1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Hari Pahlawan itu Datang Terlambat

Benny Handoko27 November 2013

Siapa yang unggul dalam sengketa Indonesia-Australia? Blogger sekaligus komentator sosial Benny Handoko memberikan pendapat tentang siapa yang lebih mampu "mengkapitalisasi" kasus ini dan meraih keuntungan politik.

https://p.dw.com/p/1APHD
Foto: picture-alliance/dpa

Di Twitter, hari Pahlawan baru dirayakan seminggu kemudian. Pemberitaan soal penyadapan telepon Presiden SBY oleh intelijen Australia ramai dibicarakan di Twitter. Tipikal twitter, isu hangat dapat di-“spin” ke berbagai arah. Fitur retweet menjadikan Twitter sebagai media viral yang paling efektif. Pengguna Twitter merayakan twit-twit yang menurut mereka menarik atau sesuai pikiran mereka, dan menyebarkannya ke “follower” dengan me-retweet sambil menambahkan komentar seperti LOL (Laugh Out Loud).

Isu penyadapan telepon pemimpin negara sendiri bukanlah isu baru. Sejak November telah tersebar rumor bahwa Australia menyadap telepon pejabat negeri ini dan menjadikan Kedutaan Besar Australia di Jakarta sebagai tempat kegiatan intelijen. Rumor ini menjadi berita ketika ABC dan Guardian Australia melaporkan dokumen intelijen yang mereka terima, soal upaya penyadapan telepon Presiden SBY, istrinya dan beberapa pejabat tinggi lainnya oleh intelijen Australia. Dokumen ini berasal dari Edward Snowden, mantan kontraktor NSA (National Security Agency) Amerika Serikat.

Pembocoran yang dilakukan Snowden adalah yang terbesar dalam sejarah intelijen Amerika. Menciptakan tensi tak perlu antara AS dengan negara-negara sahabatnya, termasuk Jerman, Perancis, Spanyol, Inggris, China dan Brazil, yang bereaksi keras. Tidak ada pemimpin negara yang ingin disadap, terutama setelah Obama, di Berlin saat kampanye kepresidenannya yang pertama menjanjikan era baru yang mempromosikan “persahabatan yang akan saling mendengar, akan saling belajar, dan di atas semuanya, saling percaya” di antara negara-negara dunia. Reaksi pertama Kanselir Jerman, Angela Merkel saat tahu teleponnya disadap intelijen AS adalah "Trust needs to be rebuilt."

Presiden SBY sendiri bereaksi cukup keras setelah isu penyadapan itu diberitakan media di dalam negeri. Ia menarik Duta Besar untuk Australia, menghentikan sementara kerjasama di bidang militer dan intelijen, dan menggunakan pendekatan yang sama dengan Merkel dalam mempertanyakan kepercayaan antara “sahabat”. Hanya caranya yang sedikit berbeda, bila Merkel langsung menelepon dan “memarahi” Obama, SBY memilih mengirim surat komplain ke Perdana Menteri Australia.

Reaksi Australia sendiri cukup beragam. Ada yang menyalahkan pemerintah, namun ada juga yang menyalahkan reaksi Indonesia yang terlalu berlebihan. Mark Textor, pollster Partai Liberal yang juga orang dalamnya PM Tony Abbott, bahkan memprovokasi dengan twitnya yang menyebut Menteri Luar Negeri Indonesia mirip bintang film porno Filipina tahun 70-an. Bak menyiram api dengan bensin, twit inipun langsung beredar secara viral di antara pengguna Twitter Indonesia.

Reaksi balasan yang mengejek Mark Textor dan meluas kepada turis-turis Australia, dan orang Australia umumnya, tak dapat lagi dihindarkan, beredar dengan hashtag #GanyangAustralia, mulai dari yang serius sampai yang paling lucu.

PM Australia sendiri mencoba meredam isu ini dengan “no comment”. Ia mencoba menjelaskan bahwa operasi intelijen adalah normal dilakukan antar negara dan bukan hal yang bisa dibahas di ruang publik. Di dalam negerinya sendiri, Abbott mendapat kritik keras dari oposisi atas keengganannya meminta maaf ataupun menjanjikan hal tersebut tidak akan terulang. Bandingkan dengan reaksi Obama yang menjanjikan kepada Merkel secara personal bahwa penyadapan itu tak akan terjadi lagi di masa depan sambil mengindikasikan ia tidak tahu akan operasi penyadapan tersebut.

Seringkali hubungan antara negara ditentukan oleh hubungan personal antara pemimpin negaranya. Apalagi di era media sosial seperti ini, di mana berita tersebar secara instan dan terkadang dangkal, PR (public relationship) menjadi lebih penting daripada kepatutan politik. Abbott mungkin benar bahwa kebijakan “no comment” sudah sesuai dengan kepatutan politik, namun orang awam akan melihat hal tersebut sebagai “bad PR”. SBY kalau dilihat dari kacamata kepatutan politik hubungan antar negara bisa dinilai bereaksi terlalu berlebihan, namun orang awam akan melihatnya sebagai “good PR”. Bahkan kalangan pengguna Twitter aktif yang umumnya sering mencela Presiden, kali ini mendukung reaksinya. Sedangkan untuk twit reaksioner yang dilakukan Mark Textor, yang juga orang dekat Abbott, bisa disebut “PR nightmare.”

Untuk sementara ini, SBY berhasil memanfaatkan isu dengan baik. Selain mengangkat kembali isu nasionalisme di ruang publik satu tahun menjelang Pemilu, SBY juga meletakkan Australia di posisi bertahan dalam psywar ini.

Untuk seorang pemimpin yang sedang tidak populer, kesempatan membonceng isu nasionalisme bagaikan hadiah yang jatuh dari langit. Apapun akhir dari polemik ini, SBY tetap akan berakhir sebagai pihak pemenang, karena memanfaatkan isu ini untuk kepentingan dalam dan luar negeri.

Saat ini mestinya tim PR-nya sedang bekerja keras untuk mendapatkan hasil optimal dari kesempatan langka ini. Media sosial, terutama Twitter mesti dieksploitasi penuh. Terutama karena sifatnya yang viral dan tidak terlalu mementingkan substansi, sentimen-sentimen nasionalisme dapat mudah diprovokasi. Jendela waktu untuk melakukan ini tidak tersedia lama di media sosial, karena biasanya satu isu akan padam dalam hitungan minggu atau hari. Untuk seorang pemimpin yang sedang berusaha keras menaikkan popularitasnya, hari-hari berikutnya adalah kesempatan emas.

Bagi SBY, barangkali Edward Snowden adalah pahlawan.

Benny Handoko, Blogger dan komentator sosial.

Twitter: @benhan