1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Pendidikan

Puluhan Mahasiswa Papua di Jerman Terancam Deportasi

10 Mei 2019

Delapan mahasiswa dari Papua di Jerman sudah dipulangkan, sementara 35 pelajar asal Papua Barat terancam deportasi. Penyebabnya mulai dari beasiswa yang tersendat hingga pelajar yang habis masa waktu studinya.

https://p.dw.com/p/3IHih
TU München - 150. Jahrestag
Foto: Getty Images/J. Koch

Virgianus Tevez Turot mengirimkan surat terbuka kepada Gubernur Provinsi Papua Barat terkait nasib puluhan penerima beasiswa asal Papua Barat yang terkatung-katung di Jerman. Mewakili rekannya, ia mengeluh tidak bisa menyelesaikan studi lantaran untuk beasiswa tahun 2018 saja, mereka baru menerima pencairan dana semester pertama di bulan Juni.

Padahal untuk bisa tetap tinggal di Jerman, mereka harus memberikan bukti jaminan hidup berupa saldo rekening serta kemampuan membayar kewajiban lainnya seperti asuransi kesehatan dan iuran semester. Akibat tidak bisa membayar tagihan tersebut, sekitar 35 mahasiswa Papua Barat yang berasal Fakfak, Kaimana, Manokwari, Sorong dan Kota Sorong pun tidak mendapat lagi izin tinggal dan terancam dideportasi.

Kenapa beasiswa tersendat?

Merespon surat terbuka tersebut, Pemprov Papua Barat mengaku telah menyelesaikan tanggung jawabnya. Melalui Yayasan Papua Jerman, Dinas Pendidikan Provinsi Papua Barat mengklaim telah mencairan seluruh dana beasiswa tahun 2018.

"Secara akumulasi 11 miliar Rupiah yang sudah kami cairkan. Nilai temuannya berapa kami kurang tahu," kata Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Papua Barat, Bernanda Henan seperti dikutip dari Antara News.

Diakui sempat terjadi kendala lantaran adanya temuan dari Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), yang mengakibatkan yayasan harus mengembalikan anggaran. Namun untuk 2019, dana sebesar 9 miliar Rupiah khusus mahasiswa di Jerman disebutkan sedang dalam proses pencairan.

Saat ingin mengonfirmasi perihal pencairan dana tersebut, DW Indonesia berupaya menghubungi langsung Virgianus Tevez Turot dan Leo Leleran, Ketua Persatuan Mahasiswa di Jerman, namun keduanya tidak memberi jawaban.

Menurut Dr. Ahmad Saufi, Atase Pendidikan dan Kebudayaan KBRI Berlin permasalahan ini terjadi karena kurangnya pemahaman masing-masing pihak tentang hak dan kewajiban seperti yang tercantum dalam kontrak sebelum pemberangkatan calon mahasiswa.

Beda nasib mahasiswa Papua Barat dengan Papua

Adanya kesalahpahaman yang demikian, diakui pemerintah Otonomi Khusus (otsus) Provinsi Papua sempat terjadi saat program beasiswa dimulai tahun 2009 lalu. Saat itu, program beasiswa sempat terkendala karena pemprov hanya mengandalkan agen.

"Dulu kan kita tidak tahu. Sebelum 2017, memang pemda pernah tidak kirim tepat waktu, hanya dikirim melalui agen," kata Ketua Panitia Seleksi Program Beasiswa Otonomi Khusus Papua Anthony Mirin.

Itulah sebabnya, Anthony Mirim menampik pemulangan penerima beasiswa asal otsus Papua mirip dengan nasib mahasiswa Papua Barat, yakni akibat beasiswa yang macet. Menurutnya, delapan mahasiswa terpaksa dipulangkan otsus karena mereka disebutkan tidak menyelesaikan studinya sesuai ketetapan.

"Jadi tidak benar bahwa dana beasiswa bermasalah. Ini karena mahasiswa itu yang tidak memenuhi tanggung jawabnya sehingga pada saat batas beasiswa berakhir, ya mereka belum selesai dan harus kembali," kata Ketua Panitia Seleksi Program Beasiswa Otonomi Khusus Papua Anthony Mirin kepada DW.

Kepala Biro Otonomi Khusus Papua Aryoko Rumaropen kepada DW menambahkan, calon penerima beasiswa sudah tahu mengenai ketetapan beasiswa tersebut sebelum berangkat studi ke luar negeri.

"Sudah ada kontrak dengan penerima beasiswa yaitu hanya enam tahun dalam masa studinya, sehingga kalau sudah lewat, maka pemerintah berhak untuk mencabut hak beasiswa. Ini dana beasiswa mencakup biaya hidup yang berbeda-beda untuk di tiap negara," kata Aryoko Rumaropen menjelaskan.

Minim pengawasan, studi terbengkalai

Secara umum, ada sekitar 1100 mahasiswa asal Papua yang mendapat beasiswa untuk studi di dalam dan luar negeri. Dari sekitar 600 mahasiswa yang menempuh pendidikan di luar negeri, beasiswa yang diberikan berbeda-beda sesuai kebutuhan di 17 negara .

Untuk jenjang S1 di Jerman, pemerintah otsus Papua memberikan biaya hidup sebesar 1.500 Euro per bulan atau setara 22 juta 500 ribu Rupiah. Sementara mahasiswa S2 menerima 1.750 Euro per bulan, dan mahasiswa S3 mendapat kucuran dana sekitar 2.000 Euro atau sektiar 30 juta Rupiah per bulan.

Anthony Mirin mengakui dana ini dianggap cukup untuk memenuhi kebutuhan mahasiswa. Ketidakmampuan mahasiswa Papua di Jerman untuk menyelesaikan studinya tak lepas dari kelalaian pemerintah untuk mengawasi peserta didik.

"Pejabat sebelumnya luput bahwa perlu untuk meminta laporan secara berkala mengenai performance akademik harus dilaporan kepada kami, supaya bisa diikuti, siapa yang sudah failed, siapa yang berhasil," ungkapnya mengoreksi.

Selain pengawasan, proses persiapan dan pembekalan calon mahasiswa juga dulu sempat luput dari perhatian.

"Sebelumnya, tidak ada persiapan bahwa di Jerman itu ada yang namanya studienkolleg, dan mereka harus bisa berbahasa Jerman, tidak cukup hanya bahasa Inggris. Dan akhirnya anak-anak mengalami kendala," kata Anthony

Pada tahun ajaran 2019, masih ada 10 mahasiswa di Jerman yang mendapat beasiswa dari otsus Papua. Untuk menghindari masalah yang sama, proses seleksi dan pembekalan dilakukan lebih lama. Misalnya saja pada proses seleksi 29 April lalu, setelah seleksi administrasi, calon penerima beasiswa yang terpilih akan dibina selama satu tahun sebelum diberangkatkan.

"Jadi harus dibina mentalnya, diajari bagaimana sikap dan etika ketika berada di luar negeri. Ini harus benar-benar dibenahi, harus sungguh-sungguh supaya tidak seperti kemarin pulang dengan sia-sia," ungkap Anthony.

Dubes Havas: Bantu Mahasiswa Indonesia yang Bermasalah di Jerman

ts/hp (teropong news, antara news)