1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Arsitektur

Diplomasi Perahu Pinisi

25 September 2019

Ada replika perahu pinisi yang kini menghiasi salah satu sudut gedung ITLOS, Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut di Hamburg, Jerman. Apa artinya bagi Indonesia?

https://p.dw.com/p/3QFVN
Hamburg Indonesischer Botschafter übergibt Nachbildung des Pinsi Schiffes
Foto: DW/T. Siregar

Jalan panjang harus dilakukan hingga akhirnya replika perahu khas Sulawesi Selatan, Pinisi dapat dipajang di salah satu bagian gedung International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS). Setahun lamanya hingga akhirnya perahu mini bernama ‘Maritim Jaya' itu mendapat tempat di ruang publik dari salah satu lembaga PBB tersebut. Meski ukurannya mini, perahu yang mendapat penghargaan dari UNESCO sebagai warisan budaya takbenda tahun 2017 tersebut juga dianggap merepresentasikan peran maritim Indonesia di perairan Internasional.

"Pada paruh melenium pertama, kapal dari Indonesia membawa sebagian besar arus perdagangan antara India dan Cina, yang menyediakan untuk seluruh Asia, baik kain maupun pala yang berasal dari pulau di bagian Timur Indonesia, Maluku. Pada milenium kedua, kapal dari Indonesia berdagang antara Afrika Timur, Arab, India dan Cina, dan terakhir di awal abad ke-15 telah berlayar di sekitar Tanjung Harapan sebelum Bartolomeu Dias," kata Safri Burhanuddin Deputi Bidang Koordinasi SDM, Iptek dan Budaya Maritim memaparkan peran maritim Indonesia dalam sejarah di hadapan sejumlah hakim Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut yang berkumpul Selasa (24/09). 

Peran Indonesia dalam dunia maritim juga diakui Presiden Mahkamah Internasional untuk Hukum Laut, khususnya dalam mempengaruhi Konvensi PBB tentang Hukum Laut atau United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS).

Hamburg Indonesischer Botschafter übergibt Nachbildung des Pinsi Schiffes
Replika Maritim Jaya yang diterima Presiden ITLOS Jin-Hyun Paik kini dapat dilihat di bagian ruang publik gedung Mahkamah Internasional untuk Hukum Laut di HamburgFoto: DW/T. Siregar

"Indonesia mempunya kontribusi yang besar dalam pembuatan konvensi hukum laut," kata Presiden ITLOS, Jin-Hyun Paik sesaat sebelum menerima perahu pinisi. Lebih lanjut di hadapan wartawan, ia menyebutkan, "Kami sangat berterima kasih kepada Indonesia yang mendukung pekerjaan kami, karena kami mempertimbangkan Indonesia sebagai negara pelopor dan yang penting untuk kami," kata hakim asal Korea Selatan itu. 

13 Desember 1957, Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja melahirkan prestasi diplomasi yang mempengaruhi konsep Negara Kepulauan. Zona teritorial laut yang sebelumnya diukur hanya 3 mil dari garis pantai, menjadi 12 mil dari garis pantai. Indonesia diuntungkan dengan pertambahan luas wilayah dari yang semula kurang  lebih 3.166.163 kilometer persegi menjadi 5.193.250 meter persegi, dan aturan tersebut kini juga digunakan dalam berbagai perundingan konflik kelautan di kawasan. 

Replika kapal pembawa misi

Dilihat sepintas, ukuran replika perahu Pinisi yang kini dipajang di Rotunda ITLOS tak begitu besar, hanya 1,6 meter, namun menjadi cara untuk meninggalkan jejak simbol kejayaan maritim nusantara di kota pelabuhan penting dunia, Hamburg.

"Ini kan tempat resepsi, tempat pertemuan, tempat publik di sini. Ini juga lalu lintas kalau turis datang ke ITLOS untuk melihat open session," kata Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno. 

Namun untuk jangka panjang, ada harapan agar Indonesia bisa lebih aktif terlibat di ITLOS sehingga bisa berpeluang membantu konflik dan perundingan masalah kelautan antara Indonesia dengan negara lainnya. 

"Ini juga kan suatu institusi yang merupakan hasil dari konvensi hukum laut. Konvensi hukum laut itu mengharuskan dibentuk satu pengadilan hukum laut internasional. Dan selama ini sejak berdiri belum ada hakim dari Indonesia, sama sekali. Jadi kalau hakimya belum ada, paling tidak kapalnya ada," kata mantan Deputi Bidang Kedaulatan Maritim RI tersebut lebih lanjut. 

Hamburg Indonesischer Botschafter übergibt Nachbildung des Pinsi Schiffes
Peneliti maritim asal Jerman, Horst H. Liebner turut hadir di ITLOS menjelaskan keunikan perahu Pinisi sehingga layak menerima penghargaan UNESCO sebagai Warisan Budaya Tak BendaFoto: DW/T. Siregar

Ada makna untuk kita

Berbeda halnya dengan Horst H. Liebner, peneliti maritim asal Jerman yang menetap puluhan tahun di Tana Beru, Sulawesi Selatan. Baginya yang menjadi sasaran penting ketika perahu Pinisi dipamerkan di skala internasional adalah warga Indonesia sendiri, khususnya para pembuat kapal tradisional di Sulawesi Selatan.

"Semestinya itu diharapkan membuka mata masyarakat. Semestinya hal-hal seperti itu jadi pembicaraan khalayak. Itu yang penting. Dibicarakan saja. Kan bisa kita harap mereka menjadi sesuatu yang disadari. Dan semestinya dari situ, tidak jauh orang melangkah untuk mendapatkan siapa pelakunya, yaitu orang desa," papar Liebner merujuk kepada pembuat kapal di Tana Beru, Ara, Bira dan Lemo Lemo. 

Pria yang mendapat gelar doktor dari meneliti kapal tradisional Sulawesi Selatan itu menjelaskan, bahwa perahu Pinisi bisa mendapat penghargaan UNESCO sebagai  warisan budaya Tak Benda adalah karena tradisi dan pengetahuan pembuatan perahu yang dimiliki para pengrajin selama turun temurun.  Tak hanya pengrajin itu yang hilang dari ingatan masyarakat Indonesia, menurut Liebner catatan mengenai pentingnya Indonesia bagi dunia, khususnya Eropa juga terlupakan. 

"Ini bulan September 2019, bulan September tahun 1519 berangkatlah Magelans dari Sevilla, katanya dia keliling dunia kan. Sebenarnya mereka tidak mau keliling dunia, mereka mau cari Maluku. 500 tahun lalu, mata Eropa ke Indonesia. Sekarang orang makin kurang tahu," ujarnya. (ts/vlz)