1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

The Mother of All Summer

10 Februari 2014

Indonesia adalah negeri pecandu Sepakbola. Meski tak pernah ikut Piala Dunia pesta penyambutan kita atas kompetisi itu tak kalah meriah dibanding raksana Sepakbola, kata sutradara dan penulis Andibachtiar Yusuf.

https://p.dw.com/p/1B5yk
Foto: Monirul Bhuiyan/AFP/Getty Images

Brasil adalah negara dengan rasa gila pada Sepakbola yang cukup tinggi. Di setiap tingkat kelurahan bisa terdapat 5 sampai 9 Sekolah Sepakbola (SSB). Jumlah pemain profesional luar biasa banyak, nyaris tak ada orang termasuk perempuan yang tidak bermain Sepakbola. Liga mereka beragam, mulai dari tingkat nasional, negara bagian sampai sekedar tingkat kecamatan. Tapi di sana berita Sepakbola dunia jelas tidak segemerlap apa yang diberikan oleh media kita pada publiknya.

“Sebelum datang ke Indonesia, saya tidak tahu apa itu Manchester United, Liverpool, AC Milan atau bahkan Real Madrid,” ujar Jacksen F Thiago, pelatih Persipura yang pernah membesut tim nasional kita yang datang ke Indonesia pada 1994, era dimana globalisasi Sepakbola belum benar-benar terjadi di bagian dunia sebelah sana, tapi sudah terjadi di Indonesia.

Indonesia bersiap sungguh hebat di setiap edisi Piala Dunia, setiap produk siap mempromosikan diri mereka dengan atribut Piala Dunia, seolah kita adalah bagian dari itu semua. Di kuartal kedua gelaran Piala Dunia atau Piala Eropa dan segala perhelatan di Eropa, media-media promosi akan menayangkan produk-produk yang memperkenalkan dirinya seolah kita adalah sang juara dunia.

Respon masyarakat pun tak pernah berada di level rendah. Sama seperti yang terjadi di negeri-negeri dengan kekuatan Sepakbola disana, mereka yang tak tahu apa itu Sepakbola siap berbaur dengan para penggila untuk bersama merasakan pesta besar yang memang hanya terjadi 4 tahunan ini. Hak siar siaran langsung menjadi rebutan dan kemudian entah kenapa selalu dibeli jauh lebih tinggi ketimbang transaksi yang terjadi di kebanyakan negara.

Hanya dalam hitungan bulan, “the mother of all summer” Piala Dunia akan kembali digelar dengan Brasil sebagai sang tuan rumah. Negeri yang selalu menyebut diri mereka sebagai “the nation that develop Football into advance with style” paham betul seperti apa memperlakukan Sepakbola dengan baik. Terlepas dari segala protes yang kini sungguh membahana di negeri samba, Brasil tak hanya bersolek, tapi juga berada dalam taraf membuktikan bahwa benarlah mereka negara Sepakbola dengan jumlah pemain aktif, ekpor pemain, cara bermain, fanatisme, pemahaman terhadap dimensi-dimensi Sepakbola sampai dengan cara mereka mengapresiasi Sepakbola adalah yang terbaik di dunia.

Setelah Jerman 2006 sukses memperlakukan Sepakbola sebagai sebuah cabang dari seni dan budaya modern, Brasil 2014 adalah tempat bangsa Brasil untuk memamerkan diri pada dunia bahwa seni Sepakbola berada di tempat tertinggi disana. Namun pertanyaannya adalah, jika Seleccao kemudian terpaksa takluk sebelum babak final, akankah pesta dan festival besar itu usai sebelum waktunya seperti yang terjadi di Afrika Selatan 4 tahun lalu?

Sebuah pertanyaan besar…sementara itu di Indonesia yang terbelah 34 jam penerbangan Jakarta-Rio pesta itu dijamin tak akan benar-benar selesai sampai sekitar 7 jam setelah peluit panjang partai final di Rio dibunyikan. “Bahkan saat Spanyol yang bahasanya tidak kalian kuasai saja, pawai di jalan tetap terjadi,” ujar Nandi keheranan 4 tahun lalu….beberapa saat setelah di Johannesburg tim Matador mampu menggondol gelar juara dan penjuru Indonesia termasuk Jakarta berpesta seolah kitalah sang juara.

Andibachtiar Yusuf

Filmmaker & Football Reverend

@andibachtiar