1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Ambisi Turki di Laut Tengah Picu Ketegangan dengan Eropa

25 Agustus 2020

Turki mengklaim sebagian wilayah perairan Yunani sebagai miliknya dan sebabnya berisiko mendapat sanksi dari Uni Eropa. Klaim nasionalistik dari Ankara berkaitan dengan penemuan cadangan gas bumi yang besar.

https://p.dw.com/p/3hQGs
Kapal riset Turki, Oruc Reis, terlihat berlayar ke kawasan timur Laut Tengah, diiringi oleh armada kecil kapal perang (10/8).
Kapal riset Turki, Oruc Reis, terlihat berlayar ke kawasan timur Laut Tengah, diiringi oleh armada kecil kapal perang (10/08).Foto: picture-alliance/dpa/IHA

Ambisi Turki berekspansi ke Laut Tengah, antara lain lewat pengeboran gas yang kontroversial, retorika nasionalistik dan pengiriman kapal perang, dimanifestasikan di dalam doktrin "Mavi Vatan” atau "kampung halaman biru” yang membidik kawasan perairan milik jiran Uni Eropa.

Pekan lalu Ankara mengirimkan sebuah kapal riset dan armada kecil kapal perang ke perairan Yunani yang diklaim milik Turki. Di sana kapal itu dikabarkan melakukan eksplorasi gas alam yang diyakini berlimpah.

Padahal, baru Jumat (21/08) silam, Presiden Recep Tayyip Erdogan mengumumkan Turki berhasil menemukan cadangan gas alam terbesar di Laut Hitam. "Allah membukakan pintu untuk kemakmuran bagi kita,” kata dia yang disambut tepuk tangan pengunjung yang hadir.

Penemuan tersebut tidak menyurutkan niat Turki melirik perairan di selatan untuk mencari sumber energi baru. Kebijakan itu memicu ketegangan baru dengan Yunani dan memanen sejumlah peringatan keras oleh Uni Eropa.

Perancis yang sudah bersitegang dengan Turki di Libya dan Timur Tengah, mengirimkan kapal perangnya ke perairan Yunani. Erdogan sontak memperingatkan pihaknya akan membalas setiap bentuk serangan bersenjata.

Isu ini, demikian kata erdogan, bukan cuma "perjuangan demi hak atas masa depan Turki,” ujarnya.

Akses terhadap sumber daya alam

Kritikus mengatakan, doktrin kelautan yang digunakan Turki menciptakan disrupsi untuk memaksakan kepentingan sendiri. Mavi Matan ditulis oleh seorang bekas admiral, Cem Gurdeniz, saat dia menjabat Kepala Divisi Perencanaan Kebijakan pada 2006 silam. Melalui doktrin itu, dia menggugat ketidakadilan pembagian wilayah teritorial di timur Laut Tengah, meski Turki memiliki daratan yang lebih luas ketimbang Yunani di perairan tersebut.

Visi Gurdeniz berpusar pada klaim wilayah seluas 460.000 kilometer per segi wilayah perairan Turki, termasuk perairan yang mengelilingi sejumlah pulau-pulau Yunani. Dukungan warga terhadap doktrin tersebut menguat seiring dengan kebangkitan nasionalisme.

"Kampung halaman biru adalah simbol maritimisasi Turki," kata Gurdeniz kepada AFP, sebuah konsep yang "berusaha mendefinisikan kedaulatan maritim di area-area yang mengelilingi Turki."

Mei 2019 silam, militer Turki menggelar latihan perang di timur Laut Tengah, dengan melibatkan 131 kapal perang, 57 jet tempur dan 33 helikopter.
Mei 2019 silam, militer Turki menggelar latihan perang di timur Laut Tengah, dengan melibatkan 131 kapal perang, 57 jet tempur dan 33 helikopter. Foto: picture-alliance/AA/T. T. Eroglu

Dia meyakini pemerintah harus mengamankan akses ke kawasan-kawasan tersebut untuk menjamin kemakmuran, pertahanan dan keamanannya, "bahkan untuk menjamin kebahagiaannya," lanjut Gurdeniz.

Ketiadaan perjanjian perbatasan antara Turki dengan Yunani dan Siprus, mempercepat eskalasi konflik ketika eksplorasi tambang selama satu dekade terakhir menemukan cadangan gas alam yang besar di timur Laut Tengah. "Deliminasi Zona Ekonomi Ekslusif di Laut Aegea dan di Timur Laut Tengah adalah isu yang dengan sengaja diabaikan oleh pemerintah-pemerintah di kawasan," kata Muzaffer Senel, Guru Besar di Universitas Sehir, Istanbul, Turki.

"Karena isu ini lebih sulit untuk ditanggulangi dan ongkos politiknya sangat tinggi." Menurutnya Mavi Vatan adalah "kartu tawar buat Ankara," dan dengan "menerbitkan peta ini, Ankara sudah mendeklarasikan posisinya di meja perundingan."

Isolasi politik terhadap Ankara

Turki saat ini terisolasi secara politik di kawasan. Tahun lalu Siprus, Yunani, Mesir, Yordania, Italia, dan Palestina sepakat membentuk "Forum Gas di Timur Laut Tengah," tanpa melibatkan Ankara.

Yunani dan Turki sebenarnya sudah menjalin "perundingan percobaan" antara 2002 dan 2016 terkait Laut Aegea. Tapi menurut seorang sumber di lingkaran diplomasi Turki, perundingan tersebut dibatalkan atas permintaan Athena.

Turki mengatakan Presiden Erdogan sudah berupaya melanjutkan perundingan dengan Perdana Menteri Kyriakos Mitsotakis di sela-sela Sidang Umum PBB dan KTT Nato di London, 2019 lalu. Tapi "Yunani tidak menerima tawaran itu dan sebaliknya menggunakan Uni Eropa untuk melawan Turki. Ini tidak benar," kata seorang pejabat Turki kepada AFP.

Perjanjian maritim yang dibuat oleh Turki dan Libya pada November 2019 lalu semakin meruncingkan situasi. Perjanjian itu mencakup perbatasan laut yang menurut Yunani ikut melahap Pulau Kreta yang dimilikinya.

Kepada kantor berita AFP, seorang diplomat barat menyebut situasi di kawasan sedang "panas" dan mewanti-wanti, "kalkulasi keliru akan memicu konsekuensi yang serius."

Tapi Erdogan "adalah seorang pragmatis dan tahu ketegangan berkelanjutan tidak baik," kata sang diplomat lagi, sembari merujuk pada potensi sanksi ekonomi negara barat yang bisa melukai mata uang Lira.

Namun meski demikian, bekas admiral Turki, Gurdeniz, bersikeras posisi Ankara tidak bisa ditawar lagi. "Bahkan jika Turki seorang diri dalam pertempuran ini," dan bahkan jika sanksi dijatuhkan," Turki tidak akan menyerah," katanya.

rzn/rap (afp, rtr)