1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
TerorismeAmerika Utara

Warisan yang Menghantui Itu Bernama Guantanamo

13 Februari 2021

Penjara Guantanamo dengan cepat berkembang menjadi mimpi buruk politik dan kemanusiaan. Keberadaannya pun terus menghantui masa kerja presiden-presiden AS pada pemerintahan berikutnya.

https://p.dw.com/p/3pJIQ
Tahanan di kamp Guantanamo, Kuba
Tahanan di kamp Guantanamo, KubaFoto: picture-alliance/dpa/R. Schmidt

Pemerintahan Presiden Amerika Serikat Joe Biden pada hari Jumat (13/02) mengeluarkan tinjauan resmi terhadap penjara militer Amerika Serikat di Teluk Guantanamo di Kuba, dengan maksud menutup fasilitas kontroversial tersebut sebelum masa jabatannya berakhir.

Gedung Putih memang belum menentukan batas waktu kepastian penutupan Guantanamo, namun Sekretaris Pers Gedung Putih, Jen Psaki, mengatakan peninjauan tersebut akan bersifat "kuat" dan akan membutuhkan banyak partisipasi pejabat dari Departemen Pertahanan, Departemen Kehakiman, dan lembaga lainnya.

"Ada banyak pemain dari berbagai lembaga yang perlu menjadi bagian dari diskusi kebijakan tentang langkah ke depan ini," ujar Psaki.

Sementara Menteri Pertahanan Lloyd Austin mengatakan rekomendasinya atas penutupan Guantanamo dalam kesaksian tertulis untuk konfirmasi Senatnya. "Guantanamo telah memberi kita kemampuan menegakkan hukum penahanan perang untuk menjauhkan musuh-musuh kita dari medan perang, tapi saya yakin sudah waktunya fasilitas penahanan di Guantanamo ditutup," kata Austin.

Saat ini, Guantanamo masih menampung sekitar 40 tahanan, 26 di antaranya dianggap terlalu berbahaya untuk dibebaskan.

Simbol 'perang melawan teror'

Penjara dengan pengamanan maksimum itu didirikan untuk menahan tersangka berkewarganegaraan asing setelah serangan teroris di New York dan Washington pada 11 September 2001. Sejak itu menjadi simbol 'perang melawan teror' Amerika karena di sana diterapkan teknik interogasi yang menurut para pembela hak asasi manusia sama dengan penyiksaan.

Eksistensi Guantanamo dimulai pada 11 Januari 2002, dengan pemindahan 20 tahanan yang dicurigai sebagai anggota Taliban dan kelompok teroris al-Qaeda dari Kandahar, Afghanistan, ke fasilitas penahanan AS di Teluk Guantanamo, Kuba. Penjara ini dengan cepat berkembang menjadi mimpi buruk politik dan kemanusiaan, keberadaannya pun terus menghantui masa kerja presiden-presiden AS pada pemerintahan berikutnya.

Dibentuk pada masa pemerintahan George W. Bush dalam menanggapi serangan teroris 9/11, Guantanamo secara khusus dipilih sebagai pusat penahanan karena lokasinya yang begitu terpencil di pangkalan angkatan laut AS di Kuba. Lokasi ini juga membuatnya tidak terjangkau oleh pengadilan Amerika.

Para tahanan yang dibawa ke sana dianggap sebagai "kombatan yang melanggar hukum," menurut Donald Rumsfeld, Menteri Pertahanan AS waktu itu yang juga adalah salah satu pendukung paling setia  keberadaan Guantanamo.

Suasana di Kamp Delta di Teluk Guantanamo, Kuba
Jumlah tahanan di Guantanamo mencapai puncaknya tahun 2003 dengan lebih dari 680 orang dari puluhan negara.Foto: Getty Images/J. Raedle

Tanpa perlindungan hukum

Penunjukan lokasi penjara ini menempatkan para tahanan berada di luar perlindungan hukum yang dijamin bagi tawanan perang oleh Konvensi Jenewa dan dapat membuat mereka ditahan tanpa batas waktu tanpa bantuan hukum.

Pelanggaran hukum internasional yang disengaja dalam perlakuan terhadap narapidana Guantanamo dengan cepat memicu protes global. Akibatnya, penjara Guantanamo dan tahanannya yang dirantai dengan jas oranye identik dengan simbol ketidakadilan dan keangkuhan negara Paman Sam itu. Kamp penjara Guantanamo memang berubah secara substansial dan jumlah populasi narapidana menyusut, namun faktanya penjara itu tetap buka hingga hari ini.

Jonathan Hafetz, yang telah mewakili beberapa tahanan Guantanamo di pengadilan dan mengajar hukum di Seton Hall University, kepada DW mengatakan bahwa selama ini Amerika Serikat tidak hanya gagal menutup penjara yang telah lama menjadi simbol pelanggaran dan pelecehan hukum, tetapi juga "gagal membongkar arsitektur hukum yang mendukungnya."

Arsitektur ini, tulisnya melalui email, "memungkinkan sistem penahanan tanpa batas waktu tanpa dakwaan dan komisi militer yang cacat untuk mengadili tersangka terorisme, dibandingkan dengan pengadilan federal yang telah ada." 

Warisan yang menghantui

Niatan pemerintah AS untuk menutup penjara ini telah diikrarkan oleh mantan Presiden Barack Obama pada tahun pertama ia pertama kali terpilih pada Januari 2009. Namun hingga akhir pemerintahan Obama, penjara ini tetap beroperasi. Kebijakan itu pun dibalik oleh Presiden Donald Trump saat ia menjabat.

"Obama harus dihargai karena mengakui bahwa Guantanamo merusak nilai-nilai Amerika dan keamanannya, dan dengan secara signifikan mengurangi populasi di sana," ujar Hafetz, namun ia juga menegaskan bahwa "dia (Obama) pada akhirnya harus dinilai karena kegagalannya menutup penjara dan karena mempertahankan keberlanjutan legalitasnya."

Karena kegagalan Obama menutup Guantanamo masih tetap membayangi begitu penggantinya menjabat. Selama kampanyenya, Donald Trump telah menentang rencana Obama untuk menutup fasilitas tersebut. Trump juga sempat memprotes pemindahan beberapa narapidana yang tersisa ke Arab Saudi oleh pemerintahan Obama.

Niatan pemerintahan Biden-Harris untuk lebih serius meninjau penutupan Guantanamo patut diapresiasi. Lagi pula, pengacara Jonathan Hafetz mengatakan berdasarkan pengalamannya mendampingi sejumlah tahanan Guantanamo bahwa "Presiden Bush mendirikan Guantanamo sebagai penjara di luar sistem hukum, menyebabkan kerusakan besar-besaran pada reputasi Amerika Serikat dan supremasi hukum secara lebih umum, tanpa manfaat keamanan yang nyata. Bush membuat Guantanamo identik dengan penyiksaan, penahanan yang salah, dan pelanggaran hukum."

Wawancara tambahan oleh Michael Knigge

ae/yp (AP, Reuters, AFP)