1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Persamaan HakIndonesia

Desa Ramah Penyandang Disabilitas di Yogyakarta

A. Kurniawan Ulung
3 Desember 2021

Desa inklusi memfasilitasi interaksi sosial yang saling menghormati dan mendukung antara komunitas difabel dan kelompok marginal lainnya dengan anggota masyarakat.

https://p.dw.com/p/43lYM
Ilustrasi penyandang disabilitas
Ilustrasi penyandang disabilitasFoto: Andriy Popov/PantherMedia/picture alliance

Hak-hak penyandang disabilitas selama ini kerap kali diabaikan, tapi tidak demikian di Desa Wahyuharjo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta. Di sana, warga penyandang disabilitas terlibat aktif berbagai kebijakan desa. Usulan mereka tidak hanya didengar tetapi juga ditindaklanjuti oleh pengurus desa.

"Usulan-usulan mereka penting dan bermanfaat tidak hanya bagi kelompok mereka sendiri tetapi juga bagi seluruh warga desa," kata Sekretaris Desa Wahyuharjo, Didik Sukriyandoko, kepada DW Indonesia "Mereka justru menjadi salah satu sumber kami dalam menggali potensi-potensi desa."

Di desa inklusi warga penyandang disabilitas dapat hidup mandiri dan berdaya atas nasibnya sendiri. Di sebuah desa bernama Desa Bajang, misalnya, sejumlah penyandang disabilitas tergabung dalam komunitas Difabel Zone dan bekerja sebagai pengrajin batik. Sedangkan di sebuah kafe bernama Cupable Coffee, beberapa penyandang disabilitas bekerja sebagai barista dan dengan sigap melayani para pembeli.

Di Desa Wahyuharjo sendiri ada total 30 warga penyandang disabilitas. Namun Didik Sukriyandoko mengatakan bahwa masyarakat tidak lagi memandang para penyandang disabilitas sebagai warga kelas dua. Kini, mereka tidak lagi dikasihani, tetapi justru dihormati dan dilibatkan dalam proses pembangunan infrastruktur desa.

Apa itu desa inklusi?

Menurut data dari Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2020, jumlah penduduk penyandang disabilitas di Indonesia diperkirakan mencapai 22,97 juta jiwa. Sekitar 6,1 juta di antaranya adalah penyandang disabilitas kategori berat dengan rincian 1,2 juta penyandang disabilitas fisik, 3,07 juta penyandang disabilitas sensoris, 149 ribu penyandang disabilitas mental dan 1,7 juta penyandang disabilitas intelektual. Kebanyakan dari para penyandang disabilitas ini hidup di pedesaan.

Untuk melibatkan para penyandang disabilitas tersebut, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT) saat ini sedang mengembangkan 14 desa inklusi di 7 provinsi, mulai dari Lampung, Jawa Tengah, hingga Sulawesi Tengah.

Di desa inklusi pemerintah desa menjamin partisipasi kelompok marginal, termasuk penyandang disabilitas, dalam proses perumusan kebijakan dan pelaksanaan pembangunan desa. Pendek kata, desa inklusi ini memfasilitasi interaksi sosial yang saling menghormati, menerima, dan mendukung komunitas difabel dan kelompok marginal lainnya dengan anggota masyarakat, kata Suharto dari organisasi nirlaba Sasana Integrasi dan Advokasi Difabel (Sigab).

Cafe di Yogyakarta
Di kafe Cupable Coffee, beberapa penyandang disabilitas bekerja sebagai barista.Foto: A. K. Ulung/DW

"Ketika kepala desa baru terpilih, misalnya, difabel dilibatkan dalam musyawarah desa untuk menyusun RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) desa," kata Suharto kepada DW Indonesia.

Selain itu, setiap tahun pemerintah desa juga mengundang penyandang disabilitas untuk menghadiri Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Desa, forum rembuk warga desa untuk menggali potensi desa, menyelesaikan masalah-masalah desa, dan merumuskan anggaran dan kegiatan tahunan desa.

Permudah ketersediaan data penyandang disabilitas

Selain berpartisipasi dalam setiap kegiatan di desa, informasi terkait warga penyandang disabilitas dapat diperoleh dengan mudah karena mereka betul-betul didata oleh pengurus desa. Pendataan ini, menurut Suharto, masih jarang terjadi di desa-desa lain.

"Data mengenai warga difabel biasanya dari atas (pemerintah pusat). Padahal, warga difabel 'kan warga desa. Agak ironi jika data tentang mereka itu dari atas karena yang tahu persis warga difabel itu pemerintah desa," ujarnya.

Suharto menambahkan, pemerintah desa juga menyediakan layanan jemput bola bagi warga penyandang disabilitas tertentu seperti orang dengan gangguan jiwa (ODGJ). Untuk membuat Kartu Tanda Penduduk (KTP), misalnya, mereka tidak perlu datang ke kantor Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) karena akan ada petugas Dukcapil yang akan datang ke desa, bahkan rumah mereka.

"ODGJ bisa punya KTP. Padahal selama ini mereka tidak punya. KTP ini penting agar mereka bisa mengakses layanan-layanan yang lain," kata Suharto.

Aksesibilitas di ruang publik

Di desa inklusi, organisasi-organisasi yang dibentuk oleh warga penyandang disabilitas, seperti Kelompok Difabel Desa (KDD), diposisikan sejajar dengan organisasi masyarakat lainnya seperti Karang Taruna dan Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Mereka juga mendapatkan anggaran dari pemerintah untuk berorganisasi dan membiayai kegiatan pemberdayaan.

Pemerintah desa juga membantu kelompok penyandang disabilitas untuk berwirausaha dengan membuatkan angkringan dan toko kelontong, ujar Suharto.

Aksesibilitas tempat publik bagi warga penyandang disabilitas juga dijamin. Ramp atau bidang miring, misalnya, disediakan di puskesmas dan balai desa untuk pengguna kursi roda.

Di beberapa desa inklusi, termasuk desa Wahyuharjo di Kulon Progo, kelompok penyandang disabilitas ditunjuk sebagai pengelola E-warong, sistem yang pemerintah pusat buat untuk menyalurkan Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) secara efisien kepada warga miskin.

"Mereka bertugas mendistribusikan paket sembako untuk penerima manfaat," kata Suharto. "Ini contoh praktik baik yang menunjukkan bagaimana pemerintah desa dan kabupaten memberikan kesempatan yang lebih luas kepada kelompok difabel untuk terlibat dalam berbagai kegiatan masyarakat." (ae)