1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Dapatkah Tugu Peringatan Akhiri Diskriminasi?

Birgit Görtz24 Oktober 2012

Warga etnis Sinti dan Roma di Jerman puluhan tahun memperjuangkan monumen peringatan. Karena mereka korban genosida NAZI terbanyak kedua, tapi hingga kini masih didiskriminasi di banyak tempat di Eropa.

https://p.dw.com/p/16Vdn
Medienvertreter stehen am 22.10.2012 in Berlin an der Gedenkstätte für die im Nationalsozialismus ermordeten Sinti und Roma. Das Denkmal liegt im Tiergarten direkt neben dem Bundestag und wird am Mittwoch (24.10.2012) offiziell eröffnet. Foto: Michael Kappeler/dpa
Tugu peringatan untuk Sinti dan Roma korban NaziFoto: picture-alliance/dpa

"Sesuatu yang tragis, karena banyak korban yang dapat tidak lagi menikmati pengakuan ini secara langsung,“ kata Silvio Peritore. Ia adalah anggota Dewan Pusat Sinti dan Roma di Jerman.

Pemerintah Jerman memerlukan waktu cukup lama untuk mengakui genosida terhadap etnis Sinti dan Roma di zaman NAZI. Bagi sebagian orang, sudah terlambat. Misalnya untuk Franz Rosenbach, ia pernah menjadi pekerja paksa di kamp konsentrasi di Auschwitz dan merupakan saksi mata sejarah. Pria yang saat ini berusia 85 tahun dan merupakan salah satu tokoh penggagas tugu peringatan tersebut, kini sedang menunggu ajalnya. Hal ini disayangkan Peritore.

Pameran di Heidelberg menampilkan tema genosida secara sistematis terhadap etnis Sinti dan Roma. Pameran itu digelar sejak tahun 1997. Satu tahun kemudian Peritore bergabung dalam tim Pusat Dokumentasi dan Budaya.

"Di banyak tugu peringatan genosida hanya dicantumkan catatan kaki sejarah holocaust warga Yahudi, karena secara ilmiah tema ini tidak dibahas selama puluhan tahun, sebagian sengaja dilupakan", tutur Peritore.

Itu bukan menyangkut penghitungan jumlah korban. Enam juta warga Yahudi di Eropa yang dibunuh dibanding 500 ribu warga Sinti dan Roma. "Apa yang dilambangkan sebuah tugu peringatan? Peringatan korban-korbannya, tanggung jawab untuk sejarah yang merupakan hasil dari holocaust."

Tapi tampaknya warga Sinti dan Roma tetap menjadi kelompok minoritas yang tidak disukai. Oleh karena itu pengakuan mereka sebagai korban serta monumen peringatan akan genosida terhadap mereka lama ditunda. Perasaan ini setidaknya dimiliki orang seperti Franz Rosenbach.

"Mereka bertanya-tanya, mengapa mereka tidak mau mengakui hal itu?" Mereka yang dimaksud adalah kelompok mayoritas masyarakat Jerman.

Pertanyaan Sulit dan Jawaban Menyakitkan

Sekitar 15 ribu pengunjung setiap tahunnya mengunjungi pameran genosida terhadap etnis Sinti dan Roma di Heidelberg. Kebanyakan siswa sekolah, mahasiswa tapi juga calon polisi yang dalam pekerjaannya tampaknya akan berhadapan dengan para kriminal "gipsi" istilah yang lebih dikenal bagi kaum Sinti dan Roma.

Armin Ulm, petugas bidang ilmiah pada Pusat Dokumentasi menjelaskan, bahwa kesan itu sudah ada sejak ratusan tahun. "Itu fenomena sejak terjadinya migrasi etnis Sinti dan Roma pada abad ke-14 dan 15 ke Eropa.

Tetapi ada juga gambaran positif, yakni kesan romantis seperti yang kita kenal dalam figur Carmen (tokoh perempuan gipsi pada Opera karya George Bizets. Red.). Tapi sebagian besar adalah gambaran negatif. Pandangan ini terus berlanjut seiring perjalanan waktu.

Istilah "gipsi" sudah ada dalam kronologi abad pertengahan. "Kata itu muncul misalnya dalam kronologi kota Hildesheim." Ditemukan dalam banyak dokumen dengan gaya penulisan berbeda-beda, dimana tidak jelas, siapa yang dimaksudkan, karena Sinti dan Roma sendiri tidak pernah menyebutkan dirinya sebagai "gipsi". Kebanyakan anggota kelompok minoritas menolak sebutan itu karena dipandang sebagai diskriminasi.

Hak Kaum Minoritas

Bagaimana bisa terjadi, dalam masyarakat pencerahan tradisi "gambaran gipsi" masih berlanjut sampai sekarang?, tanya Silvio Peritore. Dan sudah jelas bahwa pertanyaan ini sifatnya bukan retorika. 12 juta warga Roma dan Sinti yang saat ini tinggal di Eropa, dan di banyak negara mereka dikucilkan juga di negara anggota Uni Eropa.

"Di negara-negara seperti Hungaria, Rumania, Ceko dan di Slowakia warga Sinti dan Roma tidak memperoleh hak asasi manusia yang elementer. Mereka tidak memiliki akses sepadan untuk bidang-bidang kehidupan mendasar. Seperti pekerjaan, pasokan kesehatan, tempat tinggal yang layak.

"Sinti dan Roma di banyak negara Eropa Tengah dan Selatan secara umum didiskreditkan, dicap kriminal dan dipandang sebagai musuh. Bukannya mengupayakan infrastruktur yang memudahkan kehidupan Sinti dan Roma di negara-negara asalnya, dana Uni Eropa malah mengucur ke kanal-kanal yang gelap, diperingatkan Peritore.

FamBamberger: Angehörige der deutschen Sinti-Familie Bamberger zu Beginn der Dreißigerjahre. Margarete Bamberger (links vorne) wurde 1943 nach Auschwitz deportiert. Max Bamberger (rechts) fiel kurz vor Kriegsende in Jugoslawien, wohin er mit seiner Familie geflohen war, einem Massaker zum Opfer. Dokumentations- und Kulturzentrum Deutscher Sinti und Roma Copyright geklärt von Birgit Goertz.
Foto sebuah keluarga Sinti Jerman yang dideportasi ke Auschwitz tahun 1943Foto: Dokumentations- und Kulturzentrum Deutscher Sinti und Roma

Peritore tidak tanggung -tanggung dalam mengritik politik dan masyarakat di Eropa Barat. "Jika kita di sini di Jerman mendengar tentang 'masalah Roma', maka itu menyangkut orang-orang yang datang ke sini, karena mereka mencari keamanan, eksistensi dalam harga diri manusia. Tapi itu adalah harapan yang beralasan."

Tapi juga di Eropa Barat mereka dipandang sebagai risiko keamanan. Atau secara umum dipandang kriminal, seperti tahun 2010 di Perancis, ketika Presiden Sarkozy membiarkan pengusiran warga Sinti dan Roma, dengan melanggar hukum Perancis dan Uni Eropa.

Peritore juga mengritik praktek yang dilakukan Jerman yakni mengusir warga Roma dan Sinti kembali ke Kosovo, meskipun di sana mereka memiliki risiko dikejar-kejar dan di Jerman sudah lama menjadi anggota masyarakat. Di mana Roma dan Sinti dapat memperoleh peluang yang adil, merek akan menempuh jalan yang sama seperti anggota masyarakat lainnya.

"Ini terutama membantah prasangka umum, mereka yang menolak Sinti dan Roma, dengan mengatakan semua proyek dan program tidak ada gunanya. Dengan begitu orang melihat prasangka itu sebagai kebohongan, karena orang melihat, bisa terjadi hal yang berbeda, jika orang-orang memperoleh peluang yang adil."

Der Eingangsbereich zur Gedenkstätte für die im Nationalsozialismus ermordeten Sinti und Roma, aufgenommen am 22.10.12 in Berlin. Das Denkmal liegt im Tiergarten direkt neben dem Bundestag und wird am Mittwoch (24.10.2012) offiziell eröffnet. Foto: Michael Kappeler/dpa Schlagworte Gedenkstätten, Denkmäler, Jahreszeiten, Nationalsozialismus, lbn
Pintu masuk ke Tugu Peringatan Sinti dan Roma korban Nazi di BerlinFoto: picture-alliance/dpa

Tugu Peringatan Menentang Pengucilan

Pameran tentang genosida terhadap Sinti dan Roma menunjukkan antara lain foto-foto warga Sinti dan Roma di Jerman sebelum tahun 1933. Terlihat situasi kehidupan keluarga yang berkecukupan dan hampir bisa dibilang kaya. Foto-foto itu menunjukkan bahwa orang-orang itu mencapai kelompok masyarakat kelas menengah. Dan tidak menyangka akan diburu dan dibunuh penguasa NAZI.

Ilmuwan yang kredibel sejak lama membuktikan, bahwa terjadi holocaust kedua. Dengan motif yang benar-benar identis berdasarkan ras, dengan aparat pelaku yang identis, metode pembunuhan yang sama di tempat-tempat yang sama, dilakukan secara sistematis dan efisien.

Tapi baru mantan Kanselir Jerman Helmut Schmidt yang mengakui kenyataan ini secara resmi tahun 1982. Setelah keputusan diambil, dimana tidak ada peringatan bersama akan semua korban holocaust, tahun 1992 Parlemen Jerman menyetujui adanya tugu peringatan khusus bagi Sinti dan Roma. Namun kemudian terjadi sengketa sengit. Pemerintah, ahli sejarah dan juga wakil-wakil warga Sinti dan Roma sendiri tidak dapat menyepakati rinciannya.

Bagi Pusat Dewan Sinti dan Roma itu tidak hanya menyangkut pengakuan yang terlambat, melainkan tanggung jawab bagi masa kini dan masa depan, mengenai diskriminasi lebih lanjut dan mencegah pengucilan.