1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Kebebasan PersGlobal

Siapa Maria Ressa, Jurnalis Pemenang Nobel Perdamaian?

9 Oktober 2021

Penghargaan Nobel Perdamaian bagi Maria Ressa dianggap sebagai pengakuan bagi perjuangan demi kebebasan pers. Siapa jurnalis Filipina yang sudah sepuluh kali ingin ditangkap, dan dimusuhi Presiden Rodrigo Duterte itu?

https://p.dw.com/p/41RSl
Maria Ressa
Maria RessaFoto: Getty Images/AFP/N. Celis

Ketika Maria Ressa memenangkan penghargaan Nobel Perdamaian 2021 pada Jumat, (08/10), dia sedang menghadapi dakwaan pencemaran nama baik, serta lusinan dakwaan hukum lain terhadap medianya, Rappler. 

Pada kasus terakhir, Ressa terancam hukuman penjara selama enam tahun jika dinyatakan bersalah.

Saat ini dia masih bebas berkat uang jaminan sebesar seratus ribu Peso. Sedemikian banyak kasus hukum yang menjerat sosok Time Person of The Year 2018 itu, berarti "Maria Ressa harus membayar lebih banyak uang jaminan ketimbang Imelda Marcos,” kelakar harian Manila, Spot, ketika dia dibebaskan pada 2020 lalu.

Gelombang dakwaan hukum terhadap Ressa dan Rappler banyak berkaitan dengan laporan mereka seputar kebijakan Presiden Rodrigo Duterte, terutama dalam perang melawan narkoba. 

Maria Ressa dalam sampul majalah Time Person of The Year 2018
Maria Ressa dalam sampul majalah Time Person of The Year 2018Foto: Time Magazine/AP Photo/picture alliance

Sang presiden menuduh Rappler melanggar larangan kepemilikan asing di media, serta melakukan pencemaran nama baik dan penggelapan pajak. Suatu kali, Duterte menyebut mereka sebagai "saluran kabar bohong.”

Penghargaan Nobel Perdamaian sebabnya diharapkan bisa menjaring perhatian global pada perjuangan kebebasan pers di FIlipina.

"Demi melanjutkan apa yang sudah kami kerjakan, Rappler setiap hari hidup di bawah ancaman penutupan, kami terperangkap pasir hisap,” kata Ressa dalam pidatonya yang disiarkan langsung saat upacara penyerahan penghargaan di Oslo, Norwegia, Jumat (08/10).

"Apa yang harus kami lakukan sebagai jurnalis adalah bertahan,” imbuhnya.

Maria Ressa: "Kematian lewat seribu tusukan”

Pemerintah di Manila bersikeras tidak terlibat dalam gelombang dakwaan hukumterhadap Ressa dan Rappler. Meski berstatus warga negara Amerika Serikat, dia menolak pulang dan mengaku akan tetap bertahan di Filipina.

"Saya bukan reporter,” katanya dalam wawancara dengan AFP tahun lalu. "Tugas saya adalah menopang atap, sudah begitu sejak lama... supaya wartawan kami bisa terus bekerja.”

Saat ini dua dakwaan pencemaran nama baik terhadap Ressa sudah digugurkan pengadilan pada awal 2021 lalu. "Dalam dua tahun, pemerintah FIlipina menerbitkan sepuluh perintah penahanan terhadap saya. Situasinya seringkali sangat sulit,” akunya Jumat lalu.

Dia mendirikan Rappler awalnya sebagai sebuah laman di Facebook. Sebagai pemimpin redaksi, dia terbiasa mendapatkan 90 pesan bernada ancaman setiap jamnya, kisahnya suatu waktu di 2016.

Ancaman semakin marak beberapa bulan setelah Duterte naik kuasa, dan melancarkan perang berdarah melawan narkoba. Hingga kini, kampanye pembersihan oleh kepolisian Filipina diyakini sudah menewaskan puluhan ribu orang, kebanyakan pecandu, bukan pengedar.

Bagi Ressa sendiri, ancaman oleh otoritas bukan hal baru. Sebelum mendirikan Rappler, dia bekerja sebagai wartawan perang di sejumlah wilayah konflik di dunia.

"Saya memulai sebagai reporter pada tahun 1986 dan sudah bekerja di banyak negara di dunia, saya sudah pernah ditembak dan diancam dengan pembunuhan, tapi tidak pernah diancam mati dengan seribu tusukan seperti ini,” katanya tahun lalu.

Dia bersikeras tidak ingin menyerah memperjuangkan kebebasan pers, katanya saat menerima penghargaan, Jumat kemarin. "Kita harus terus menjadi cahaya di tengah kegelapan,” tuturnya. "Kami harus terus melakukan jurnalisme demi akuntabilitas.”

rzn/ts (afp,rtr)