1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
KonflikEropa

Bagaimana Uni Eropa Bergantung Pada Gas Rusia

Bernd Riegert
7 Februari 2022

Ketika konflik antara Ukraina dan Rusia memanas, Kremlin memakai ekspor gasnya sebagai senjata politik. Hal ini menempatkan Uni Eropa dalam posisi pelik, karena banyak bergantung pada gas Rusia. Analisa Bernd Riegert.

https://p.dw.com/p/46chc
Kantor pusat Gazprom di Berlin, Jerman
Kantor pusat Gazprom di Berlin, JermanFoto: Jaap Arriens/NurPhoto/picture alliance

Pada Januari 2022, Direktur Gazprom, Alexey Miller, mengatakan tahun 2021 mencatatkan rekor produksi dan keuntungan, berkat lonjakan permintaan dan kenaikan harga gas dunia. 

Gazprom adalah perpanjangan tangan pemerintah Rusia dalam melayani konsumen di luar negeri. Ia mempekerjakan 500.000 orang dan tercatat sebagai produsen gas alam terbesar di dunia. Sebagian besar saham perusahaan dikuasai pemerintah. Sisanya dimiliki investor lain seperti perusahaan listrik Jerman, E.ON.

Adapun Miller merupakan teman lama Presiden Rusia, Vladimir Putin, yang selalu hadir dalam rapat dewan pengawas atau dewan direksi.

Dominasi Gazprom di Eropa adalah hasil dari praktik monopoli. Undang-undang Rusia hanya mengizinkan Gazprom untuk mengekspor gas. Sejak lebih dari tiga dekade terakhir, perusahaan pelat merah itu sudah menjadi pemasok gas terbesar buat Uni Eropa.

Sekitar 43 persen gas alam yang dikonsumsi setiap tahun di UE dibeli dari Rusia, menurut Badan Statistik Uni Eropa, Eurostat. Sisanya didatangkan dari Norwegia, Timur Tengah, Amerika Serikat dan Afrika Utara.

Di dalam UE sendiri, pangsa gas Rusia berbeda di tiap negara. Secara umum, semakin ke timur letak sebuah negara, maka semakin bergantung pula ia kepada gas Rusia. Jerman yang mengkonsumsi energi paling banyak di Eropa, setiap tahun harus mengimpor 55 persen gas alam dari Rusia.

"Gazprom menggunakan dominasi pasarnya untuk mempengaruhi pegerakan harga gas melalui jumlah gas yang ia ekspor ke Eropa,” kata pakar energi, Georg Zachmann, dari wadah pemikir Bruegel di Brussels, Belgia, kepada DW.

Kompetisi antara UE dan Gazprom

Sejak satu dasawarsa lalu, Uni Eropa sudah berusaha menyatukan pasar gas dengan mewajibkan Gazprom menjual gas hanya sampai perbatasan, untuk lalu dijual kembali oleh negara UE yang bersangkutan.

Pengiriman gas dari Rusia menuju Eropa tahun 2020
Pengiriman gas dari Rusia menuju Eropa tahun 2020

Jerman misalnya bisa membeli gas dari Rusia dan menjualnya lagi ke Polandia atau Ukraina. Namun Gazprom berkepentingan merangkai perjanjian jual beli secara langsung dengan pembeli untuk menjamin agar kebergantungan tetap tinggi.

"Ada semacam kopetisi antara UE yang ingin membangun pasar dengan harga yang seragam, dan Gazprom yang ingin menetapkan harga yang berbeda-beda di setiap negara,” tutur Zachmann.

Gazprom belakangan rajin menuntut konsumen Eropa untuk menyetujui kontrak jangka panjang. Zachmann menilai, kegelisahan Kremlin bersumber pada tren di negara-negara UE yang memprioritaskan kontrak jangka pendek demi melepas kebergantungan dari Rusia.

"Gazprom memenuhi kontraknya, itu benar, tapi hanya pada level paling rendah dari komitmennya,” kata Presiden Komisi Eropa, Ursula von der Leyen, baru-baru ini. Dia menuduh Gazprom bertingkah tidak lazim, ketika membatasi ekspor gas justru ketika permintaan naik. 

Namun begitu, von der Leyen tidak meyakini Gazprom akan menutup keran ekspor, karena perekonomian Rusia yang sangat bergantung dari ekspor energi. Meski demikian, dia mengaku UE sedang berusaha meningkatkan pasokan gas adari Qatar dan Amerika Serikat. 

Negosiasinya antara lain dilangsungkan saat kunjungan Kanselir Olaf Scholz ke Washington, Senin (7/2).

Peta pipa gas Nord Stream 2 dari Rusia menuju Jerman
Peta pipa gas Nord Stream 2 dari Rusia menuju Jerman

Pertaruhan Jerman

Pakar energi Jerman, Claudia Kemfert, dari Institut Studi Ekonomi (DIW), memperkirakan pipa Nord Stream 2 yang sedang dibangun Gazprom di Laut Baltik akan membuat Jerman semakin bergantung dari pasokan langsung gas Rusia.

"Eropa memiliki strategi untuk mendiversifikasi sumber impor gas, sementara Jerman memilih jalur yang berlawanan dengan menambah kebergantungannya. Kebijakan ini kini jadi tamparan balik,” katanya kepada DW.

Menurutnya, langkah Jerman membiarkan Gazprom membeli fasilitas penyimpanan gas di dalam negeri juga merupakan kesalahan fatal. Anak perusahaan Gazprom, Astora, beberapa tahun lalu membeli fasilitas penyimpanan gas terbesar di barat Eropa yang terletak di Jerman. Dalam situasi normal, fasilitas itu membantu menyeimbangkan fluktuasi antara pasokan dan permintaan.

Namun Claudia Kemfert meyakini justru di saat sepert ini Jerman membutuhkan simpanan cadangan gas strategis yang tinggi. 

Zachman merasa pesimis UE akan mampu melawan dominasi Gazprom. "Anda bisa berunding selama mungkin dengan pihak yang punya semua kekuasaan di tangannya. Jika pengiriman gas bisa dihentikan oleh Moskow, kita berada dalam posisi negosiasi yang lemah.”

Artikel ini diadaptasi dari bahasa Jerman. rzn/hp