1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Penegakan Hukum

AS Setujui Pembebasan Tahanan Tertua Guantanamo

18 Mei 2021

Pria asal Pakistan, Saifullah Paracha, adalah tahanan tertua di kamp penahanan Guantanamo. Setelah lebih 16 tahun ditahan, pemerintah AS menyetujui pembebasannya, Senin (17/05). Sedangkan nasib Hambali masih belum jelas.

https://p.dw.com/p/3tXAC
Saifullah Paracha
Setelah lebih dari 16 tahun dipenjara, Amerika Serikat menyetujui pembebasan tahanan tertua Guantanamo asal Pakistan, Saifullah ParachaFoto: Counsel to Saifullah Paracha/AP Photo/picture alliance

Saifullah Paracha, 73 tahun, tidak pernah dituduh melakukan kejahatan, tetapi dia dicurigai memiliki keterkaitan dengan al-Qaeda. Shelby Sullivan-Bennis, yang mewakili Paracha saat persidangan pada November lalu, mengatakan bahwa dewan peninjau tahanan membebaskan Saifullah Paracha dan dua pria lainnya.

Pembebasan tersebut tidak disertai alasan rinci, hanya menyimpulkan bahwa Paracha "bukan ancaman berkelanjutan" bagi AS, kata Sullivan-Bennis.

Meski sudah diputuskan, tidak berarti hari kebebasan Paracha akan terjadi dalam waktu dekat. Namun, keputusan tersebut menjadi langkah penting sebelum pemerintah Amerika Serikat merundingkan perjanjian repatriasi dengan Pakistan untuk kepulangan Paracha. Pemerintahan Presiden Joe Biden mengatakan pihaknya bermaksud untuk melanjutkan upaya untuk menutup Guantanamo, proses yang sempat dihentikan oleh mantan Presiden Donald Trump.

Pengacara Paracha memprediksi kliennya akan bebas dan bisa pulang ke rumahnya dalam beberapa bulan ke depan. "Pakistan menginginkan dia kembali, dan pemahaman kami tidak ada halangan untuk dia pulang," katanya.

Saifullah Paracha adalah satu dari 40 tahanan yang masih ditahan di Guantanamo. Dengan keputusan dewan peninjau terbaru ini, saat ini ada sekitar sembilan orang yang ditahan di Guantanamo yang telah disetujui untuk dibebaskan.

Ditahan tanpa tuduhan

Sebelumnya, Paracha telah menetap di Amerika dan memiliki properti di New York. Dia adalah seorang pengusaha kaya di Pakistan.

Pihak berwenang menuduhnya sebagai "fasilitator" al-Qaeda yang membantu dua konspirator dalam tragedi 11 September 2001. Paracha membantah mengetahui jaringan al-Qaeda dan menyangkal dugaan keterlibatan dalam tindak terorisme. Paracha kemudian ditahan di Guantanamo sejak September 2004.

Pada November lalu, Paracha, yang menderita sejumlah penyakit termasuk diabetes dan penyakit jantung, tampil di hadapan dewan peninjau, yang didirikan di bawah pemerintahan Presiden Barack Obama. Saat itu, pengacaranya mengatakan Paracha lebih optimis akan prospek pembebasannya, didukung oleh kemenangan Biden, kesehatannya yang memburuk, dan perkembangan kasus hukum yang melibatkan putranya, Uzair. Pada Maret 2020, Uzair Paracha dibebaskan dan dipulangkan kembali ke Pakistan.

Nasib tahanan asal Indonesia Hambali belum jelas

Selain Paracha, dewan peninjau tahanan juga menyetujui pembebasan Utsman Abd al-Rahim Uthman, pria asal Yaman yang telah ditahan tanpa dakwaan di Guantanamo sejak Januari 2002. Pengacaranya, Beth Jacob, menginformasikan kabar baik itu melalui sambungan telepon. "Dia senang, lega, dan berharap ini benar-benar akan mengarah pada pembebasannya," kata Jacob.

Bagaimana nasib warga Indonesia Hambali alias Riduan Isamuddin, yang disebut-sebut sebagai Osama bin Laden Asia, masih belum jelas. Hambali yang aslinya bernama Encep Nurjaman dan merupakan tokoh utama Jemaah Islamiah di bawah pimpinan Abu Bakar Ba'asyir menjadi buron utama Indonesia dan AS setelah peristiwa Bom Bali. Dia ditangkap di Thailand tahun Agustus 2003 dekat Bangkok.

Polisi Thailand menangkap Hambali ketika sedang mengusut rencana serangan bom ke KTT APEC Bangkok. Thailand lalu menyerahkan Hambali, yang ketika ditangkap menggunakan paspor Spanyol, kepada dinas rahasia AS, CIA, yang membawanya ke Afghanistan, kemudian ke kamp tahanan Guantanamo.

ha/hp (AP)

Encep Nurjaman alias Hambali alias Riduan Isamuddin, 2003
Encep Nurjaman alias Hambali alias Riduan Isamuddin (foto 2003) alas Indonesia yang masih ditahan AS di GuantanamoFoto: picture-alliance/AP/Indonesian National Police