1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Aktivis Iklim Gunakan TikTok untuk Sebarkan Isu Lingkungan

Claire Wiley
19 Mei 2021

Sejumlah eco-influencer muda membuat video di media sosial TikTok tentang banyak hal, mulai dari sampah hingga informasi mengenai hak-hak alam. Tayangan tersebut menjadi viral karena telah ditonton jutaan pengguna.

https://p.dw.com/p/3taL0
Carissa Cabrera
Ahli biologi kelautan, pendidik, dan anggota EcoTok, Carissa Cabrera, menjangkau jutaan orang dengan video mengenai lingkungan dan iklimFoto: Privat

Carissa Cabrera, influencer lingkungan milenial pada Maret lalu memposting video di TikTok mengenai banjir besar di dekat rumahnya di Hawaii, sebagai tanggapan atas sebuah komentar yang berbunyi "perubahan iklim tidak nyata."

Video berdurasi 10 detik tersebut telah ditonton lebih dari 300.000 kali.

Cabrera adalah ahli biologi kelautan dan anggota EcoTok, kumpulan influencer muda yang memposting video di media sosial TikTok tentang topik lingkungan dan iklim, limbah makanan, keanekaragaman hayati dan daur ulang.

EcoTok diluncurkan pada Juli 2020 setelah siswa sekolah menengah Las Vegas, Alex Silva, memposting video tentang sampah dengan caption "ecofreako."

Carissa Cabrera
Carissa Cabrera melihat TikTok sebagai alat informasi yang berhargaFoto: Privat

Seperti kebanyakan pengguna TikTok, EcoTokers memposting konten bertempo cepat yang menampilkan soundtrack ceria, tarian, dan teks warna-warni untuk membuat pesan hijau mereka menjadi viral. Mereka bukan satu-satunya aktivis lingkungan yang melakukannya. Influencer muda lainnya menjangkau jutaan orang dengan postingan serupa.

Membuat "pesan hijau" viral

Video yang diunggah Cabrera telah diunduh lebih dari 2 miliar kali, sebagian besar dilakukan oleh generasi Z. Video yang diposting akun "carissaandclimate" telah disukai lebih dari satu juta kali.

"TikTok bukan hanya sekedar aplikasi media sosial; tapi itu juga bisa menjadi sumber pembelajaran. Gen Z menginginkan alat dan sumber daya, dan mereka menginginkannya dengan cara yang menyenangkan," kata Cabrera, yang bekerja dengan The Conservationist Collective, sebuah perusahaan kecil yang mempromosikan perlindungan laut.

Untuk meningkatkan peluang menjadi viral, Cabrera membuat videonya berdurasi di bawah 30 detik dan menarik perhatian pemirsa di tiga detik pertama.

Tiga tangkapan layar video dari EcoTok
Eco-influencer muda menggunakan TikTok untuk menyampaikan pesan hijau mereka

Cabrera ingin membuat sesuatu yang berkesan, dapat ditonton ulang, dan dapat dibagikan, dengan tujuan memobilisasi orang.

Sophie Moore, seorang siswa sekolah menengah berusia 18 tahun dan pengguna TikTok di California, aktif dalam berbagai masalah lingkungan dan keadilan sosial. Namun, Moore menganggap platform tersebut bukanlah tempat untuk aktivis iklim.

"Saya kira kebanyakan orang menggunakan TikTok sebagai bentuk hiburan tanpa banyak pikiran, untuk kabur dari kegiatan sekolah,” ujarnya.

Dorong aktivitas politik di dunia nyata

Di sisi lain, beberapa bukti menunjukkan bahwa TikTok dapat mendorong pengorganisasian politik akar rumput. Pada Juni 2020, ratusan remaja pengguna TikTok mengatakan mereka memiliki andil dalam upaya menyabot kampanye massal mendukung Presiden AS Donald Trump. Mereka melakukan registrasi online dan memesan ribuan tiket untuk hadir, namun kemudian tidak ada satupun yang muncul saat Trump berkampanye di stadion.

TikTok
Aplikasi TikTok digandrungi anak-anak mudaFoto: picture-alliance/F. May

Di Indonesia, generasi muda memanfaatkan aplikasi tersebut untuk memprotes reformasi undang-undang ketenagakerjaan.

Sander van der Linden, profesor psikologi sosial dalam masyarakat di Universitas Cambridge di Inggris dan pemimpin redaksi "Journal of Environmental Psychology" mengatakan, kampanye media sosial yang viral "dapat menghasilkan tindakan" jika mereka melakukan tiga hal utama: mengerahkan "pengaruh sosial" dengan menantang orang lain untuk bergabung, mendukung tujuan moral, dan menimbulkan emosi.

Namun, efeknya tidak bertahan lama, demikian menurut penelitiannya tentang topik tersebut. Misalnya, tantangan mengguyur diri sendiri dengan ember yang dipenuhi air es untuk meningkatkan kesadaran akan ALS. Aksi itu menarik banyak perhatian, tetapi hanya bertahan dalam waktu yang singkat.

Meskipun demikian, Asosiasi ALS mengatakan bahwa mereka dapat meningkatkan pendanaan penelitian tahunan sebesar 187% berkat $ 115 juta (Rp 1,6 triliun) yang dikumpulkan dari tantangan tersebut.

Anak-anak muda saling menyiram ember berisi air es
Kampanye media sosial dapat mengarah pada tindakan nyata, seperti tantangan ember es ALSFoto: Elise Amendola/AP Photo/picture alliance

Dampak gelombang informasi yang salah

Van der Linden menambahkan, informasi yang salah tentang perubahan iklim di media sosial umumnya dapat memiliki konsekuensi yang sangat besar, karena "jika Anda menyesatkan orang, hal itu dapat menimbulkan konsekuensi yang luar biasa."

Greta Thunberg
Orang yang akrab dengan Greta Thunberg lebih cenderung terlibat dalam aksi kolektif, menurut van der LindenFoto: Reuters/D. Martinez

Informasi yang salah itu tersebar luas dan mencakup segala hal mulai dari energi terbarukan hingga konsensus ilmiah tentang perubahan iklim. "Ini benar-benar mencakup seluruh spektrum dan itulah mengapa sangat sulit untuk ditangani," katanya.

Hal itu adalah sesuatu yang disadari oleh Cabrera dan tim EcoTok. Setiap video yang dibagikan, sebelumnya sudah dikoreksi oleh para anggota tim. Tentunya tidak semua konten iklim di TikTok mengalami proses pemeriksaan yang sama.

EcoTok dan Cabrera juga mencoba menghindari konten "malapetaka dan kesuraman," sambil menyampaikan urgensi krisis. Itu sebabnya Cabrera biasanya menyertakan tugas sederhana di dalam setiap postingannya.

"Kami membutuhkan setiap orang untuk menjadi pencinta lingkungan," katanya. "Orang-orang perlu merasa termotivasi dan terinspirasi untuk melakukan itu, alih-alih merasa bersalah karenanya. Tetapi ada kekurangannya, karena ini adalah keadaan darurat iklim. Kami tidak punya banyak waktu." (ha/as)