1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya

Mengenali Kembali Pesona Raflesia, Bunga Terbesar di Dunia

Betty Herlina (Bengkulu)
18 Januari 2022

Tiap kali mekar, bunga raflesia menarik perhatian turis yang penasaran dengan puspa langka berukuran raksasa ini. Namun konon raflesia dihindari masyarakat adat setempat, mengapa?

https://p.dw.com/p/45dej
Bunga raflesia di Bengkulu
Bunga raflesia mekar sempurna di BengkuluFoto: Sofian

Masyarakat Bengkulu dan sekitarnya pada pekan lalu kembali dapat menikmati keunikan bunga raflesia yang mekar di Desa Ulak Bandung, Kabupaten Kaur, Bengkulu. Bunga ini mekar sempurna sejak Selasa (11/01). Dari desa terdekat, orang cukup menempuh jarak 200 meter untuk sampai di kawasan konservasi tempat puspa langka ini mekar.

Rafflesia bengkuluensis, bunga yang baru saja mekar itu memiliki diameter 50 cm, setiap helai kelopaknya berukuran 15-19 cm. Berwarna oranye tua atau merah bata dengan bercak putih. Raflesia jenis ini pertama kali ditemukan di Bengkulu tahun 2005 di Desa Padang Guci, Kabupaten Kaur, oleh peneliti raflesia sekaligus akademisi dari Universitas Bengkulu, Agus Susetya, bersama dua rekannya Arianto dan Mat Saleh dari Universitas Kebangsaan Malaysia.

"Masih ada 5 bongkol lagi yang akan mekar dalam waktu satu bulan ke depan," ujar Antony, anggota Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL), kepada DW Indonesia.

Tidak ada tarif khusus untuk mengunjungi lokasi konservasi. Cukup membayar sukarela, pengunjung bisa berfoto sepuasnya dengan bunga ini. Sumbangan yang terkumpul akan digunakan oleh KPPL setempat untuk konservasi.

"Yang penting pengunjung tidak merusak bunga, tidak menginjak atau mencorat-coret karena bunga ini rentan," Antony mengingatkan.

Parasit sempurna

Provinsi Bengkulu memiliki kondisi alam dengan hutan yang relatif lembab dan basah. Tutupan lahan dengan pohon-pohon besar menjadikan hutan daerah ini berhawa sejuk. Ini membuat Bengkulu endemik bunga raflesia.

Sejauh ini diketahui ada 27 jenis raflesia di seluruh dunia, 5 di antaranya ditemukan di Bengkulu. Yakni, Rafflesia arnoldii, Rafflesia gadutensis, Rafflesia haseltii, Rafflesia bengkuluensis dan Rafflesia kemumu.

Kepada DW Indonesia, Agus Susetya yang merupakan penemu salah satu jenis raflesia mengatakan bahwa bunga ini adalah parasit sempurna. Raflesia tidak memiliki daun, batang, maupun akar. Jadi kehidupannya bergantung pada nutrisi yang diserap dari inang, atau tempat menempel biji bunga tersebut.

Bunga raflesia memiliki apa yang disebut haustorium yang berfungsi mirip akar untuk menghisap sari makanan dari inang. Biasanya yang menjadi inang bagi bunga ini adalah pohon-pohon berukuran besar. 

"Siklus dari biji menempel ke inang sampai mekar sempurna itu bisa membutuhkan waktu 2,5 sampai 3 tahun. Proses bunga mekar sempurna hanya 7 hari. Setelahnya bunga membusuk," kata Agus.

Bau, tapi bukan bunga bangkai

Bunga raflesia mekar tidak mengenal musim. Setiap bulan selalu saja ada raflesia yang mekar di wilayah berbeda. Selama proses mekar sempurna, raflesia akan mengeluarkan bau yang menyengat, busuk. Bau inilah yang menyebabkan serangga seperti lalat mendekat.

Jenis kelamin bunga raflesia dibedakan menjadi dua, jantan dan betina. Ini ditunjukan dengan ada tidaknya buah ketika bunga tersebut membusuk dan mati. Bunga jantan tidak meninggalkan buah, sedangkan bunga betina meninggalkan buah seukuran kepalan tangan manusia.

"Buah ini biasanya dimakan oleh hewan, seperti tupai atau kancil. Kemudian hewan tersebut menggigit inang, dan meninggalkan biji. Ini menjadi dugaan kita terkait proses penyebaran bunga raflesia, karena sampai saat ini masih belum ada penelitian yang bisa menjawabnya," terang Agus.

Bunga raflesia pertama kali ditemukan pada tahun 1818 oleh ahli botani dari Inggris Dr. Joseph Arnold. Saat itu, Dr. Arnold yang tengah melakukan ekspedisi ke hutan Sumatera bersama Gubernur Bengkulu kala itu, Sir Thomas Stamford Raffles, menemukan bunga raksasa berwarna merah dengan diameter 110 cm di Desa Pulo Lebar di Kabupaten Bengkulu Selatan. Temuan tersebut akhirnya diabadikan dengan nama Rafflesia arnoldii.

Bunga ini juga ditetapkan sebagai puspa langka sesuai Keppres RI No 4 Tahun 1993, tentang Satwa dan Bunga Nasional. Bunga ini juga dilindungi UU RI No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya alam Hayati dan Ekosistem. 

"Rafflesia arnoldii ini yang terbesar, diameternya mulai dari 80-110 cm, semakin dingin lokasi tumbuhnya, diameternya akan semakin besar. Di Bengkulu, Rafflesia arnoldii ini banyak di daerah pegunungan, dengan diameter mencapai 100 cm," Agus bercerita kepada DW Indonesia.

Justru dihindari masyarakat adat setempat

Bagi sejumlah suku di Bengkulu, bunga raflesia dikenal mengandung unsur mistis. Masyarakat lebih memilih untuk menghindari bunga tersebut bila ditemukan mekar di dalam hutan. Suku Rejang misalnya, suku yang mendiami daerah perbukitan mulai dari Kabupaten Bengkulu Tengah, Kepahiang, Rejang Lebong dan Lebong, menamakan bunga ini sebagai bungei sekedei atau bunga bokor setan. Bentuk bunga yang mirip tempat sirih atau bokor, diyakini menjadi tempat sirihnya para penunggu hutan, seperti makhluk gaib atau harimau. Ada pula yang menyebutnya Ibeun Sekedei atau Cawan Hantu.

Pengunjung memotret keindahan bunga raflesia di Bengkulu
Bunga raflesia tumbuh di kawasan hutan yang berhawa sejuk. Karena itu, pemanasan global menjadi ancaman bagi puspa yang sudah langka ini.Foto: Sofian

Tak jauh berbeda dengan Suku Serawai, yang mendiami daerah selatan Provinsi Bengkulu. Bunga raflesia kerap disebut begiang simpai atau bunga monyet. Penamaan tersebut merujuk pada keanehan bunga yang tumbuh tanpa mengenal musim serta tidak memiliki akar dan daun. Sebagian menyimpulkan bunga raflesia muncul dari sisa makanan monyet.

"Baik Suku Rejang dan Serawai, percaya bunga ini akan menimbulkan bala, tidak membawa keberuntungan karena ada unsur mistisnya, sehingga masyarakat memilih menghindarinya," ungkap Sofian, Ketua Komunitas Peduli Puspa Langka (KPPL).

Terancam punah

Agus Susetya mengatakan bunga raflesia terancam punah. Hingga saat ini belum ada penelitian yang bisa menjawab bagaimana proses reproduksi bunga ini. Untuk bereproduksi, bunga raflesia memerlukan bunga jantan dan bunga betina dalam proses penyerbukan. Namun menurut peneliti raflesia Agus Susetya, kebanyakan bunga mekar adalah bunga jantan bila dibandingkan dengan betina. Perbandingannya bisa 9:1. Artinya, dari 10 bunga yang mekar, 9 adalah bunga jantan dan satu bunga betina.

"Ini masih memerlukan penelitian lagi, bagaimana proses inokulasinya," kata Agus.

Konversi lahan hutan menjadi lahan perkebunan juga menjadi ancaman terbesar bagi habitat bunga raflesia. Ditambah lagi perubahan iklim. Sejumlah tempat yang dulunya kerap didapati bunga raflesia mekar saat ini mulai tidak ditemukan lagi.

"Konservasi insitu (di tempat, red.) ini menjadi solusi. Melakukan pengecekan rutin lokasi-lokasi yang sering ditemukan bongkol raflesia. Ketika ada, langsung dijaga, jangan sampai dirusak," demikian ujar Agus. (ae)