1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Antara Pahlawan dan Pecundang Bangsa

Sumanto al Qurtuby
Sumanto al Qurtuby
12 November 2022

Konsep pahlawan bukan hanya mereka yang berjuang melawan "penjajah mancanegara” tetapi juga mereka yang berjuang melawan "penjajah pribumi” dan memberi asistensi perjuangan, apapun bentuknya. Opini Sumanto al Qurtuby.

https://p.dw.com/p/4JOH7
Grambar ilustrasi perang tahun 1945-1948
Gambar ilustrasi perjuangan mempertahankan kemerdekaan RIFoto: United Archives/TopFoto/picture-alliance

Dalam sebuah webinar yang diadakan oleh Universitas Mahasaraswati Denpasar, Bali, saya mengajukan sejumlah gagasan untuk meninjau atau memaknai ulang konsep baku pahlawan seraya mengingatkan masyarakat publik dan komunitas akademik untuk waspada dan berhati-hati lantaran banyaknya para pecundang di Indonesia yang mengaku atau menyamar sebagai pahlawan.

Peninjauan dan pemaknaan ulang kata pahlawan ini penting mengingat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), termasuk  yang dikelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, kata "pahlawan” masih berkonotasi atau bernuansa maskulin, patriotis, dan heroik. Kata dan konsep "pahlawan” kurang lebih seperti seorang jihadis yang mati dan menjadi martir di medan laga lantaran berperang membela negara.

Dalam KBBI disebutkan bahwa pahlawan adalah "orang yang meninggal karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran” atau "pejuang yang gagah berani.” Sedangkan kata "kepahlawanan” atau "perihal sifat pahlawan” disebutkan seperti keberanian, keperkasaan, kerelaan berkorban, kekesatriaan.

Dari definisi ini maka bisa diasumsikan karakteristik pahlawan itu, antara lain, heroisme, patriotisme, dan dalam batas tertentu maskulinisme. Meskipun ada segelintir tokoh perempuan yang mendapat predikat sebagai "pahlawan” seperti Cut Nyak Dien, Dewi Sartika, RA Kartini, Nyai Ageng Serang, Maria Walanda Maramis, Martha Christina Tiahahu, dlsb. Tetapi laki-laki masih jauh mendominasi dunia pahlawan Indonesia.

Padahal, perjuangan laki-laki di masa lampau sulit dilakukan tanpa asistensi atau dukungan kaum perempuan yang bekerja sebagai perawat, juru masak, pengantar makanan, atau telik sandi. Tetapi sejauh ini kontribusi mereka tidak dianggap penting dalam praktik dan diskursus kepahlawanan.

Perjuangan Melawan Penjajah Pribumi

Hal lain yang juga tidak kalah penting untuk diwacanakan adalah konsep pahlawan masih diidentikan dengan "perjuangan melawan penjajah asing”, khususnya Belanda dan juga Jepang. Bagaimana dengan para pejuang–baik laki-laki maupun perempuan–yang berjuang keras melawan penjajah dari golongan bangsa sendiri? Banyak dari mereka yang meninggal karena perlawanan ini. 

Harap diingat orang-orang yang melakukan tindakan ketidakadilan, pemerasan, kekerasan, kekejaman, dan kesemena-menaan terhadap rakyat kecil di nusantara dulu bukan hanya dilakukan oleh penjajah asing (foreign colonial powers) tetapi juga "penjajah pribumi” (native colonizers) baik semasa penjajahan Eropa (Portugis dan Belanda) dan Jepang maupun sebelum era kolonialisme (misalnya para elit kerajaan-kerajaan Nusantara). 

Sejarah mencatat banyak sekali para pemimpin atau elit kerajaan yang bengis terhadap bangsa mereka sendiri yang tidak segan-segan mencaplok tanah, memeras warga untuk membayar upeti, memaksa warga untuk bekerja buat kepentingan mereka, dan membunuh rakyat tak berdosa.

Pula, di zaman kolonialisme khususnya, banyak kelompok masyarakat setempat yang bekerja sebagai pegawai, bawahan, serdadu, centeng, tukang kepruk, dan antek (kaki tangan) penjajah asing. Bahkan jumlah populasi "penjajah lokal” ini jauh lebih banyak ketimbang "penjajah asing.” Pada masa kolonial, di tingkat elit memang dikontrol oleh "penjajah asing” tetapi di level menengah-bawah didominasi oleh "penjajah lokal.” Jelasnya, banyak masyarakat lokal pribumi yang penjadi pecundang bagi bangsa sendiri.

Urgensi Memaknai Ulang Konsep Pahlawan

Dari sinilah maka penting untuk melihat kembali konsep pahlawan. Misalnya, konsep pahlawan bukan hanya mereka yang berjuang melawan "penjajah mancanegara” tetapi juga mereka yang berjuang melawan "penjajah pribumi” atau bukan hanya mereka yang mati di medan juang tetapi juga mereka yang memberi asistensi perjuangan, apapun bentuknya.

Sumanto Al Qurtuby (Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals)
Penulis: Sumanto Al Qurtuby Foto: S. al Qurtuby

Selain itu, penting juga untuk memperluas cakupan makna kata pahlawan bukan hanya mereka yang gugur di medan laga melawan penjajah (asing) tetapi juga orang-orang yang berjuang menegakkan keadilan dan kemanusiaan universal; mereka yang berjuang untuk melestarikan alam lingkungan, tradisi, kebudayaan bangsa, dan local wisdom; mereka yang berjuang untuk menghidupi keluarga atau memperbaiki tingkat perekonomian dan kesejahteraan masyarakat; mereka yang berjuang untuk meningkatkan literasi, daya baca, dan kecerdasan masyarakat; mereka yang berjuang melawan terorisme, rasisme, arogansi, intoleransi, dan antipluralisme yang dipropagandakan oleh kelompok bigot politik dan agama. Dan seterusnya.

Memang benar ada istilah-istilah atau sebutan seperti "pahlawan devisa” untuk para Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri yang dianggap turut menyumbang devisa negara atau "pahlawan tanpa tanda jasa” untuk para guru yang mendidik putra-putri bangsa. Tetapi istilah atau sebutan ini hanya sebatas "gincu”, "lip service,” atau pemanis belaka, belum menjadi "spirit” atau "roh” yang mendasari konsep pahlawan dan kepahlawanan.     

Kepungan Kelompok Pecundang

Perjuangan mereka penting untuk diapresiasi apalagi Indonesia saat ini sedang dikepung oleh berbagai kelompok pecundang yang merusak bangsa dan negara. Kelompok pecundang yang dimaksud disini bisa bervariasi wujud atau bentuknya.

Mereka bisa kelompok elite politik yang hobi mengeksploitasi agama, suku, dan etnis untuk melindungi kepentingan praktis-pragmatis mereka dan golongannya; para pejabat, birokrat, dan politisi yang doyan korupsi dan mengemplang uang rakyat dan negara; pengusaha serakah yang gemar merusak alam lingkungan (seperti penggundulan hutan) demi memupuk pundi-pundi kekayaan seperti yang terjadi di Sumatra, Kalimantan, Papua dan kawasan lainnya; kelompok rasis – baik elite maupun massa – yang mempropagandakan kebencian terhadap kelompok etnis tertentu; kelompok radikal-militan agama (seperti kaum Islamis) yang antipati terhadap agama atau komunitas agama dan kepercayaan lain; para perusak kekayaan tradisi dan budaya lokal Indonesia. Dan seterusnya.

Jika republik ini ingin tetap eksis di kemudian hari, berbagai kelompok pecundang tersebut tidak boleh dibiarkan berkeliaran dan berbuat seenaknya di bumi pertiwi Indonesia. Jika masyarakat lengah dan tidak waspada, bukan tidak mungkin apabila kelak Republik Indonesia hanya tinggal nama, tenggelam dalam limbo sejarah. Untuk mengatasi masalah ini, Indonesia perlu memproduksi sebanyak mungkin pahlawan bangsa-apapun agama, jenis kelamis, dan etnis mereka-guna melawan, memperlemah, atau setidaknya mengurangi dominasi kelompok pecundang yang gentayangan di hampir semua lini kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Sumanto Al Qurtuby (Pendiri dan Direktur Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals)

*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.