1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
SosialIndonesia

Jakarta Sayang Sekaligus Malang

Indonesien  | Farida Indriastuti -  Blogger
Farida Indriastuti
9 Oktober 2021

September 2021, Jakarta kembali masuk dalam daftar Kota Paling Stres untuk Mengemudi di Dunia. Sebelumnya, Tata Kota Terburuk di Dunia! Harus dibagaimanakan lagi kota ini? Simak opini Farida Indriastuti.

https://p.dw.com/p/4184n
Jakarta, padat penduduk, polusi tinggi dan kerap macet
Ibu kota JakartaFoto: Farida Indriastuti

Tidak heran, jika Jakarta sebagai ibu kota negara Indonesia masuk dalam daftar Tata Kota Terburuk di Dunia versi situs arsitek global, Rethinking The Future (RTF) pada Agustus 2021. Bahkan pada September 2021, Jakarta kembali masuk dalam daftar Kota Paling Stres untuk Mengemudi di Dunia versi Hiyacar, platform car-sharing asal Inggris.

Jakarta memang layak menerima predikat itu, sebagai kota yang padat penduduk, lalu lintas macet, diselimuti asap polusi udara, serta terancam tenggelam dengan air yang tercemar. Terbukti, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mengabulkan gugatan warga Jakarta atas pencemaran udara pada 16 September 2021. Presiden RI dan Gubernur DKI Jakarta kalah!

Langit biru Jakarta hanya muncul saat penguncian wilayah atau PSPB yang kini berganti nama PPKM di bulan Mei hingga Juli 2020, karena pergerakan manusia dibatasi, begitu juga penggunaan mobil dan sepeda motor. Setelah itu, langit Jakarta kembali kelabu dan suram. Sebagai warga Jakarta, saya bertanya di benak, bagaimana cara pemerintah Jakarta menata ulang kotanya?

Tidak dapat dimungkiri, penataan pedestrian semakin lebar dan ramah bagi pejalan kaki, revitalisasi JPO yang apik, penataan kawasan Senen, Kota Tua dijadikan zona bebas emisi karbon dan lainnya. Moda transportasi publik seperti CL, BRT Transjakarta, MRT, LRT juga semakin terintegrasi, meskipun belum semua wilayah. Pada Februari 2021, Jakarta memenangi ajang Sustainable Transport Award 2021, yaitu perhelatan yang diadakan oleh Institute for Transportation & Development Policy.

Tapi cukupkah semua itu?

Jika melihat polusi udara tidak berubah dari hari ke hari. Saya tinggal di perbatasan Jakarta Pusat, dari ketinggian lantai 23 apartemen, saya terus menyaksikan kelabunya udara Jakarta. Seharusnya saya dapat memandang dua gunung dari kejauhan. Lantas apa yang ditawarkan oleh pemerintah Jakarta untuk membebaskan udara dari polusi? Raung knalpot kendaraan bermotor yang berasap dan suara deru mobil, terus saya dengar setiap hari dari balkon apartemen. Selama setahun saya mengonsumsi obat alergi, karena buruknya kualitas udara Jakarta. Kulit bentol-bentol, memerah, nyaris sekujur tubuh. Rasa gatal pun tak tertahankan.

Jakarta dihuni oleh beragam kebudayaan, agama dan etnis-- namun dihimpit kawasan Industri dengan cerobong asap yang menghitam, dikepung pula kawasan industri di pinggiran wilayah penyangga. Asap yang dikeluarkan pabrik-pabrik diduga mencemari lingkungan Jakarta. Bahkan gas buang atau emisi melebihi ambang batas baku mutu, sehingga berpengaruh pada kualitas udara Jakarta. Di wilayah Jakarta sendiri ada 1.150 cerobong asap industri dari 114 pabrik. Belum lagi di wilayah penyangga yang jumlahnya lebih besar.

Jakarta terus menghadapi nestapa, prediksi Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada Agustus 2021, bahwa potensi Jakarta akan tenggelam dalam 10 tahun, tentu bukan isapan jempol. Kawasan Jakarta Utara, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, Jakarta Timur terus mengalami penurunan tanah. Banyak media dalam negeri dan luar negeri meliput "kiamat” Jakarta ini, tapi saya tidak menemukan solusi yang ditawarkan untuk mencegah Jakarta agar tidak terpuruk.

Demi menurunkan suhu udara panas yang berkisar 43–45 derajat celcius, warga dan pemerintah kotaKarachi, Pakistan, bersama-sama membuat hutan kota.

Nah, apa yang dilakukan pemerintah Jakarta?

Taman Rawasari di dekat hunian saya mangkrak, nyaris tidak terawat-- ditumbuhi semak-semak dan gundukan tanah. Meski terdapat dua arena permainan anak-anak. Jika pemerintah Jakarta peduli, taman kecil itu dibangun jogging track, bangku taman, ditanami rumput hijau, beragam tanaman bunga dan pohon-pohon pelindung.

Tidak mungkinkah menciptakan hutan kota di tanah reklamasi di Teluk Jakarta itu? Jakarta tidak harus dan terus membangun gedung-gedung pencakar langit. Bahkan negara-negara Eropa saja tidak dipenuhi gedung-gedung pencakar langit, tetapi memperhatikan estetika kota. Nah, saatnya Jakarta membuka ruang-ruang hijau dan diperbanyak lagi. Coba tengok, taman kota di Manggarai yang terkesan kumuh, tanpa penataan kawasan di tepi sungai Ciliwung di Manggarai-- kawasan itu akan selalu dicap dengan stigma buruk sebagai kawasan yang rutin tawuran warga.

Meski begitu, apresiasi harus diberikan kepada pemerintah Jakarta yang merevitalisasi taman-taman kota hingga kampung-kampung padat. Sebagai warga Jakarta, saya berharap kota ini berubah menjadi humanis dan ramah lingkungan. Bekas kanal-kanal Batavia yang diuruk tanah jadi daratan, serta berubah fungsi menjadi kampung padat di Jakarta Utara-- dapat dikembalikan fungsinya sebagai sungai. Warga kampung dapat dipindahkan, seperti halnya warga bantaran Sungai Ciliwung, warga Kampung Akuarium dan lainnya.

Saya ingat mendiang Romo Adoft J. Heuken, S.J., Pastor Katolik sekaligus pemerhati tata kota Jakarta selama lebih 50 tahun. Beliau mendedikasikan hidupnya untuk meneliti dan mencintai kota Jakarta. Romo Adolf Heuken pernah berujar, "Jika kamu tidak mengenal sejarah kotamu, kamu tidak akan bisa mencintai kotamu dengan sepenuh hati. Cuma bisa merusak dan mengotori.” Lelaki kelahiran Jerman itu kecewa menyaksikan bangunan-bangunan megah nan mewah di kawasan Menteng yang mengesankan norak, menyalahi kaidah lingkungan, estetika kota dan tidak artistik.

Jika Romo Adolf Heuken mencintai Jakarta dengan sepenuh hati, bahkan meninggal dunia sebagai warga Jakarta (WNI). Kenapa warga Jakarta tidak mengikuti jejak beliau, merawat nilai sejarah Jakarta dan bergerak untuk memikirkan Jakarta sebagai kampung besar di tengah Metropolitan. Bagaimana menyelamatkan Jakarta dari segala macam malapetaka; kemacetan, polusi, pencemaran air, penurunan air tanah, sampah, banjir dan lainnya. Apa yang bisa kita perbuat di lingkungan terkecil? Warga Jakarta juga menunggu kebijakan-kebijakan dari pemerintah DKI Jakarta yang melindungi hak hidup warga kota.

Penulis: @faridaindria,

Penulis dan pewarta foto, gemar keliling Indonesia untuk meneliti dan mendokumentasikan beragam aspek kehidupan.

 

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.

*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini dan turut berdiskusi di laman Facebook DW IndonesiaTerima kasih.