1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Reog, Ikon Penyebaran Islam dan Perjuangan Ponorogo

Yovinus Guntur Wicaksono
6 Mei 2022

Simak kembali kisah Reog yang erat dengan cerita perjuangan dan penyebaran Islam di Ponorogo. Kata Reog konon berasal dari riyokun, artinya husnul khatimah atau akhir yang baik.

https://p.dw.com/p/4AsTf
Reog Ponorogo
Reog PonorogoFoto: Yovinus Guntur/DW

Alkisah, Raden Katong yang kala itu menjabat sebagai adipati pertama di wilayah Ponorogo, mendapatkan amanah sebagai utusan dari Kasunanan Demak untuk menyebarkan Islam di Ponorogo. Ia menggunakan barongan sebagai media dakwah.

Seiring berjalannya waktu, barongan pun menjadi ikon dan milik warga Ponorogo dan berganti nama menjadi Reog. Kata Reog sendiri diyakini berasal dari kata riyokun yang berarti husnul khatimah atau akhir yang baik.

Demikian sepenggal kisah sejarah Reog yang diceritakan ulang oleh Agung Priyanto, pemerhati sekaligus seniman Reog Ponorogo. Ia menyebutkan tidak ada alasan bagi negara lain untuk mengklaim apalagi mendaftarkan Reog sebagai kesenian milik mereka.

"Seluruh bukti dan data yang ada jelas menyebut Reog itu asalnya dari Ponorogo. Tidak ada dari daerah lain apalagi dari negara lain," ujar Agung Priyanto kepada DW Indonesia. 

Seniman Reog, Agung Priyanto
Seniman Reog, Agung PriyantoFoto: Privat

Bukti dan data yang dimaksud Agung adalah tentang sejarah dari Reog Ponorogo. Buku Babad Ponorogo Jilid I-VIII tahun 1984 menyebutkan kisah pemberontakan Ki Ageng Kutu. Menurut cerita, Ki Ageng Kutu adalah seorang abdi kerajaan pada masa pemerintahan Bhre Kertabumi pada abad ke-15 Masehi. 

Ki Ageng Kutu melakukan pemberontakan karena murka kepada pemerintahan raja yang dinilai mendapatkan pengaruh kuat dari istri Raja Majapahit yang berasal dari Cina. Kemudian, Ki Ageng Kutu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan bela diri. Untuk melawan pasukan kerajaan, ia lalu membuat pertunjukan seni Reog yang merupakan sindiran kepada Raja Kertabumi dan kerajaannya.

Selain berkisah tentang penaklukkan, Reog tidak lepas dari barongan yang diciptakan untuk warok. Barongan inilah yang kemudian dilestarikan oleh Raden Katong atau Batoro Katong yang pertama menjabat sebagai Adipati Ponorogo, seperti yang disebutkan di awal.

"Jadi, ada kisah Reog yang tidak lepas dari sejarah Ponorogo," kata Agung.

Mengenal ragam komposisi dalam Reog

Reog sendiri memiliki beberapa komponen, ujar Agung. Di antaranya, warok, jathil atau pasukan berkuda, bujang ganong atau Patih Pujangga Anom, Klono Sewandono atau Raja Klono, dan singo barong. Seluruh komponen ini punya makna masing-masing.

Warok misalnya. Dalam falsafah setempat diartikan sebagai wong kang wus purna saka sakabehing laku, lan wus menep ing rasa (Warok adalah orang yang sudah sempurna dalam laku hidupnya, dan sampai pada pengendapan batin). Atau dari kata wewarah yang berarti orang yang mempunyai tekad suci, memberikan tuntutan dan perlindungan tanpa pamrih.

Warok menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam Reog Ponorogo dan untuk menjadi warok, seseorang harus betul-betul menguasai ilmu baik lahir maupun batin.

Jathil adalah tarian yang menggambarkan ketangkasan prajurit berkuda yang sedang berlatih di atas kuda. Tarian ini dilakukan berpasangan antara penari satu dengan lainnya. Jathil pada mulanya ditarikan oleh gemblak, yakni sebutan untuk laki-laki yang halus, berparas tampan atau mirip dengan wanita cantik. Gerak tarinya pun cenderung feminin.

Bujang Ganong atau Patih Pujangga Anom adalah salah satu tokoh yang lincah, kocak, sekaligus mempunyai keahlian dalam seni bela diri. Bujang Ganong digambarkan sebagai seorang patih muda yang secara fisik cenderung buruk rupa. Meskipun begitu, dia cekatan, berkemauan keras, cerdik, jenaka, dan sakti. Topeng Bujang Ganong berwarna merah menyala dengan mata khas melotot, hidung besar, dan gigi menonjol.

Klono Sewandono atau Raja Klono adalah sosok raja sakti mandraguna yang memiliki pusaka andalan berupa cemeti. Pusaka tersebut sangat ampuh dan dikenal dengan Pecut Samandiman. Dalam suatu kisah, Prabu Klono Sewandono berhasil menciptakan kesenian indah hasil dari daya ciptanya menuruti permintaan Putri (kekasihnya).

Yang terakhir adalah singo barong atau tokoh dan penari berkepala macan dengan hiasan merak dan tampil paling dominan pada kesenian Reog Ponorogo. Bagian-bagian topengnya terdiri dari kepala harimau (caplokan), terbuat dari kerangka kayu, bambu, rotan yang ditutup dengan kulit macan gembong/harimau jawa. Selain itu, ada juga dadak merak yakni kerangka yang terbuat dari bambu dan rotan sebagai tempat menata bulu merak. 

Ragam reaksi

Sikap Malaysia yang pada April lalu ingin mendaftarkan Reog ke UNESCO telah membuat pegiat seni Reog di Ponorogo semakin kuat dalam kebersamaan. Bahkan hingga sebelum Ramadan kemarin, tiap malam mereka selalu menampilkan atraksi Reog di beberapa sudut kota tersebut.

"Sekarang kami terus melakukan aksi di Ponorogo. Baik itu di alun-alun atau tempat lainnya," jelas Agung.

Tidak itu saja, para pelaku seni Reog ini juga telah berkirim surat ke Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko untuk kemudian diteruskan kepada pemerintah pusat. "Kami telah kirim surat ke Pak Bupati dan langsung diteruskan ke pemerintah pusat," ungkap Agung.

Sementara itu, Bupati Sugiri Sancoko mengatakan dirinya tidak khawatir dengan klaim Malaysia. Menurutnya, dokumen lengkap terkait dengan kesenian Reog sebagai warisan budaya tak benda masih ada.

"Semua dokumen sudah komplet. Kami punya segudang bukti dan segudang literatur yang dijadikan acuan untuk mengajukannya ke UNESCO," katanya.

Disebutkan Sugiri, Reog Ponorogo masuk nominasi tunggal warisan budaya tak benda (intangible cultural heritage) setelah sebelumnya tercatat sebagai warisan budaya tak benda Indonesia oleh Mendikbud RI pada 2013.

Refleksi budaya

Pakar Budaya dari Universitas Airlangga Surabaya, Puji Karyanto, mengatakan apa yang terjadi pada kasus Reog Ponorogo ini seharusnya menjadi refleksi bagi Indonesia agar tidak abai dengan budaya tradisi.

"Kita sebenarnya sudah cukup sering belajar terkait hal-hal seperti ini. Tentu saja, ketika ada hal seperti ini, ini sekaligus menjadi sarana refleksi bagi kita kenapa sampai ada negara lain yang ingin mendaftarkan salah satu warisan budaya tak benda kita ke UNESCO. Jangan-jangan warisan tak benda ini memang lebih hidup di mereka, daripada di kita," kata dosen pengantar ilmu budaya ini.

Agar tidak terluang lagi, Puji mengatakan, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan. Pertama, anak muda zaman sekarang harus merasa memiliki budaya tradisi. Tentu dengan catatan, para pelaku kebudayaan juga harus beradaptasi dengan zaman, menjadikan budaya tradisi menarik bagi anak muda sekarang.

"Hidupkan semua warisan budaya masa lampau yang memang bisa diadaptasikan, cocok dengan kondisi saat ini," jelasnya.

Kedua, pemerintah harus berperan dengan melakukan perlindungan legal terkait warisan kebudayaan tak benda. Sehingga tidak dapat diklaim oleh pihak lain.

Satuan kebudayaan tidak sama dengan satuan politik, ujarnya. Artinya, secara kebudayaan, kesenian tradisi umumnya dianggap milik komunal, bukan milik perorangan. Namun, hal itu berkaitan dengan pola pikir zaman sekarang. Terdapat 'klaim' yang mengharuskan Indonesia mendaftarkan kebudayaannya ke UNESCO agar tidak selanjutnya hilang dan diambil alih oleh pihak lain. (ae)