1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Risiko Sekolah Via Zoom dan Aplikasi Pelacakan Data

Zulfikar Abbany
28 Mei 2020

Pandemi virus corona percepat digitalisasi di sekolah, layanan kesehatan dan interaksi sosial lainnya. Perubahan secepat kilat yang tidak terbayangkan beberapa tahun lalu. Tapi adakah ancaman untuk privasi online kita?

https://p.dw.com/p/3cqqT
Sekolah virtula lewat zoom
Foto: picture-alliance/Zuma/C. Freedman

Kondisi gawat darurat kesehatan publik terkait pandemi Covid-19, ibarat hentakan keras yang membangunkan orang-orang yang selama ini menolak tegas masyarakat digital. Membangunkan orang, bahwa sektor-sektor seperti pendidikan dan pelayanan dasar memerlukan hal itu sejak lama.

“Seluruh sektor, yang sejak 20 tahun membahas bagaimana megerjakan lebih banyak hal secara online, tiba-tiba mengerjakannya dalam waktu hanya seminggu“, papar Helen Margetts, Profesor Society and the Internet di Oxford Internet Institute.

Akan tetapi, semakin banyak kita melakukan aktivitas online, berarti makin banyak data yang kita ciptakan. Makin banyak data, makin tinggi risiko. Tapi juga potensi keuntungan. 

“Data sangat penting, dan itu berlaku lewat semua data yang berbeda. Data pengujian, pelacakan kontak, data yang memungkinkan kita mengakses intervensi politik serta konsekuensi dari intervensi politik yang dibuat dengan cara secepat kilat“, ujar Margetts  yang juga direktur Public Policy Programme di Alan Turing Institute.

Digitalisasi dan risikonya

Digitalisasi yang dipaksa akibat pandemi, juga membuka borok tidak efisiennya edukasi digital di Jerman. Sektor pendidikan di Jerman selama ini mandek dalam sistem analog.

“Proteksi data, implementasi teknik dan pelatihan bagi para guru kini jadi isu mendesak. Karena pemerintah mengabaikan tema ini terlalu lama,'' ujar Jens Brandenburg anggota parlemen Jerman dari partai liberal demokrat. 

Seorang pria sedang memindai barcode di Singapura
Makin besar digitalisasi masyarakat, makin besar data yang tersedia. Seperti di Singapura, dimana semua terhubung secara online, layanan offline juga mudah diakses. Data ibarat pedang bermata dua.Foto: picture-alliance/AP Photo/Yk Chan

Contohnya, banyak sekolah tidak punya akses ke cloud, untuk pertukaran material pengajaran. Para guru sering harus menggunakan komputer pribadi dan alamat e-mail pribadi untuk tujuan pengajaran. Sementara di sisi lain, mereka tidak punya standar untuk update pengamanan data, dan tidak punya backup IT.

Sejak lockdown parsial berlaku, semua terfokus kepada para guru. Mereka berjuang dalam situasi sulit dan harus mengelola semua hal. Guru secara pribadi harus membuat keputusan penting sendiri, seringnya secara spontan.

Akibatnya, platform digital dari open source seperti Zoom, Moodle, Instagram, YouTube, Sofatutor, atau aplikasi edukasi berbahasa Jerman Anton, meraup keuntungan dari minimnya pemikiran maju ke depan dalam sistem edukasi Jerman.

Lahan subur buat hacker

Ketika lockdown sekolah diperpanjang, banyak sekolah memanfaatkan Zoom atau Moodle sebagai standar aplikasi untuk konferensi video dan proses belajar mengajar. Hal ini memicu banyak pertanyaan terkait proteksi data. 

Bahkan para hacker alias peretas dengan mudah bisa menyabot proses sekolah online itu. Misalnya, sebuah pertemuan virtual yang diorganisir sebuah sekolah di negara bagian Jerman Baden-Württemberg, pada bulan April lalu, diretas dan material pornografi diposting saat kelas virtual berlangsung.

Masalah keamanan teknologi di platform digital sudah didokumentasi dengan bagus, Namun masalah ini sangat sulit dituntaskan dengan baik. “Ada dua aspek proteksi data. Yang pertama menyangkut kesalahan pengguna. Dan kedua ketidaktahuan mengenai teknologinya“, ujar Dr. Lutz Hellmig, ilmuwan komputer dari Universitas Rostock di Jerman.

Dunia Bisnis Jerman Siaga Hadapi Serangan Siber

Dia mengakui, tidak ada jaminan keamanan data 100%. “Tapi membiarkan para guru menggunakan komputer pribadi, bukannya komputer sekolah yang diproteksi, ini sangat sulit diterima“, ujar Hellmig.

Pakar komputer itu mengatakan, para guru memerlukan pelatihan berkelanjutan, untuk memberi mereka alat bantu dan pengetahuan untuk menaksir risiko dan keuntungan teknologi yang terus berkembang itu. “Jika guru tidak bisa menaksir risiko, bagaimana mereka menolong siswa untuk melindungi dirinya sendiri“ imbuh Hellmig.

Data: ibarat pedang bermata dua

Kita semua perlu data, bahkan hanya sebagai informasi dasar atau saran. Dan semua itu membuka peluang bagi perusahaan teknologi berbasis data dalam masa pandemi. Apakah itu membuat kita khawatir, jika membantu untuk tetap aman?  

Contohnya di Inggris, platform media sosial seperti Twitter digunakan untuk memberikan informasi mengenai Covid-19 dari National Health Service. Hal ini menempatkan postingan di twitter selalu berada di peringkat paling atas.

Namun hal ini pula yang membuat orang cemas. “Platform global kemungkinan memanfaatkan darurat kesehatan publik untuk mencantolkan diri ke pemerintahan“, ujar Dr. Monica Horten penulis buku The Closing of the Net.

Indien Aarogya Setu App auf Smartphone
Aplikasi pelacak data kontak, bisa berguna untuk lacak penularan virus, tapi ada potensi penyalahgunaan oleh perusahaan yang ingin mengeruk untung.Foto: picture-alliance/NurPhoto/N. Kachroo

Kekhawatirannya, platform media sosial akan menempatkan diri pada posisi dominan untuk mempengaruhi arus informasi. Juga data yang dikumpulkan lewat aplikasi pelacak kontak memicu kekhawatiran lain.

Sebab tidak ada jaminan, jika situasi darurat pendemi dinyatakan berakhir, apakah pengumpulan data akan berhenti? Atau data yang dihimpun akan dihapus? Atau menunggu waktu lama, untuk dibeli oleh perusahaan asuransi misalnya?

Para pakar memang sepakat, bahwa semua perlu data. Namun juga mengingatkan, data ibarat pedang bermata dua. Karena itu semua hal harus diamati dengan cermat dan solusinya aharus ditemukan secepatnya. (as/pkp)