Kerusuhan Prancis: Para Bintang Sepak Bola Angkat Suara
6 Juli 2023Kapten tim nasional dan superstar Prancis dari klub Paris Saint-Germain (PSG), Kylian Mbappé, hanya menulis enam kata singkat: "J'ai mal à ma France" ("Prancisku menyakitkanku") sebelum memposting pernyataan yang lebih panjang atas nama seluruh tim nasional. Di dalamnya, tim nasional yang dikenal sebagai "Les Bleus” mengungkapkan keprihatinan mereka dan menyerukan diakhirinya kekerasan.
"Sejak peristiwa tragis ini, kami telah menyaksikan ekspresi kemarahan rakyat yang substansinya kami pahami, tetapi bentuknya tidak dapat kami dukung," tulis mereka, menggambarkan situasi kerusuhan yang mereka sebut sebagai "proses penghancuran diri.”
"Bagi banyak dari kami, yang berasal dari lingkungan kelas pekerja, kami berbagi perasaan sakit dan sedih ini, (tetapi) kekerasan tidak menyelesaikan apa-apa, apalagi ketika kekerasan itu berbalik melawan mereka yang sedih, keluarga mereka, orang yang mereka cintai, tetangga mereka. Properti yang Anda hancurkan, lingkungan Anda, kota Anda, tempat Anda hidup.
"Nahel bisa menjadi adik laki-laki saya. Hati saya hancur ketika mendengar ibunya, karena saya mendengar suara ibu saya," tulis gelandang Real Madrid Aurelien Tchouameni dalam surat terbuka yang emosional.
"Saya ingin memahami mengapa, selama bertahun-tahun sekarang, remaja meninggal selama pemeriksaan polisi, yang tampaknya tidak berbahaya… Nahel adalah adik laki-laki kita. Dan di Prancis, persaudaraan seharusnya masih berarti sesuatu."
Apakah ada yang mendengarkan?
Para pemain telah berbicara. Namun, seperti yang dipertanyakan majalah sepak bola Prancis "SoFoot” pekan ini: "Apakah ada yang mendengarkan mereka?"
Sosiolog olahraga Patrick Mignon, peneliti di institute nasional untuk olahraga INSEP di Paris, kepada DW mengatakan, secara tradisional, pesepak bola di Prancis tidak dianggap sebagai sosok yang banyak bicara. Mereka dihormati dan dikagumi karena kehebatan olahraga mereka, mungkin, tetapi tidak dengan status moral atau sosial yang sama, yang terkadang diberikan kepada atlet di Jerman atau di Inggris.
Namun, situasi itu sedang berubah, terutama di kawasan pinggiran kota yang disebut "banlieues”, yang sekali lagi menjadi pusat kerusuhan. Bagi bekas pemain klub Lyon, Fulham, dan Wolfsburg, Steve Marlet, yang pernah memperkuat tim nasional Prancis pada 2000 hingga 2004, pemain sepak bola masa kini punya lebih banyak moda berkomunikasi.
"(Mbappe) adalah pesepak bola model prototipe yang telah menjadi pemimpin opini," katanya. "Orang-orang sekarang mengharapkan dia untuk mengambil posisi… dan dia mengekspresikan dirinya dengan baik. Ini adalah gambaran lain dari klise pesepak bola yang tidak mampu menyatukan dua kata."
Dibutuhkan lebih dari ketenaran para bintang
"Bagi anak muda di kawasan banlieues, (yang berada) di bawah tekanan sosial yang terus-menerus, menghadapi ancaman kekerasan polisi dan hidup dengan perasaan terperangkap, para pemain sepak bola beken ini dianggap sebagai panutan dan contoh kesuksesan," jelas Patrick Mignon.
"Untuk 'grands-freres' ('kakak laki-laki') dari banlieues, pemain seperti Mbappe menjadi panutan. Untuk remaja yang lebih muda, banyak dari mereka bermain sepak bola sendiri di klub, para pemain ini adalah idola."
Pesepak bola Prancis sekarang sudah bersuara dan mereka menjadi panutan bagi banyak kaum muda. Namun, tentu saja peran mereka bukanlah untuk mengatasi banyak masalah sosial yang dihadapi masyarakat Prancis atau untuk menjembatani kesenjangan antara polisi dan sebagian warga yang masih mengalami diskriminasi atau merasa terpinggirkan.
"Saya sedih untuk mereka, tapi kita perlu merenung. Sering kali, idola mereka adalah pesepak bola. Itu bagus, tapi mereka juga membutuhkan idola lain," ujar Lilian Thuram, bintang sepak bola Prancis yang memenangkan Piala Dunia tahun 1998 dan Piala Eropa tahun 2000.
(hp/as)