

Untuk saat ini, Kemenkes mengambil posisis konservatif dengan melarang penggunaan obat-obatan sirup untuk sementara waktu. Ini dilakukan sambil menunggu hasil penelitian final Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

"Sambil menunggu otoritas obat atau BPOM memfinalisasi hasil penelitian kuantitatif mereka. Kemenkes mengambil posisi konservatif dengan sementara melarang penggunaan obatan sirup," kata Menkes.

"Mengingat balita yang teridentifikasi AKI sudah mencapai 70-an per bulan (realitasnya pasti lebih banyak dari ini), dengan fatality/kematian rate mendekat 50 persen," pungkasnya.

Epidemiolog: Waktunya tetapkan KLB!

Epidemiolog Dicky Budiman dari Universitas Griffith Australia menilai sudah waktunya pemerintah menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) usai 206 anak mengidap gagal ginjal akut, hingga 99 di antaranya meninggal dunia. Fenomena laporan kasus tersebut disebutnya sudah masuk kategori KLB.

Ia khawatir, tanpa status KLB, banyak pasien kesulitan mengakses fasilitas pelayanan kesehatan lantaran tidak ada bantuan dana. Menurutnya, penetapan status tersebut menjadi bagian penting, selain kesiapan rumah sakit rujukan.

"Sebelum ke RS, harus dipikirkan ada namanya merujuk, kalau dari pulau itu dia harus naik pesawat, bisa naik kendaraan di mana kalau nggak ada uangnya? Nah status KLB itulah yang akan membantu, jadi ini harus dipahami," terang Dicky saat dihubungi detikcom Rabu (19/10).

"Kalau ini tidak ditetapkan percuma, karena percuma orang ada RS, tapi nggak bisa dirujuk, karena nggak ada kapasitas atau resources-nya untuk merujuk itu," sambung panel ahli pemulihan pascapandemi WHO tersebut.

Terlebih, menurutnya tidak semua kabupaten/kota memiliki fasilitas pelayanan kesehatan yang sama dan memadai. Misalnya, ketersediaan alat hemodialisa atau peritoneal dialysis yang membutuhkan seorang dokter bedah anak.

Dicky memastikan penanganan gagal ginjal akut tentu tidak bisa dilakukan dalam level puskesmas. Sejak awal, Dicky meyakini status KLB layak ditetapkan usai melihat tren peningkatan kasus gagal ginjal akut misterius, khususnya angka kematian dalam tiga periode.

Ia mengaku heran status KLB tak kunjung ditetapkan lantaran hal tersebut bisa memudahkan dan memaksimalkan koordinasi khususnya dalam penanggulangan kasus gagal ginjal akut.

"Sudah banyak kriteria yang terpenuhi (untuk menetapkan KLB), dan saya cukup heran kenapa tidak ditetapkan sebagai KLB, karena ketika ditetapkan sebagai KLB maka ketetapan ini akan lebih memudahkan untuk koordinasi dan optimasi SDM kesehatan, dan penanggulangan KLB," terang dia.

"Ini yang penting, karena tidak semua daerah punya kapasitas, tidak semua punya resources dalam hal ini dana ya, bukan hanya masalah rujukan, kalau masalah rujukan itu ada juga bicara dana loh dalam hal ini, nah SDM yang dimaksud ini dengan adanya penetapan KLB, yang mempermudah itu bukan hanya tenaga kesehatan, tapi juga dana, bahkan ketersediaan farmasi, dan fasilitas kesehatan, termasuk teknologi," pungkas dia. (ha)

 

Baca selengkapnya di: Detik News

Menkes Beberkan 3 Zat Berbahaya Cemari Obat Sirup Anak Gagal Ginjal Akut RI

99 Anak Meninggal Gagal Ginjal Akut di RI, Epidemiolog: Waktunya Tetapkan KLB!