1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Malta Juara Hak LGBTQ+ di Eropa, Rusia di Posisi Buncit

Bernd Riegert
17 Mei 2024

Di mana kaum LGBTQ+ menikmati perlindungan di Eropa? Seberapa aman kehidupan mereka? Peta pelangi yang dirilis badan HAM Uni Eropa merangkum kesetaraan gender di penjuru benua.

https://p.dw.com/p/4fzp3
Christopher Street Day di Berlin
Festival Christopher Street Day di BerlinFoto: Jörg Carstensen/dpa/picture alliance

Menyambut hari dunia melawan homofobia, transfobia, interfobia dan bifobia pada 17 Mei, organisasi lobi LGBTQ+ Eropa, ILGA, merilis peta pelangi yang menandakan status minoritas seksual di Eropa.

LGBTQ+ adalah akronim untuk kelompok lesbian, homoseksual, biseksual, transgender, queer dan manusia interseksual lain. Pemeringkatan ditentukan berdasarkan katalog kriteria yang luas dan mencakup kesetaraan gender, perlindungan terhadap kejahatan rasial dan diskriminasi, inklusi dalam kegiatan sosial, serta hak untuk menentukan identitas gender.

Tauladan kesetaraan

Menurut ILGA, Malta mengulang prestasi di tahun-tahun sebelumnya dan mendarat di posisi teratas dengan 88 dari 100 poin. Islandia menyusul di posisi kedua tahun ini dengan 83 poin.

Kelompok teratas di Uni Eropa meliputi Belgia, Luksemburg, Spanyol, Denmark, Finlandia dan Yunani, masing-masing dengan lebih dari 70 poin. Secara umum, semakin jauh ke utara dan barat di Eropa, semakin baik pula hak-hak LGBTQ+ ditegakkan.

Adapun negara Eropa dengan tingkat kesetaraan paling rendah dicatatkan oleh Rusia, Azerbaijan dan Turki. Di Uni Eropa, Polandia menempati posisi terakhir dengan 17 poin setelah sepuluh tahun pemerintahan partai nasional-konservatif PiS.

Alegra Wolter: Dokter Transpuan Pertama di Indonesia

Kemunduran

Hak minoritas seksual di Italia juga melemah di bawah pemerintahan koalisi ekstrem kanan bersama Partai Fratelli, Lega dan Forza. Selama bertahun-tahun, Italia berada di urutan ketiga terbawah untuk negara-negara Uni Eropa, karena ketatnya ketentuan hukum mengenai peran orang tua, hak adopsi dan pernikahan bagi semua, kata Katrin Hugendubel, direktur kebijakan hukum di ILGA.

Pemerintahan Perdana Menteri Giorgia Meloni menggunakan celah hukum di dalam konstitusi untuk menegakkan konsep rumah tangga konservatif dengan orang tua berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. "Hukum sangat penting untuk melindungi minoritas seksual dari perubahan haluan politik. Dan saat ini kita tidak melihat banyak kemajuan,” ujarnya dalam wawancara dengan DW.

Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!

Kemajuan

Secara keseluruhan, menurut Hugendubel, peringkat negara-negara Eropa hampir tidak berubah karena minimnya inisiatif baru untuk memperkuat hak minoritas seksual di dalam konstitusi. Pengecualian terjadi di Jerman yang sudah mengesahkan undang-undang tentang penentuan nasib sendiri atas identitas gender. Kemerdekaan menentukan identitas seksual saat ini hanya dijamin di sebelas dari 49 negara Eropa yang diteliti.

"Meskipun beberapa negara, termasuk Jerman, telah mencapai kemajuan, di banyak negara lainnya terjadi stagnasi, yang berarti tidak ada undang-undang baru yang disahkan,” kata Hugendubel. "Hal ini sangat berbahaya ketika gelombang kebencian dan kekerasan meningkat, dan pemerintahan konservatif berupaya melemahkan hak asasi manusia, khususnya bagi kelompok LGBTQ+.”

Visibilitas datangkan permusuhan

Pada hari melawan homofovia, Badan Hak Asasi Manusia Uni Eropa, FRA, merilis sebuah studi komprehensif,  tentang bagaimana kaum queer memandang kesetaraan. Sebanyak 100.000 responden di seluruh Eropa ikut serta dalam survei online tersebut. Hasilnya, kelompok LGBTQ+ kini bersikap lebih terbuka tentang identitasnya. Tema ini sekarang lebih sering dibahas di sekolah-sekolah dibandingkan lima tahun yang lalu, menurut FRA.

German lawmakers back law easing gender choice

Namun demikian, pada saat yang sama, diskriminasi, intimidasi dan ujaran kebencian semakin sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari, kata para responden. Lebih dari sepersuluh kaum LGBTQ+ di Eropa mengaku pernah menjadi korban tindak kekerasan. Jumlahnya sedikit berkurang dibandingkan lima tahun lalu.

"Kami melihat keterbukaan meningkat. Kelompok LGBTQ+ lebih menunjukkan siapa dirinya. Mereka menuntut lebih banyak partisipasi dalam kehidupan sosial. Karena mereka lebih terlihat, terutama generasi muda, mereka juga lebih sering menjadi sasaran kekerasan dan pelecehan,” kata Miltos Pavlou, peneliti kepala dalam studi FRA.

Marak kebencian di internet

"Kami melihat adanya hubungan yang lebih besar di sini. Kebencian dan kekerasan bukan hanya terjadi pada kelompok LGBTQ+, namun berdampak secara luas secara online. Kami berharap Uni Eropa akan menggunakan instrumen hukum baru untuk memerangi hal ini dengan lebih efisien," kata Miltos Pavlou kepada DW .

Dalam risetnya, FRA tidak memberi peringkat kepada negara-negara Eropa. "Kami tidak menuduh satu negara, karena masalahnya terjadi di semua negara, seperti intimidasi di sekolah. Selain itu, tingkat pelaporan kejahatan rasial dan diskriminasi di setiap negara sangat bervariasi.

Katrin Hugendubel dari asosiasi LGBTQ+ ILGA juga merujuk pada kerangka hukum di suatu negara, realitas sosial, dan penerimaan masyarakat tidak selalu sama. Di Hongaria yang secara hukum sangat ketat dan bertengger di peringkat ke-30, pemerintahan konservatif di Budpest menolak hak menikah bagi homoseksual, meski sebenarnya didukung oleh lebih dari separuh warga, menurut sebuah survei.

rzn/yf