1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mencegah Korupsi Lewat Perempuan

Linda Hairani
22 Desember 2018

Banyak orang tak paham perilaku koruptif. Gerakan SPAK merangkul perempuan untuk mengkampanyekan antikorupsi. Mereka dinilai gampang mempengaruhi keluarganya.

https://p.dw.com/p/3ATRr
Judhi Kristantini Indonesien
Foto: tempo/ejc

Masih melekat dalam ingatan Judhi Kristianti, kisah seorang perempuan pada pertemuan awal gerakan Saya Perempuan Antikorupsi sekitar lima tahun silam. Seorang istri rektor sebuah universitas di Jawa menceritakan bagaimana ia biasa memberikan hadiah untuk guru dan petugas keamanan (Satpam) sekolah anaknya tiap akhir semester.

Saat akan memberikan hadiah, si anak selalu meminta ia yang memberikannya. Sang ibu pun bangga karena anaknya memiliki kepedulian sosial. Sampai suatu saat, ketika kegiatan belajar dimulai kembali, si anak santai terlambat sampai di sekolah. Padahal gerbang biasanya dikunci setelah bel tanda masuk berbunyi. Selain itu, juga akan ada ulangan Matematika pada jam pelajaran kedua. Sang Ibu bertanya alasan ketenangan anaknya. Anaknya tak khawatir lantaran ia kerap memberi hadiah kepada satpam dan yakin si satpam akan membuka gerbang untuknya.

"Sejak itu, ibu tadi kaget karena anaknya tanpa disadari memiliki perilaku koruptif,” kata Judhi, beberapa waktu lalu.

Perempuan 52 tahun ini mengamati dalam setiap pertemuan Saya Perempuan Anti-Korupsi (SPAK) pada awal-awal berdirinya, betapa rendahnya pemahaman korupsi di masyarakat. "Saat ditanya, mereka hanya tahu korupsi itu berkaitan dengan keuangan negara,” kata dia.

Karena itulah, kampanye antikorupsi memang mesti digenjot  penyebarluasannya. Gerakan SPAK yang dimotori Judhi adalah salah satunya.

Rintisan Gerakan Saya Perempuan Anti-Korupsi bermula sekitar 2013. Komisi Pemberantasan Korupsi meminta bantuan lembaga tempat Judhi bekerja, Australia-Indonesia Partnership for Justice (AIPJ), untuk mencari jalan menyebarkan pemahaman antikorupsi. Judhi dan rekan-rekannya pun memutar otak.

Saat itu, menurut Judhi, korupsi seringkali hanya dibahas di seminar-seminar serius dan dihadiri para ahli hukum. Selain itu, seminar tersebut juga kebanyakan membahas kasus yang sudah terjadi. Padahal, ia meyakini korupsi merupakan tindakan akhir dan puncak dari kejadian-kejadian kecil yang dialami dan dilakukan pelakunya dalam kurun waktu tertentu.

Selain itu, tak banyak gerakan yang berfokus pada pencegahan korupsi. Indeks persepsi korupsi Indonesia yang disusun Transparency International cenderung stagnan. Tahun lalu skor Indonesia di angka 37 dari skala 0-100, sama dengan tahun 2016, dan hanya naik 1 poin dari skor 2015.

Juga, melihat hasil survei yang dilakukan KPK di Solo dan Yogyakarta  pada 2012-2013, hanya empat persen orang tua yang mengajarkan kejujuran dan perilaku antikoruptif kepada anak-anaknya.

Hal-hal tersebut membuat Judhi berpikir bahwa korupsi bukan sekadar persoalan hukum, tapi juga persoalan sosial. Ia dan rekan-rekannya menginginkan kampanye yang inklusif dan dipahami banyak orang tanpa membahas perundangan yang rumit. Fokus kampanye pun diputuskan pada pencegahan.

Judhi dan teman-teman juga memutuskan sasaran kampanye adalah perempuan.  Selain karena dianggap mereka gampang mempengaruhi keluarganya, saat itu menurut Judhi, isu korupsi cenderung dianggap sebagai ranah laki-laki.  Maka pada April 2014, diluncurkanlah Gerakan SPAK, bersamaan dengan peluncuran gerakan pencegahan korupsi berbasis keluarga oleh KPK. Judhi pun terus menjadi motor penggeraknya.

Diskusi dan pelatihan pun terus digelar. Acaranya dikemas dengan santai dan dengan penjelasan yang sederhana dan contoh-contoh dari kegiatan sehari-hari. Misalnya, penjelasan delik korupsi dikaitkan dengan penggunaan mobil dinas di luar kepentingan kantor, atau urusan memotong antrean.

Metode lain yang juga selalu digunakan Judhi dan teman-teman adalah permainan kartu. Mereka kini memiliki setidaknya enam permainan kartu, di mana salah satunya adalah majo (lima jodoh) dan semai (sembilan nilai). Bila majo mengenalkan delik-delik korupsi, semai mengenalkan nilai-nilai antikorupsi.

Judhi Kristantini Indonesien
Melalui permainan Judhi mengkampanyekan budaya anti korupsi kepada anak-anak.Foto: tempo/ejc

Menurut Judhi, semai dibuat atas permintaan para agen. Mereka kesulitan menjelaskan perilaku koruptif kepada anak-anak. Konsep nilai kesederhanaan, kegigihan, keberanian, kerja sama, kedisiplinan, kepedulian, bertanggung jawab, kejujuran, dan keadilan dianggap abstrak. Kartu Semai menyajikan contoh kejadian yang mengandung nilai-nilai tersebut.

Perjalanan Judhi dan Gerakan SPAK bukannya tak mendapat tantangan. Banyak peserta pelatihan yang berhenti di tengah jalan. Masalahnya, menurut Judhi, ketidaksiapan mereka untuk meninggalkan zona nyaman. Menjadi agen SPAK berarti menghentikan perilaku koruptif sekecil apapun dan menerapkan kegiatan bebas korupsi setiap harinya.

Tantangan lainnya, resistensi masyarakat, terutama di kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Semarang. Kini, tim Judhi sedang menyusun bentuk kampanye kreatif yang menyasar masyarakat di kota besar. Misalnya mereka memilih tempat kampanye di kafe, bioskop, atau kereta komuter.

Namun Judhi dan teman-teman tetap gembira dengan hasil sejauh ini. Kini, jumlah agen SPAK sebanyak 1.720 orang tersebar di 34 provinsi di Indonesia.  Mereka rajin menyebarluaskan nilai-nilai antikorupsi.

Ajun Inspektur Polisi Dua Andi Sri Ulva adalah salah satu agen yang rajin kampanye dan membuat para pegiat Gerakan SPAK bangga. Perempuan yang kini menjabat Kepala Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di Kepolisian Resor Takalar, Sulawesi Selatan, itu mengenal Gerakan SPAK saat masih bertugas di Kepolisian Sektor Panakkukang pada 2016. Ia mengikuti pelatihan Gerakan SPAK di Sorong, Papua.

Saat mengikuti pelatihan itu, Ulva tak bisa tidur. Ia terusik dengan penjelasan Gandjar Laksmana Bonaprapta, pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia, yang  menjadi pemateri. Ulva keluar kamar dan berlari mengelilingi pelataran hotel untuk menghapus rasa bersalahnya selama menjadi petugas di Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT)  yang kadang menerima "uang terima kasih” atau gratifikasi. "Padahal kami tak boleh terima uang dari masyarakat,” kata dia.

Sekembalinya dari Sorong, Ulva mengusulkan pada pimpinannya untuk mengubah desain ruang SPKT. Ruangan tempat masyarakat melapor itu kini sepenuhnya berdinding kaca. Meja di ruangan itu pun tak lagi berlaci sebagai tanda mereka tak lagi menerima gratifikasi dari masyarakat. Saat memulai inisiasi itu, Ulva kerap dicibir koleganya. Namun ia tak gentar.

Inisiatif Ulva rupanya terdengar hingga Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia di Jakarta. Tahun lalu Ulva mendapat Golden Card dari Kapolri, dan berkesempatan mendapat prioritas masuk sekolah perwira.

Setelah kisah Ulva menyebar, Judhi mengatakan, semakin banyak kepolisian tingkat resor sampai daerah yang mengirim anggotanya untuk ikut pelatihan Gerakan SPAK. Ia berharap kerja sama ini bisa terus berlanjut. "Sebab, polisi menjadi perwakilan lembaga peradilan yang langsung berhubungan dengan masyarakat dan berpotensi mengubah wajah hukum di Indonesia.”

***

Tulisan ini bagian dari Proyek Perempuan Tempo untuk merayakan 90 tahun Konggres Perempuan Indonesia pertama 22 Desember 1928, dengan dukungan dari European Journalism Centre.