1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mantan Aktivis Filipina Turun Gunung Lawan Putra Diktatur

26 Februari 2022

Ketika Filipina mengenang 36 tahun jatuhnya Ferdinand Marcos, Jumat (25/02), mantan aktivis dan keluarga korban mewaspadai peluang kembalinya keluarga sang diktatur ke puncak kekuasaan dalam pemilu mendatang.

https://p.dw.com/p/47bcq
Mantan aktivis Revolusi 1986 berdemonstrasi menentang pencalonan Ferdinand Marcos Jr.
Mantan aktivis Revolusi 1986 berdemonstrasi menentang pencalonan Ferdinand Marcos Jr.Foto: Aaron Favila/AP Photo/picture alliance

Kenangan revolusi "People Power” yang menggerakkan jutaan warga Filipina buat menjungkalkan diktatur Ferdinand Marcos, 36 tahun silam, menyisakan rasa getir bagi Loretta Rosales. Mantan aktivis itu pernah ditahan dan mengalami penyiksaan di tangan aparat keamanan.

Karena kini roda kembali berputar.

Euforia kebangkitan demokrasi di Asia belakangan banyak memudar oleh tren otoritarianisme yang melanda di banyak negara. Di ujung masa pemerintahan Presiden Rodrigo Duterte, mayoritas pemilih di FIlipina diprediksi mendukung putra bekas diktatur, Marcos Junior, dalam pemilu kepresidenan, 9 Mei nanti.

Popularitasnya itu "merupakan teka teki yang memuakkan buat saya,” kata Rosales, yang kendati berusia 82 tahun masih aktif mengampanyekan demokrasi. Ketakutan terbesarnya adalah bahwa Marcos Jr. akan berusaha membalikkan sejarah demi membersihkan nama sang ayah.

Ferdinand "Bongbong" Marcos Junior
Kandidat favorit pilpres Filipina, Ferdinand "Bongbong" Marcos JuniorFoto: Ryan Eduard Benaid/NurPhoto/picture alliance

Rosales termasuk korban pelanggaran HAM yang menandatangani petisi meminta Komisi Pemilihan Umum membatalkan pencalonan Marcos Jr. Selain berstatus mantan terpidana lantaran kasus penggelapan pajak, dia juga memiliki "kelainan moral” dan sebabnya tidak layak mengemban jabatan presiden.

Petisi tersebut akhirnya ditolak. "Sejarah sedang berulang,”kata Rosales. "Ini adalah babak kedua, kekuasaan keluarga Marcos."

Trauma generasi lama

Pada Jumat (25/02), ribuan penduduk berkumpul di Monumen Lakas ng Bayan di Manila yang menjadi pusat demonstrasi anti-Marcos pada Februari 1986. Kebanyakan berasal dari generasi lama yang menjadi saksi kebrutalan rezim Marcos. 

Mereka bersumpah akan menghalangi kembalinya keluarga Marcos ke Istana Malacanang. "Tidak lagi, tidak lupa, tidak lagi!” teriak mereka merujuk pada klaim Marcos Jr. bahwa masa kekuasaan ayahnya merupakan "tahun keemasan” bagi Filipina.

Demonstran membakar foto Ferdinand Marcos selama revolusi rakyat pada Februari 1986
Demonstran membakar foto Ferdinand Marcos selama revolusi rakyat pada Februari 1986Foto: AP

Para mantan aktivis mengatakan era kediktaturan Marcos sebagai "masa paling gelap dalam sejarah Filipina.” Ribuan orang tercatat menghilang, dibunuh, disiksa atau ditahan tanpa pengadilan, ketika keluarganya menjarahi kas negara.

Salah satunya adalah gaya hidup mewah dan boros oleh bekas ibu negara, Imelda Marcos, yang dikenal memiliki 3.000 pasang sepatu dan koleksi perhiasan mewah. 

"Sirkus kebohongan, penipuan dan penghinaan ini harus dihentikan sekarang juga,” tuntut Selda, sebuah organisasi yang mengadvokasi korban pelanggaran HAM di era Marcos.

"Kami tidak pernah melupakan kejahatan tak terhitung oleh rezim Marcos,” tulis mereka dalam sebuah keterangan pers, Jumat (25/02). "Justru saat ini, kami, sebagai penyintas kegelapan rezim Marcos, akan bersama rakyat Filipina dalam perjuangan ini untuk mencegah ambisi Marcos untuk rehabilitasi politik.”

"Kita pernah menjatuhkan mereka dari kekuasaan, dan kita tidak boleh membiarkan mereka kembali. Tidak lagi!” 

rzn/ts (ap, afp)