1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Globalisasi Berakhir, Dunia Sedang Menuju Deglobalisasi?

Sonya Angelica Diehn
7 April 2022

Krisis virus corona telah mengekspos ancaman saling ketergantungan ekonomi. Sekarang, perang di Ukraina memperuncing masalah globalisasi ekonomi. Apakah ini akan menjadi awal proses deglobalisasi?

https://p.dw.com/p/49Xfp
Pelabuhan peti kemas di Lianyungang, Cina
Pelabuhan peti kemas di Lianyungang, CinaFoto: Wang Chun/Costfoto/picture alliance

Para ahli biasanya menggambarkantiga jenis globalisasi: globalisasi ekonomi, sosial, dan politik. Globalisasi ekonomi adalah integrasi ekonomi dunia dalam hal perdagangan. Proses ini tentu memiliki pendukung dan pengkritiknya.

Globalisasi telah mengangkat orang keluar dari kemiskinan dan meningkatkan standar hidup mereka, kata para pendukung. Namun, manfaat globalisasi ekonomi tidak dibagikan secara merata, kata para pengkritik.

"Secara internasional dan juga dalam masyarakat industri, ketidaksetaraan justru telah meningkat," tegas Andreas Wirsching, profesor sejarah ekonomi di Universitas Ludwig-Maximilian di München. Globalisasi ekonomi telah menghasilkan "banyak pemenang, tetapi juga banyak pecundang — itu tidak dapat disangkal," katanya.

Kelemahan globalisasi juga mencakup konsekuensi sosial dan ekologi, tambah Cora Jungbluth, ekonom dan pakar senior di Yayasan Bertelsmann Stiftung. Pekerja di negara-negara berpenghasilan tinggi telah melihat pekerjaannya pindah ke negara-negara berbiaya lebih rendah, sementara "perusahaan multinasional telah mengalihdayakan langkah-langkah produksi yang lebih kotor ke negara-negara berkembang dan ambang perberkembangan, sehingga berkontribusi pada masalah lingkungan di sana."

Kalau globalisasi yang mencerminkan proses peningkatan saling ketergantungan ekonomi, maka deglobalisasi menandai mundurnya integrasi ekonomi global. Dan ada indikasi bahwa hal ini telah terjadi selama beberapa waktu sejak terjadinya resesi besar akhir tahun 2000-an.

Produk Domestik Bruto (PDB) global menurut data statistik mencapai puncaknya pada tahun 2008, awal resesi hebat. "Rasio ekspor terhadap PDB di seluruh dunia meningkat cukup signifikan pada 1990-an dan 2000-an. Namun, sejak krisis keuangan 2008 dan 2009, langkah-langkah itu mendatar atau turun," jelas Douglas Irwin, profesor ekonomi di Dartmouth College di AS.

Douglas Irwin dan pakar-pakar lainnya juga mencatat bahwa resesi besar kemudian diikuti oleh politik populisme dan kebijakan ekonomi yang proteksionis di berbagai negara.

Aksi protes antiglobalisasi di Roma, 30 Oktober 2021
Aksi protes antiglobalisasi di Roma, 30 Oktober 2021Foto: Luca Bruno/AP/picture alliance

Lalu datanglah pandemi

Secara ekonomi, dampak utama krisis virus corona adalah gangguan rantai pasokan, yang sempat menghentikan produksi di berbagai sektor industri. Gangguan tersebut telah mendorong perubahan mendasar dalam desain rantai pasokan indiustri, jelas Megan Greene, ekonom senior di Harvard Kennedy School.

"Pandemi telah menggeser tren dari manufaktur 'just-in-time' ke penyimpanan persediaan seperti dulu,” kata Megan Greene. Dia menggambarkan sistem kontingensi baru ini sebagai "rantai pasokan global plus rencana cadangan", sehingga perusahaan tidak dibiarkan dalam kesulitan ketika ada gangguan pada rantai pasokan global.

Dalam model "rantai pasokan plus" ini, negara dan perusahaan telah mempertimbangkan untuk memperpendek rantai pasokan: "Malah mungkin kembali ke metode lama, yaitu membawa produksi input utama dan teknologi lebih dekat lagi ke lokasi produksi mereka," jelas Cora Jungbluth.

Douglas Irwin menerangkan, gangguan ekspor akibat perang dan sanksi mengakibatkan kenaikan harga secara drastis. "Harga komoditas naik akibat dari perang: harga gandum, harga minyak … Itu semua membuat harga-harga bagi konsumen naik, yang pada gilirannya memicu inflasi."

Akhir dari globalisasi?

Beberapa ahli menilai perang di Ukraina dikombinasikan dengan dampak pandemi, adalah titik balik menuju deglobalisasi. Ekonom Megan Greene mengatakan, hingga kini belum ada indeks untuk mengukur globalisasi. Dia juga tidak setuju dengan narasi bahwa sudah terjadi regionalisasi rantai pasokan global, karena narasi ini tidak didukung oleh data survei tentang globalisasi.

Namun, bahkan Megan Greene juga mengakui, "Puncak globalisasi sudah ada di belakang kita, tetapi kita belum berada di wilayah deglobalisasi."

Jadi, apakah kita sekarang sedang menuju suatu era baru? Itu diskusi yang biasa terjadi di masa krisis, kata sejarawan Andreas Wirsching. "Anda dapat memikirkan dua momen ini: pandemi 2020 dan sekarang perang agresi pada 2022. Kita punya kesan seperti ada sesuatu yang berubah secara mendasar. Namun, apa sebenarnya yang sedang terjadi dan faktor apa saja yang berperan, itu hanya akan menjadi jelas di masa depan nanti," ujarnya.

(hp/ha)