1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Kenapa Australia Pertaruhkan Indonesia demi Yerusalem?

14 November 2018

Australia bersikeras tidak ingin didikte Indonesia soal isu Yerusalem dan siap menunda penandatangan perjanjian dagang seperti yang diisyaratkan Jakarta. PM Scott Morrison memiliki alasan khusus atas manuvernya tersebut.

https://p.dw.com/p/38Cu0
ASEAN-Gipfel Treffen zwischen Scott Morrison und Joko Widodo
Foto: Laily Rachev/Biro Pers Setpres

Jawaban yang dicari Scott Morrison ditunjukkan Presiden Joko Widodo saat pertemuan keduanya di sela-sela KTT ASEAN. Perdana menteri Australia itu memimpin delegasi menuju Singapura, antara lain untuk meratifikasi perjanjian dagang dengan Indonesia. Namun rencananya memindahkan kedutaan besar di Israel ke Yerusalem memicu geram Istana Negara.

Indonesia lalu mengisyaratkan enggan menandatangani perjanjian jika Canberra mengakui Yerusalem sebagai ibukota Israel

Pertemuan itu pun berlangsung "dingin," klaim sejumlah diplomat kepada situs berita Australia, 9News. Ini adalah kali pertama kedua kepala negara bertemu sejak Morrison mengungkapkan niatnya tersebut.

Meski demikian PM Morrison bersikeras tidak ingin didikte dalam menyusun kebijakan luar negeri Australia. Kepada Jokowi dia mengaku sudah menegaskan "isu kepindahaan kedutaan tidak berhubungan dengan perdagangan kedua negara."

Bekas Menteri Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan di era PM Tony Abott itu juga menjelaskan "proses politik di pemerintahan, di mana kami mencoba menemukan posisi" terkait Yerusalem.

"Perspektif apapun yang Anda miliki dalam isu ini, ada rasa frustasi yang menjalar tentang apa yang terjadi (di Palestina) dan frustasi karena minimnya kemajuan dalam hal ini. Dan kita semua ingin melihat kemajuan," kata dia kepada awak media seperti dikutip The Guardian. "Jadi inilah yang memotivasi kami."

Sikap Indonesia mengaitkan ratifikasi perjanjian dagang dengan isu Yerusalem mengundang kecaman dari sejumlah politisi Australia. Morrison yang mendapat hujan kritik oposisi lantaran niatnya itu, mendapat dukungan dari politisi kanan, antara lain Eric Abetz, Senator liberal dari Tazmania.

Baca juga:Australia "Tidak Terburu-buru" Ratifikasi Perjanjian Dagang Indonesia

"Jika Indonesia benar-benar ingin mendikte kebijakan luar negeri Australia di Timur Tengah, haruskah kita mengkaji ulang dana bantuan senilai 360 juta Dolar AUS yang kita berikan setiap tahun? Sebaliknya, bagaimana jika kita dengan tenang meratifikasi FTA yang akan menangkat banyak penduduk Indonesia dari kemiskinan dan membantu petani Australia?" tulisnya di Twitter.

Oleh kelompok oposisi Morrison dituding memainkan isu Yerusalem untuk merebut suara penduduk keturunan Yahudi dalam pemilu sela di Wentworth, 20 Oktober. Kawasan pemukiman di timur Sydney itu sejak 1901 merupakan benteng suara Partai Liberal. Namun kursi legsilatif yang kosong ditinggalkan bekas PM Malcolm Turnbull itu kini direbut oleh kandidat independen.

Baca juga: Soal Yerusalem, Indonesia Berniat Tunda Ratifikasi Perjanjian Dagang Australia

Tidak heran jika manuver politik Morrison dikritik kelompok oposisi. Penelope Wong, politisi Partai Buruh Australia, menuding perdana menteri mengaitkan kebijakan luar negeri dengan hasil pemilu, "Apa yang Anda lakukan adalah Anda mempertaruhkan kepentingan nasional untuk mendapat suara di Wentworth," ujarnya dalam pidato di parlemen, Selasa (14/11), seperti dilansir The Guardian.

"Lebih parah lagi, kita sekarang menyaksikan keputusan buruk dibuat melalui perpecahan pahit di tubuh Partai Liberal."

Jokowi yang menghadapi pemilu kepresidenan pada 17 April 2019 mungkin bisa berkaca pada Morrison. Bersama Ma'ruf Amin, dia pun mencoba memanfaatkan isu Palestina untuk kepentingan pemilu. Jokowi diyakini khawatir kebijakan Australia bisa membuahkan serangan politik di dalam negeri.

Mungkin sebab itu pula PM Australia mengklaim Jokowi memahami penjelasannya terkait dinamika politik seputar isu Yerusalem. "Saya tahu (penjelasan) saya diterima dengan baik," kata sang perdana menteri.

rzn/hp (9news, theguardian, abc)