1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialJerman

Kisah Sukses dengan Profesi Tukang Daging di Jerman

Marjory Linardy
11 Februari 2023

Kalau orang giat, di manapun bisa sukses. Begitu kata Hayati Ginting, yang dulu tidak bercita-cita menjadi tukang daging. Tapi ternyata kesenangannya bekerja dengan tangan jadi kunci kesuksesannya di Jerman.

https://p.dw.com/p/4NKyn
Hayati Ginting | eine Indonesierin in Bayern
Hayati GintingFoto: Privat

Hayati Ginting lahir di kabupaten Karo, Sumatra Utara. Dulu waktu masih di Indonesia, dia pernah belajar bahasa Jerman, sampai dapat sertifikat A1. Setelah itu dia bertolak ke Jerman tahun 2016.  Dia bercerita, dia punya keluarga di Jerman. Di dekat kota München di Jerman selatan, dia melanjutkan belajar bahasa Jerman hingga taraf B2.

Perusahaan tempat dia bekerja pertama kali di Jerman adalah sebuah perusahaan pengolahan daging, di kota Pfaffenhofen di Jerman Selatan. Dia bercerita bahwa dia senang bekerja di sana. Tetapi perusahaan itu adalah perusahaan keluarga. Sehingga jika ingin melangkah semakin tinggi dan membangun karir, dia harus pindah ke perusahaan lain. Untuk itu dia melamar pekerjaan di sebuah rantai ritel bernama EDEKA, yang tersebar di seluruh Jerman.

Di sana, dia dalam waktu lumayan cepat naik ke posisi sebagai Abteilungsleiter, atau kepala bagian. Dan area tanggungjawabnya tidak jauh-jauh dari bagian daging, walaupun sekarang lebih luas. Dia bercerita, dia juga yang bertanggungjawab untuk bagian sosis, keju dan ikan. Baik yang bisa diambil sendiri oleh pelanggan dari lemari-lemari pendingin, maupun yang dipotong dan dibeli per kilo di konter makanan segar. Di supermarket Jerman, bagian daging segar biasanya juga mencakup berbagai makanan pelengkap yang dimakan dingin. Misalnya buah zaitun dan makanan lain yang sudah diberikan bumbu tertentu. Itu juga termasuk area tanggung jawab Hayati.

Jalan panjang ke negeri orang

Hayati bercerita, sejak dulu dia memang punya bibi di Jerman. Tapi dia tidak pernah membicarakan soal Jerman, atau pergi ke Jerman dengan bibinya. Bahkan ketika tamat SMA dia berniat untuk berkuliah di Kabanjahe, Sumatera Utara. Tetapi dia juga sadar, bahwa bagi orang tuanya membayar kuliah untuk dua orang anak tidak mudah, sementara abangnya ketika itu sudah mulai berkuliah di sana.

Hayati Ginting | eine Indonesierin in Bayern
Hayati GintingFoto: Privat

Di lain pihak, saudaranya yang di Jerman pernah bercerita bahwa di Jerman tidak perlu bayar uang kuliah. Karena itu, Hayati mulai belajar bahasa Jerman hingga ujian taraf dasar A1 di Jakarta. Tetapi mengurus visa untuk berkuliah di Jerman ternyata tidak mudah. Segala macam berkas harus lengkap terlebih dahulu, sehingga dia mengubah rencana, dan mengurus visa untuk kursus bahasa  di Jerman.

Tapi menunggu visa itu pun perlu waktu sangat lama, sehingga dia sempat memutuskan untuk  batal pergi ke Jerman. Waktu itu dia juga sudah mulai bekerja di Jakarta. Ketika akan pergi ke Kalimantan untuk meningkatkan karirnya, tiba-tiba visa untuk ke Jerman keluar, setelah sekitar delapan bulan.

“Aku sebetulnya bukan benar-benar niat ke Jerman,“ kata Hayati dan menambahkan, “apalagi kan lima-enam tahun lalu untuk komunikasi di daerah ini belum banyak orang Indonesia. Kalau sekarang kan udah banyak, apalagi orang Batak,“ kata Hayati sambil tertawa. Jadi dulu dia belum punya banyak kenalan, sehingga agak ragu untuk pergi ke Jerman. “Aku mikirnya dulu, sukses di mana pun bisa. Yang penting giat.“

Ketika akhirnya tiba di Jerman, dia mulai kursus bahasa, sambil bekerja menjaga anak seperti mereka yang menjadi au pair, di rumah keluarga orang Indonesia. Pagi hari dia bekerja mengurus anak keluarga itu, kemudian pergi kursus bahasa Jerman. Setelah itu, di sore hari, kembali bekerja mengurus anak dan rumah. Untuk itu dia mendapat uang jajan. Di akhir minggu, dia melewatkan waktunya di rumah saudaranya.

Ketika hampir selesai kursus bahasa Jerman, Hayati mulai memikirkan langkah berikutnya. Sebetulnya awalnya, dia datang ke Jerman untuk berkuliah. Tetapi walaupun untuk berkuliah tidak dipungut biaya, untuk hidup di Jerman tentu perlu biaya, misalnya untuk makan dan tempat tinggal. Dia bercerita, tidak mungkin meminta sokongan dari orang tuannya. Sehingga akhirnya dia memutuskan untuk mengikuti Ausbildung, atau pendidikan keterampilan untuk profesi tertentu di Jerman.

Jadi tukang daging di negeri orang

Kebetulan sekali, jika berada di rumah bibinya, dia sering membantu suami bibinya mengerjakan kerajinan dan pekerjaan tangan. Sehingga pamannya itu mengusulkan dia mengambil Ausbildung di bidang Handwerk, yaitu pekerjaan yang banyak menggunakan tangan.

Ketika mencari tempat untuk mengikuti Ausbildung, dia sudah pergi ke EDEKA, untuk mencari kemungkinan di sana. Tetapi rantai ritel itu butuh orang untuk menjadi Verkäufer, atau penjual. Akhirnya Hayati menemukan tempat yang tepat di sebuah Metzgerei, atau perusahaan pengolah daging bernama Krammer di kota Pfaffenhofen.

Hayati Ginting | eine Indonesierin in Bayern
Hayati Ginting ketika menikmati hari liburFoto: Privat

Di sana awalnya dia magang, dan hanya beberapa hari. “Waktu ditanya apa suka atau tidak, kan yang penting dapat job, jadi ya udah di-iya-in,“ cerita Hayati sambil tertawa. “Ya udah, abis itu dibikinin Vertrag [kontrak]“

Pendidikan untuk menjadi seorang Metzger atau tukang daging, berlangsung tiga tahun. Setelah selesai, Hayati masih bekerja dua tahun lagi di perusahaan Krammer, hingga pertengahan tahun 2022. Mengingat perusahaan itu adalah perusahaan keluarga, Hayati sadar bahwa dia tidak akan mungkin menduduki posisi yang lebih tinggi. Dan mengingat dia sendiri ingin berkembang lebih jauh lagi, dia mulai mencari pekerjaan di tempat lain.

Hayati menjelaskan memang ada perusahaan pengolahan daging yang punya penjagalan sendiri. Tetapi mengingat syarat kebersihan yang harus dipenuhi di Jerman sangat banyak, tidak semua perusahaan punya penjagalan sendiri, melainkan hanya yang besar-besar saja, mengingat ongkos yang harus dikeluarkan juga sangat banyak.

“Jadi biasanya Metzgerei itu beli daging dari peternak, lalu peternak mengirimkan hewannya ke Schlachthof [penjagalan], yang biasanya berlokasi di kota-kota besar, seperti München atau Ingolstadt,“ begitu dijelaskan Hayati. Daging dari hewan kemudian diolah tukang daging untuk menjadi sosis atau steak atau keju, dan sebagainya. Dia bercerita, ketika masih sangat banyak mengerjakan berbagai produk dari daging, dia sendiri jadi jarang mengkonsumsi daging.

Walaupun sebenarnya tidak bercita-cita jadi tukang daging, dia melakukan pekerjaan itu dengan sepenuh hati, begitu tutur Hayati. “Karena kita kan bersyukur sama tempat kerja kita. Jadi lama-kelamaan kita menyukai pekerjaan kita.“ Dia mengatakan, kebetulan pula, atasannya, yaitu pemilik perusahaan, baik ayah, anak dan anggota keluarga lainnya sangat baik kepada pekerja mereka.

Hayati bercerita, memang kadang ada saja cara bicara orang Jerman yang bagi orang Indonesia bisa terasa menyakitkan. Tetapi mereka tidak bermaksud untuk menyakitkan orang lain, cara mereka bicara memang direkt  atau langsung, kata Hayati. “Dan kadang kalau tidak langsung, mungkin kita jadinya juga tidak belajar dari kesalahan kita,“ demikian diutarakan Hayati.

Ketika di tahun pertama Ausbildung dia mengatakan merasa seperti Putzfrau atau tukang bersih-bersih, karena dia merasa disuruh-suruh dan tidak belajar banyak. Tapi mulai tahun kedua dia bertekad tabah dan berusaha secara aktif untuk bertanya kepada pekerja lainnya. Karena menurut Hayati, memang begitulah jika melakukan Ausbildung. Orang dianggap seperti pekerja lainnya. Jadi jika tidak tahu, harus mencari tahu sendiri.   

Ganti tempat kerja dan “naik pangkat“

Sejak pertengahan 2022 Hayati bekerja di sebuah rantai supermarket Jerman bernama EDEKA. Tempat kerjanya sekarang juga masih di negara bagian Bayern, tetapi di kota lain. Di tempat kerja baru, dia menjadi Abteilungsleiter atau kepala bagian. Ketika ditanya apakah dia lebih suka pekerjaannya yang sekarang, dia menjawab tidak bisa dibilang begitu juga.

“Kalau dari segi pendapatan, memang sekarang lebih baik,“ kata Hayati, “tapi kalau masalah kolegial dan pekerjaan sehari-hari, sebetulnya di Krammer lebih enak.“ Alasannya, sekarang sebagai atasan, dia kadang merasa bawahannya tidak suka dengan dia. “Mungkin aku udah belajar dari orang Jerman, kali ya, jadi aku Perfektionist [perfeksionis],“ kata Hayati sambil tertawa.

Sejumlah produk sosis yang dijual di sebuah supermarket di Jerman
Sejumlah produk sosis yang dijual di sebuah supermarket di JermanFoto: picture alliance/dpa

Selain itu, dia masih berusia muda, sedangkan di EDEKA banyak sekali orang-orang yang sudah bekerja di sana puluhan tahun. Lagi pula, dia menjadi bos dan bertugas memantau pekerjaan orang lain, sementara mereka bahkan tidak diangkat menjadi wakil bos. Begitu dijelaskan Hayati.

Sebaliknya di Krammer, semua orang rasanya setara. Jika dia datang di pagi hari, mereka masih sempat bercanda terlebih dahulu. Ketika bekerja, mereka juga masih bisa tertawa. “Jadi kalau masalah kolega dan Arbeitsklima [iklim kerja] di Krammer memang top,“ kata Hayati.

Ketika ditanya bagaimana caranya bisa langsung jadi bos, Hayati tertawa dan mengatakan, “Sebenarnya, ya keberanian, ya.“ Karena dia sama sekali tidak punya pengalaman kerja dalam hal jenjang administrasi perusahaan. Dan orang-orang yang merintis karir dalam administrasi biasanya sudah berusia akhir 30-an atau 40-an ketika mendapat posisi yang diduduki Hayati sekarang.

Membuktikan kemampuan dengan kerja keras

Dia bercerita, awal 2022 dia mengirimkan tiga lamaran. Karena merasa tidak mampu menyusun kalimat dan kata-kata yang berbunga-bunga, dia membayar orang untuk menulis surat lamaran pekerjaan. Sedikit pengalaman sebagai penjual juga sudah dia miliki, yaitu ketika melakukan Nebenjob [pekerjaan sampingan] di tempat pengolahan daging.

Waktu itu, atasannya juga pernah bertanya, apakah Hayati bersedia untuk menjadi Vertretung atau pengganti sementara. “Itu jadi seperti pemberaniannya,“ kata Hayati, “ada yang percayakan aku dengan große Verantwortung [tanggung jawab besar].“ Selain itu, Arbeitszeugnis atau sertifikat yang diberikan atasan di akhir masa kerja seseorang, yang dia peroleh dari Krammer sangat bagus, kata Hayati.

“Memang ketika diwawancara ditakut-takuti,“ kata Hayati, karena dia belum punya pengalaman. Sebagai jawabannya, Hayati menawarkan, bahwa dia bersedia hanya dibayar sebanyak seperti di pekerjaannya sebelumnya selama Probezeit, atau masa percobaan. Dan dia akan menunjukkan kemampuannya. Nanti gaji yang penuh baru dibayar setelah masa percobaan berakhir.

Hayati kemudian bekerja keras untuk membuktikan kemampuannya. Dia bercerita, kadang dia mulai bekerja jam 4:30 pagi, dan baru berada di rumah lagi pukul 5 sore. Dan kerja kerasnya memang berhasil. November 2022 lalu, dia resmi menjadi kepala bagian.

Menghadapi hidup sehari-hari di negeri orang

Hayati bercerita, tantangan terbesar yang dia rasakan selama ini di Jerman adalah ketika pindah dari tempat tinggal pertamanya untuk tinggal sendirian. Ketika itu dia merasa kesepian karena tidak mengenal satu orangpun untuk berkomunikasi. Sedangkan keluarganya jauh di kampung halaman, dan dia tidak bisa pulang. Sekarang, jika menengok kembali situasinya dulu, dia menyarankan bagi orang Indonesia yang ingin tinggal di Jerman, untuk tetap berusaha dan lebih berani membangun kontak dengan orang Jerman, atau orang lain yang ditemui di Jerman. 

Hayati Ginting | eine Indonesierin in Bayern
Hayati Ginting saat berwisataFoto: Privat

Sekarang dia sudah lebih mandiri. “Aku sekarang udah punya mobil sendiri,“ katanya sambil tertawa. Dan mengingat dia bekerja di toko ritel, seharian dia bertemu dan berbicara dengan orang lain. Jika sudah berada di rumah lagi, dia lebih suka sendirian dan butuh ketenangan.

Dia bercerita, akibat perang di Ukraina, semua harga-harga naik akibat inflasi, tapi dia tidak terlalu merasa takut. “Kalau dingin bisa pakai baju berlapis-lapis,“ kata Hayati sambil tertawa. Namun memang Nebenkosten, atau ongkos tinggal sampingan yang harus dia bayar, seperti air, pemanas ruangan dan listrik, sudah naik dari 200 Euro menjadi 400 Euro. Berkaitan dengan itu, salah satu keuntungan yang dia rasakan dari hidup di Jerman adalah, dia belajar untuk berhemat.

Dia bercerita pula, Krammer, perusahaan tempat dia bekerja dulu, juga menerima pengungsi Ukraina yang mereka coba sokong dengan pekerjaan dan bantuan lain. Namun kendala bahasa memang sering jadi masalah dalam hidup sehari-hari. Dia bercerita, orang Jerman kerap berbicara tambah keras, jika orang asing yang mereka hadapi tidak bisa berbicara bahasa Jerman dengan lancar.

Berkaitan dengan itu, dia berharap di manapun dia berada, bersama orang-orang yang dia temui, agar bisa saling bersikap ramah, lebih sabar, jangan kasar satu sama lain, jangan agresif. “Karena kita kan sama-sama ga tau, orang lain mungkin ada masalah di rumah, bertengkar dengan orang tua, atau masalah apapun,“ katanya.

Di lain pihak, di Jerman dia jadi jauh lebih percaya diri. Selain itu, dia juga belajar untuk mengatakan sesuatu secara terus terang, apa adanya, juga kepada keluarganya. Dia merasa lebih bisa mengutarakan pendapatnya. “Kalau di Indonesia kan kita seperti sembunyi-sembunyi. Kalau di Jerman, wenn es nicht in Ordnung ist, dann ist es nicht in Ordnung.“ Kalau tidak beres, ya tidak beres. (ml/hp)