1. Buka konten
  2. Buka menu utama
  3. Buka situs DW lainnya
Hukum dan Pengadilan

Vonis Penjara buat Baiq Nuril Adalah "Diskriminasi Gender"

13 November 2018

Komnas Perempuan mengaku "kecewa" atas putusan kasasi MA yang menghukum korban pelecehan seksual, Baiq Nuril, dengan pidana enam bulan penjara. Putusan tersebut dianggap "mengabaikan keadilan buat perempuan."

https://p.dw.com/p/389CT
Indonesien Jakarta - Oberster Gerichsthof
Foto: Wikipedia/Davidelit

Putusan kasasi Mahkamah Agung yang menjatuhkan pidana penjara enam bulan terhadap korban pelecehan seksual, Baiq Nuril, dinilai menjadi noktah hitam sistem peradilan Indonesia. "Putusan itu mengabaikan keadilan untuk perempuan," kata Indriyati Suparno, Komisioner Komisi Nasional Perempuan. 

Baiq Nuril dijerat dengan Pasal 21 ayat (1) UU ITE dan dianggap bersalah "mendistribusikan" konten yang mengandung pelanggaran keasusilaan. Padahal menurut Komnas Perempuan, korban hanya melaporkan rekaman pelecehan verbal yang diungkapkan pelaku ke Dinas Pendidikan kota Mataram dan DPRD Nusa Tenggara Barat.

Baca juga:Bagaimana Skor Indonesia di Indeks Kesetaraan Gender 2018?

Adapun sosok yang menyebarluaskan rekaman tersebut tidak dipidanakan, alih-alih pelaku pelecehan.

Sebab itu Indry menyayangkan sikap hakim yang dinilai mengabaikan "kasus pelecehan seksual" yang dialami Nuril dalam mengambil keputusan. "Hakim mengabaikan rasa keadilan yang luar biasa terhadap perempuan. Karena seharusnya dia ditempatkan sebagai korban yang harus dilindungi dan Peraturan MA No 3/2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan harusnya dijadikan acuan," imbuhnya saat dihubungi DW.

Pedoman tersebut disusun dan ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung M Hatta Ali pada Juli 2017 silam. Salah satu butir yang dinilai diabaikan dalam putusan MA ini adalah kewajiban hakim mempertimbangkan "relasi kuasa yang bersifat hierarkis," dan merugikan pihak yang "berada dalami posisi lebih rendah."

Baiq Nuril berprofesi sebagai guru honorer dan terduga pelaku adalah Kepala Sekolah SMAN 7 Mataram bernama Muslim.

"Kasus ini memperkuat rasa pesismisme para korban kekerasan seksual untuk mengadukan kasusnya," kata Indry. "Itulah sebabnya kenapa kami sangat kecewa."

Kepada Tirto.id kuasa hukum Nuril, Joko Jumadi, mengaku kliennya akan mengajukan peninjauan kembali (PK), setelah Mahkamah Agung mengirimkan salinan putusannya. "Posisinya, kan, bu Nuril ini korban, dia sudah berkali-kali diajak selingkuh oleh kepala sekolah,” kata Joko. "Ini kan upaya pembelaan diri sebenarnya, tapi malah kemudian dikriminalisasi oleh MA."

Baca juga:Adakah Hak Aborsi untuk Korban Perkosaan Sedarah?

Nuril mengaku berulangkali mendapat gangguan dari pelaku. Sang kepala sekolah misalnya bercerita tentang perselingkuhannya dengan staf bendahara di sekolah tersebut. Korban lalu merekam percakapan tersebut dengan menggunakan telepon seluler.

Namun ketika dilaporkan ke Dinas Pendidikan, rekan kerja Nuril menyalin rekaman tersebut ke dalam laptop. "Eh ternyata oleh Imam diberikan ke beberapa pihak," kata Joko Jumadi seperti dikutip BBC Indonesia.

rzn/ap (DW, tirto, bbcindonesia, kompas, detik)