1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Sosial

Mengenang Riyanto, Pahlawan Bom Natal

24 Desember 2015

Tahun 2000 anggota GP Anshor, Riyanto, tewas saat memindahkan bom di sebuah gereja seusai perayaan Natal. Kisah heroismenya patut dikenang, terlebih ketika aksi teror yang masih menjadi ancaman di Indonesia.

https://p.dw.com/p/1HTNZ
Symbolbild Angst Depression
Foto: Fotolia/lassedesignen

Natal di tahun 2000 adalah sebuah perayaan muram. Saat itu teror sedang menggurita. Bom ditemukan di mana-mana dan keamanan menjadi barang langka. Adalah sebuah pengharapan akan datangnya damai ketika di malam 24 Desember itu jemaah gereja Eben Haezer di Mojokerto tenggelam dalam doa.

Keberadaan laskar Anshor yang berjaga-jaga di luar pun seadanya mengusir resah.

Karena setelah serangkaian serangan bom di kedutaan besar negara asing, setelah ledakan di gedung Bursa Efek Jakarta dan beberapa tempat lain, ancaman kematian tidak lagi berjarak. Semua orang bisa menjadi korban, di manapun, setiap saat. Terlebih kaum minoritas.

Bom dalam dekapan

Maka organisasi pemuda Nahdlatul Ulama itu memerintahkan anggotanya menjaga perayaan misa Natal di gereja Eben Haezer. Termasuk di antaranya Riyanto. Pemuda itu baru genap sebulan merayakan ulang tahunnya yang ke 25. Hidup seharusnya masih menyisakan masa depan cerah. Tapi nasib berkata lain.

Ketika seorang jemaah mencurigai sebuah bingkisan hitam yang tergeletak di luar gereja, Riyanto datang memeriksa. Ia mendapati sebuah bahan peledak. Aparat kepolisian yang ikut memeriksa memerintahkan semua orang agar mundur dan tiarap.

Tapi tanpa berpikir panjang pemuda kelahiran Kediri itu kemudian membawanya lari buat dimasukkan ke dalam parit. Bom keburu meledak dalam dekapan Riyanto. Tubuhnya seketika hancur. Konon serpihan anggota tubuh Riyanto masih ditemukan dalam jarak 100 meter dari lokasi ledakan.

Pasrah dan Doa

"Riyanto telah menunjukkan diri sebagai umat beragama yang kaya nilai kemanusiaan. Semoga dia mendapatkan imbalan sesuai pengorbanannya,” tutur almarhum Gus Dur kala itu.

Kini hampir dua dekade berselang, ancaman teror di hari Natal masih terasa menghantui seisi negeri. Peristiwa ledakan molotov yang merenggut Intan, balita tak berdosa itu, menunjukkan betapa teror masih menyelimuti Indonesia. 

Natal kembali tiba. Kepolisian siap siaga. Seperti biasa Banser kembali turun ke jalan buat mengamankan gereja dan minoritas kembali berada dalam bidikan.

"Di sini kita berdoa, kita hanya bisa mendoakan saja, pasrah, bencana bisa terjadi di manapun," ujar Pendeta Rudi kepada Beritajatim. Ia adalah sosok yang dulu memimpin misa di Gereja Eben Haezer. "Kami selalu mendoakan keluarga Riyanto," imbuhnya.

 

rzn/yf (dari berbagai sumber)